View Full Version
Jum'at, 22 Oct 2010

Sumpah Setia Israel Memecah Belah Umat Yahudi

TEL AVIV (Berita SuaraMedia) – Ketika merujuk pada Israel, wartawan pro-Israel sering menyebutnya sebagai ‘negara Yahudi’, sebuah rezim yang media Arab sebuat sebagai ‘entitas Zionis’.

Kabinet Israel minggu lalu menyetujui aturan yang akan mengharuskan warga negara mengucapkan sumpah setia pada Israel sebagai sebuah "negara Yahudi", sebagai bagian dari proses naturalisasi mereka. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga telah mendorong ide bahwa negosiator Palestina harus mengakui Israel sebagai "negara Yahudi".

Kedua aturan itu kontroversial – bahkan di kalangan Yahudi Israel sendiri. Kritikus melihat sumpah setia sebagai langkah yang diambil kelompok sayap kanan di Partai Rumah Kita Israel untuk mendelegitimasi 20% warga Israel keturunan Arab. Sementara itu, para pemimpin Palestina memandang langkah pertama negosiasi Netanyahu sebagai taktik penundaan dan cara untuk menghalangi permintaan atas "hak kembali" bagi para pengungsi Palestina.

Suara di dalam kabinet Israel tentang sumpah setia itu tidak mutlak. Menteri Partai Buruh Yitzhak Herzog berbicara tentang "jejak-jejak fasisme" dalam perpolitikan Israel akhir-akhir ini. Dua menteri dari Partai Likud Netanyahu memilih untuk menentang sumpah tersebut.

"Tidak sebanyak itu jumlah imigran yang ingin masuk wilayah ini," ujar Dan Meridor, salah satu ‘pembangkang’ dalam Partai Likud. "Saya tidak melihat adanya manfaat dari ini, hanya kerugian. Ini bukan Israel yang kita kenal."

Meridor berpendapat bahwa kontroversi seputar sumpah setia membuat Israel tampak buruk di saat rezim tersebut tengah melawan kampanye delegitimasi terhadap dirinya di seluruh dunia.

Perwakilan politik dari minoritas Arab di Israel meningkatkan kritik mereka. Sejak tahun 1984, ‘hukum dasar’ Israel telah mendefinisikan negara itu sebagai ‘negara Yahudi dan demokratis.’ Ahmed Tibi, mantan penasihat Yasser Arafat yang menjadi anggota Knesset Israel, mengatakan, "Yahudi diletakkan sebelum demokratis, dan itu bukan kebetulan."

"Israel memang Yahudi dan demokratis," ujar Tibi. "Demokratis bagi kaum Yahudi dan Yahudi bagi kaum Arab."

Dalam caranya sendiri, Israel mungkin tengah menghadapi isu serupa dengan yang menerpa Eropa, mengakibatkan pemerintah mengatur kebiasaan minoritas Muslimnya dalam sebuah upaya untuk melindungi diri dari dugaan ancaman terhadap karakter nasional bangsa.

Bahkan, partai-partai anti-imigran baru-baru ini terpilih di Denmark, Swedia, dan Belanda. Di negara-negara itu, nilai-nilai yang lama dipegang oleh warga tampaknya berbenturan dengan cara hidup Islam yang dipandang tidak liberal.

Tentu saja warga Arab Israel berpendapat bahwa mereka tidak pernah berimigrasi ke Israel, justru Israel yang muncul di sekeliling mereka 62 tahun lalu dan mereka berusaha agar tidak terbatasi oleh keinginan Israel untuk mendefinisikan diri sebagai Yahudi. Sumpah itu tidak akan dibutuhkan dari warga yang sudah tinggal di Israel, tapi jika seorang Arab dari Nazareth menikahi seorang Palestina dari Yordania maka pasangan baru itu akan harus mendeklarasikan kesetiaannya pada Israel sebagai "negara Yahudi" untuk bisa tinggal di sana.

"Sebuah negara tidak wajib untuk sukarela menerima mereka yang keberatan dengan cita-cita dasarnya," ujar Ruth Gavision, seorang profesor hukum di Institut Demokrasi Israel. "Sebuah negara bisa mensyaratkan kewarganegaraannya."

Namun, Gavison menambahkan, bahwa beberapa komentar dari pendukung sumpah setia Israel mengesankan bahwa diskriminasi – alih-alih perlindungan terhadap nilai-nilai dasar – berada di balik aturan baru ini.

Sebuah demonstrasi menentang sumpah setia di Tel Aviv minggu ini menuduh pemerintah bergerak ke arah agenda fasis. Pembicara berpendapat bahwa aturan itu menempatkan loyalitas etnis atau kesukuan di atas demokrasi.

"Israel menjadi rasis dan fasis," ujar penulis Sefi Rachlevsky, salah satu penyelenggara demonstrasi. "Membelok dari kamp demokratis mengisolasi kita dari Barat."

Kontroversi sumpah setia ini muncul di saat yang bersamaan dengan paksaan Perdana Menteri Netanyahu pada Palestina untuk menerima Israel sebagai ‘negara Yahudi’.

Para pemimpin Palestina menolaknya karena itu akan tampak seperti menghalangi negosiasi di masa depan tentang hak pengungsi Palestina – tidak hanya mereka yang melarikan diri dari klaim pembentukan Israel di tahun 1948, tapi juga anak cucu mereka. Secara resmi Palestina masih bersikukuh agar orang-orang itu dibolehkan kembali ke rumah mereka yang sekarang menjadi tanah jajahan.

Bagi sebagian besar orang, permintaan Netanyahu itu merupakan taktik penundaan yang dimaksudkan untuk menarik perhatian dari masalah politiknya – terutama apakah dia akan memperpanjang pembekuan konstruksi pemukiman di Tepi Barat untuk menjaga kelangsung perundingan damai. (rin/gp) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version