MUZAFFARGARH (Berita SuaraMedia) - Jutaan korban banjir Pakistan merayakan hari raya Islam di tenda-tenda dan tempat penampungan sementara sang pemimpin negara -- dikritik karena respon tidak memadai atas bencana -- menjanjikan lebih banyak bantuan.
Air sudah surut di banyak tempat, tapi masih setinggi kepala di tempat lain, sehingga memaksa para korban untuk tetap berada di luar desa mereka di dalam kamp-kamp atau sendirian di jalanan.
Anak-anak perempuan berkumpul di sebuah kamp di Kota Muzaffargarh, duduk di karpet yang dibentangkan di lantai dekat jalanan ketika para pekerja bantuan menghiasi tangan mereka dengan desain henna yang rumit.
Ibu-ibu mereka, yang menunggu di belakang, mengatakan bahkan kesenangan kecil ini akan segera berakhir.
"Kami tidak memiliki kebahagiaan Idul Fitri. Apa bahagianya?" kata Amana Bibi, 25 tahun. "Kami tidak punya rumah."
Badan amal mengirimkan berkantong-kantong hadiah seperti gelang plastk berkilau dan permen-permen ke anak-anak yang dipindahkan karena banjir, yang mempengaruhi sekitar 18 juta orang.
Perayaan hari raya Idul Fitri selama tiga hari ini dirayakan di akhir bulan Ramadhan. Festival itu dimulai dengan munculnya bulan baru pertama yang tampak di langit. Idul Fitri dimulai hari Jumat di bagian barat laut Pakistan dan hari Sabtu di banyak bagian lain di negara tersebut.
Selama bulan Ramadhan, umat Islam diharapkan menahan diri dari makanan, minuman, merokok dan hubungan seksual sejak terbit fajar hingga terbenam matahari yang bertujuan untuk menguji agama mereka dan mendisiplinkan Muslim. Idl Fitri termasuk sholat Ied di Masjid sebelum mengunjungi, memberikan hadiah dan makan bersama di rumah saudara dan teman-teman.
Pemerintah Pakistan mendapat kritikan oleh para korban karena ketidakmampuannya untuk memberikan bantuan yang memadai.
"Kami akan memberikan bantuan finansial untuk membangun kembali rumah-rumah," ujar Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani pada para korban selamat di kamp di provinsi Baluchistan bagian barat daya, salah satu wilayah yang rusak parah. Ia juga membagikan hadiah-hadiah.
Presiden Asif Ali Zardari, yang dikritik karena bepergian ke Inggris dan Prancis saat krisis berkembang, juga berencana untuk mengunjungi para korban.
Sughra Ramzan tahu ada yang salah ketika rasa sakit yang aneh menjalar di perutnya untuk kedua kalinya. Ibu hamil itu takut bayinya dalam bahaya - tapi tidak ada yang bisa ia lakukan.
Saat itu suasananya gelap, dan dia terdampar, tidak ada cara untuk menjangkau dokter dari desanya, masih terapung-apung di banjir setinggi paha sejak banjir bandang bulan lalu. Ia mati-matian membutuhkan perahu untuk mengangkutnya dari banjir yang lebih dalam untuk mencapai jalanan, tapi tidak ada sampai pagi.
Yang bisa ia lakukan hanya menunggu dan berdoa.
"Saya merasa ada sesuatu yang sangat salah," ia berkata lembut. "Saya takut dengan apa yang akan terjadi."
Seperti Ramzan, puluhan dari ratusan ibu hamil yang terdampar karena banjir yang menimpa wilayah Pakistan lebih besar dari di Florida. Sekitar 18 juta orang menjadi korban, 70 persen diantaranya adalah wanita dan anak-anak, dalam bencana alam terburuk negara tersebut.
