View Full Version
Kamis, 10 Feb 2011

Sudan Selatan, Sekutu Baru Afrika Idola Israel

TEL AVIV (Berita SuaraMedia) – Seiring semakin dekatnya upaya Sudan Selatan untuk mencapai kemerdekaan, kawasan kaya minyak tersebut memberikan sinyal bahwa pihaknya akan bersedia menjalin hubungan dengan Israel.

Para pejabat dan analis di Israel mulai mempertimbangkan mengenai pemisahan Sudan Selatan setelah hasil perhitungan akhir referendum Sudan pada hari Senin (7/2) menunjukkan bahwa 98 persen pemilih lebih senang memisahkan diri dari Sudan Utara.

Dr. Irit Back, seorang pakar Afrika Timur di Universitas Tel Aviv dan Open University, mengatakan bahwa kemungkinan negara baru itu menjalin hubungan dengan Israel "amat besar".

Sedan Selatan, menurutnya, dapat menjadi sekutu non-Arab Israel di perbatasan Timur Tengah, sesuai dengan doktrin batas luar David Ben-Gurion yang berisi upaya menjalin hubungan dengan negara-negara non-Arab seperti Turki dan Shah di Iran.

Oktober lalu, Menteri Informasi Sudan Selatan Barnaba Marial Benjamin mengatakan bahwa Sudan Selatan yang berdeka akan "menjalin hubungan dengan semua negara di dunia dan tidak akan menjadi musuh siapa pun."

"Sebagian negara Arab menjalin hubungan dengan Israel, mengapa kami tidak (melakukannya)?" kata Presiden Sudan Selatan Salva Kiir Mayardit pada bulan yang sama. Dalam pernyataannya, Kiir menyatakan, "Israel adalah musuh Palestina saja, bukan musuh (Sudan) Selatan."

Namun, Desember lalu harian pan-Arab, Asharq Al-Awsat, melaporkan bahwa Kiir menarik kembali pernyataannya sebelumnya.

Dalam sebuah pertemuan tertutup dengan Sekretaris Jenderal Liga Arab Amr Moussa, Kiir disebut-sebut menyangkal bahwa pemerintahannya menjalin hubungan dengan Israel. Ia juga mengatakan pemerintahannya "memahami sensitivitas permasalahan tersebut" terhadap negara-negara Arab. Kiir menjawab tudingan pada 2009 dari perwakilan Liga Arab untuk Khartoum yang menyebut Israel dan para pelobi pro-Israel di AS campur tangan dalam permasalahan Sudan untuk mendorong pemisahan diri Sudan Selatan.

Sejak menjadi koloni Inggris pada akhir abad ke-19, Sudan memiliki beragam etnis, bahasa, dan agama. Bagian utara negara tersebut sebagian besar didominasi etnis Arab Nuubi dan Muslim, sementara kaum Kristen kulit hitam Afrika dan penganut animisme mendominasi kawasan selatan.

Perpecahan tersebut menjadi latar belakang meletusnya dua perang saudara, yang pertama dari tahun 1955 hingga 1972, dan yang kedua mulai 1983 hingga 2005. Jika digabungkan perang saudara tersebut menjadi perang saudara terpanjang dalam sejarah benua Afrika dan merupakan salah satu yang paling berdarah, dengan menelan dua juta nyawa dan empat juta orang yang kehilangan tempat tinggal.

Referendum pemisahan diri yang berlangsung baru-baru ini disepakati sebagi bagian dari kesepakatan damai tahun 2005 yang mengakhiri konflik tahap kedua.

Israel dan para pemberontak Sudan Selatan sempat bekerja sama pada1960-an serta 1970-an. Pada 1967, setelah para pemberontak menawarkan bantuan untuk menjauhkan militer Sudan dari Perang Enam Hari, Israel menghadiahkan senjata-senjata Arab yang disita dalam perang tersebut karena kampanye mereka sendiri menentang pemerintahan pusat di Khartoum.

Satu tanda tanya besar saat ini adalah nasib ribuan orang imigran Sudan yang kini berada di Israel. Sebuah laporan yang dirilis bulan lalu menyebutkan bahwa nyaris seperempat dari sekitar 33.000 imigran ilegal di Israel berasal dari Sudan, dan sebagian besarnya berasal dari selatan.

Para pakar memperingatkan agar Israel berhati-hati tidak memulangkan para imigran sebelum Sudan Selatan sudah dipastikan kestabilannya.

Setelah Sudan menandakan akan menerima hasil referendum, AS pada hari Senin mengatakan bahwa pihaknya akan mengakui Sudan Selatan dan meninjau kembali status pemerintah Sudan yang pada tahun 1993 disebut negara sponsor terorisme.

"Saya mengucapkan selamat kepada rakyat Sudan Selatan atas referendum yang sukses dan menginspirasi saat mayoritas pemilih memilih kemerdekaan," kata Presiden Barack Obama. "Oleh karena itu, saya dengan senang hati akan mengumumkan niatan Amerika Serikat untuk secara resmi mengakui Sudan Selatan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada bulan Juli 2011."

Menteri Luar Negeri Hillary Clinton mendesak para pemimpin Utara dan Selatan agar terus bekerja sama menuju penerapan penuh kesepakatan damai dan penetapan-penetapan pascareferendum.

Menirukan formula Washington untuk perdamaian Timur Tengah, Clinton menyerukan Sudan Utara dan Selatan agar menjadi dua "negara yang hidup berdampingan dengan damai." (dn/jp) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version