BANGALORE (Berita SuaraMedia) – Saat negara itu dengan cemas menunggu satu vonis Masjid, penduduk distrik Gadag, Karnataka, telah membuat keputusan mereka dengan jelas sejauh itu berkaitan dengan Masjid lokal mereka. Warga desa Purtageri, 500 km dari Bangalore, melebur perbedaan agama untuk bersatu dan membangun kembali sebuah Masjid yang kuno itu.
Masjid berusia 50 tahun yang berada di desa dengan dominasi warga Hindu itu sangat membutuhkan perbaikan. Dengan hujan lebat yang mengguyur wilayah itu, atap bambunya bocor. Sekitar 20 Muslim warga desa – dengan 150 orang keluarga Hindu – kesulitan untuk beribadah di sana. Saat itulah beberapa warga Hindu meletakkan batu bata tua untuk harmoni komunal.
Sesepuh desa dan gram panchayat (pemerintah lokal) menginspeksi Masjid dan menyadari bahwa membangun kembali atap dengan beton bertulang adalah satu-satunya solusi permanen. Saat mereka mulai membangun kembali Masjid, bantuan berupa uang dan kebaikan mulai mengalir.
Saat pengurus semen dan lempengan memberikan material bangunan, pekerja menawarkan tenaganya dengan gratis. "Warga desa sukarela menyumbang uang antara 100 sampai 1,500 rupee," ujar Shivabasappa Hadagali, seorang sesepuh desa.
Pekerjaan konstruksi baru dimulai satu bulan lalu, renovasinya telah memakan biaya satu laks rupee. Tambahan 50,000 rupee lagi mungkin dibutuhkan. "Kami rencana membuat Masjidnya siap di pertengahan Desember," ujar anggota panchayat Lakshmana Gooli.
"Seandainya saudara-saudara Hindu kami tidak membantu, Masjid ini tidak akan pernah mungkin diperbaharui," ujar Allasaab Nadaf, pekerja harian di tempat penggergajian. "Tidak satupun warga Muslim terlibat dalam renovasi ini karena mereka semua miskin dan tidak mampu menyisihkan upahnya."
Hanumant Mushigeri, mahasiswa tingkat pertama di Bhoomaraddi Arts and Commerce College, mengatakan dirinya bangga berasal dari sebuah desa yang menjunjung tinggi toleransi keagamaan.
Sementara itu, desa Dehriyawan di distrik Faizabad, Uttar Pradesh, memiliki satu kuil dan satu Masjid yang letaknya berdampingan satu sama lain. Dan, penduduk desa mengunjungi keduanya bersama-sama.
Penduduk Hindu dan Muslim desa berpartisipasi dalam festival masing-maisng dan tidak pernah membiarkan perselisihan komunal di tempat lain untuk mempengaruhi mereka. Masjid dan kuil desa memungkinkan kedua komunitas untuk bergaul sebelum atau setelah mereka beribadah.
Brijesh Yadav, seorang pelajar, mengatakan bahwa sebagian besar warga beribadah di kuil dan Masjid, dan bahkan merayakan festival kedua agama.
"Seperti yang Anda lihat bahwa kuil dan Masjid dibangun berdampingan. Tidak seorangpun yang berselisih di sini."
"Sejak kecil kami sudah diajari bahwa hanya ada satu Tuhan dan bahwa kami semua adalah hamba-hambaNya. Seperti halnya kuil dan Masjid ini yang tidak memiliki jarak di antara mereka menunjukkan bahwa tidak boleh ada jarak di antara kami semua. Contoh terbesar diperlihatkan di sini, di Dehriyawan," ujar Yadav.
"Kami tidak membedakan antara Hindu dan Muslim. Dalam semua festival, pernikahan, kami saling mengunjungi. Konflik apapun antara sejumlah kuil dan Masjid tidak mempengaruhi kerukunan kami di sini," ujar Mohammad Haji Waseem, seorang warga setempat.
Masjid itu dibangun tahun 1970 dan kuilnya sesaat setelah itu. (rin/il/abn) www.suaramedia.com