WHO memperkirakan separuh juta wanita Pakistan yang terkena banjir akan melahirkan dalam enam bulan mendatang, dan sekitar 32.000 dari mereka akan mengalami komplikasi. Banyak yang mengalami malnutrisi dan anemia sebelum bencana karena kekurangan protein dan zat besi dalam diet mereka. Sekarang, dengan banyaknya orang yang kelaparan dan menghadapi penyakit mulai dari diare parah hingga malaria, mereka dan calon bayinya berada diantara yang paling rentan.
"Keadaan semakin memburuk dari hari ke hari. Mereka mengalami kondisi yang sangat-sangat buruk," ujar Zahifa Khan, yang mengurus Yayasan Pengembangan Manusia Pakistan berjumlah 14 orang, sebuah organisasi di pusat kota Multan yang membantu ibu hamil dan bayi-bayi yang kehilangan rumah karena banjir. "Mereka tidak punya kamp, dan mereka duduk di bawah langit terbuka."
Bahkan sebelum banjir, melahirkan di Pakistan pun sulit dan beresiko. Sekitar 80 persen wanita melahirkan di rumah, seringkali dalam kondisi menjijikkan di lantai kotor rumah lumpur tradisional mereka. Dan enam dari sepuluh ibu hamil tidak memiliki bidan terlatih.
Komplikasi berarti tingkat kematian dalam kelahiran bayi cukup tinggi, sekitar 276 per 100.000 dibandingkan dengan 11 per 100.000 di Amerika Serikat. Dan jumlah itu sudah berlipat ganda di area pedesaan termiskin di Pakistan, dimana banjir telah memusnahkan harta benda rakyat kecil dan memutus akses ke jalan. Satu dari 20 bayi Pakistan tidak bertahan dalam satu bulan pertama mereka, dan tingkat ketakutan dokter diantara mereka yang dilanda banjir akan membumbung lebih tinggi.
Beberapa wanita mendapatkan makanan dan perawatan medis di kamp yang dijalankan oleh kelompok bantuan atau pemerintah. Tapi banyak wanita hamil, seperti mereka yang tinggal di jalanan pinggiran kota Multan yang rusak parah, dipaksa untuk tidur di kantong nasi karung goni yang dibentangkan di atas kerikil halus berpasir di bawah tenda yang disangga tiang bambu.
Matahari dan suhu 38 derajat Celcius mengubah penampungan tipis itu menjadi panci tekan yang menarik perhatian ular dan kalajengking. Ratusan lalat berkumpul pada para wanita yang basah keringat, kebanyakan dari mereka tidak mandi selama sebulan karena tidak ada air, toilet atau keleluasaan pribadi untuk melarikan diri dari mata pria di negara Muslim konservatif. Mereka bertahan dalam segenggam nasi dan gandum sehari-hari.
Jika mereka beruntung, sebuah unit mobil kesehatan akan memberikan pemeriksaan dan transportasi ke rumah sakit ketika saatnya melahirkan. Tapi beberapa orang terpaksa melahirkan di dalam tenda mereka sendiri, menggunakan air kotor tanpa handuk atau selimut untuk membersihkan dan menyelimuti bayi mereka.
Bagi yang lain, keadaan malah lebih buruk.
"Saya tidur di kasur di jalanan," ujar Shama Mai, 18 tahun, yang diperkirakan melahirkan kapan saja, dengan perut sangat buncit yang menyempitkan kaus usangnya yang kotor menjadi tunik ketat. Ia memiliki enam anak perempuan muda di sisinya dan tidak ada tabir untuk melindungi mereka dari cuaca. Mereka dipaksa untuk melarikan diri dari gelombang air di malam hari hanya dengan pakaian yang mereka kenakan dan masih tidak bisa kembali ke desa mereka yang terkena banjir.
"Tidak ada tempat aman yang bisa dituju. Kami sekarat karena kelaparan," jeritnya. "Tidak ada air, tidak ada makanan. Kami menunggu bantuan dari Tuhan atau pemerintah." (raz/aby) www.suaramedia.com