View Full Version
Rabu, 27 Apr 2011

Larangan Jilbab Halangi Ambisi Karir Wanita Turki

ISTANBUL (Berita SuaraMedia) – Funda Altintas menjumput daging cincang gulungnya dan salad dan untuk sementara menggambarkan cita-citanya.

"Saya benar-benar ingin menjadi profesor," sarjana psikologi 23 tahun tersebut mengatakan.

"Ayah saya mengatakan bahwa mungkin dalam 10 tahun, saya bisa menjadi seorang profesor."

Pada sebuah acara jalan-jalan, teman-teman Altintas juga berbagi ambisi mereka: Melike Akkus, 25 tahun, dan Fatma Betul Yumuk, 22 tahun, mendapatkan gelar MBA mereka. Esma Bendez, 23 tahun, ingin berfokus pada studi interkultural.

Di samping mendapatkan gelar dari salah satu universitas terbaik, tidak ada dari mereka yang dapat memastikan dapat mencapai tujuan karir mereka.

Apa yang berdiri di antara mereka dan ambisi mereka tak ada hubungan dengan dedikasi, pinjaman atau ujian-ujian pembakuan. Malahan, yang berada di antara mereka dan ambisi mereka adalah jilbab Muslim yang mereka semua kenakan.

Para anggota parlemen, hakim, para guru, dan para profesor dilarang mengenakan jilbab di bangunan-bangunan publik bahkan Turki yang didominasi Muslim dan diperintah oleh Partai Keadilan dan Perkembangan (AKP).

Dipegang oleh sebuah garda tua birokrat sekuler, para hakim dan angkatan darat, pelarangan tersebut telah dipermudah di universitas namun masih tetap secara tidak resmi diterapkan di sebagian besar sektor swasta.

Bagi banyak Muslim, hak para wanita untuk berpakaian yang sejalan dengan kepercayaan mereka berada di barisan depan di dalam sebuah pertempuran dengan kelas tradisional yang berkuasa.

Bagi banyak sekuler Turki, jilbab adalah sebuah simbol dari segala sesuatu yang mereka takutkan atas apa yang pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan sedang kerjakan.

Istanbul nampaknya dengan nyaman berbaur dengan yang tua dan yang baru. Sebuah mobil trem ramping yang bergemuruh melewati Kota Tua.

Menara Masjid Biru yang menjulang dan Masjid Aya Sofia – pertama sebuah basilica (gereja Katolik Roma), kemudian sebuah Masjid dan sekarang sebuah museum – memahkotai pemandangan kaki langit yang merupakan keduanya, kuno dan modern.

Pelarangan jilbab masuh menjadi sebuah topik yang hangat bagi Turki selama satu dekade. Bagaimanapun juga, masih terdapat kurangnya kompromi politik untuk mengakhiri pelarangan tersebut. "Di Turki ada begitu banyak pekerjaan bagi para wanita yang tidak mengenakan Jilbab, namun ada beberapa untuk wanita yang mengenakan.

Pelarangan tersebut mempengaruhi kami secara psikologis," ujar Ayþenur Bozkurt, yang mengatakan bahwa ia telah mengenakan jilbab selama sembilan tahun.

Bozkurt, berprofesi sebagai penerjemah dan seorang sarjana, mengatakan bahwa ia telah menghadapi kekecewaan yang pahit karena pelarangan jilbab tersebut ketika mencari sebuah pekerjaan dan mengirimkan daftar riwayat hidupnya – yang memasukkan sebuah fotonya yang berjilbab. Ia tidak melamar ke instansi pemerintahan karena ia sudah tahu bahwa ia tidak memiliki kesempatan bekerja dengan mengenakan jilbab.

Di Turki, instansi pemerintahan tidak memperkerjakan para wanita yang mengenakan jilbab. Wanita berjilbab juga ditolak di sebagian besar perusahaan swasta di samping kurangnya sebuah UU yang melarang penggunaan jilbab di bisnis swasta. (ppt/ill) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version