View Full Version
Kamis, 28 Apr 2011

Warga Mesir Inginkan Pemerintahan Baru Berbasis Al-Qur'an

KAIRO (Berita SuaraMedia) – Sebuah mayoritas warga Mesir percaya bahwa hukum di negara mereka seharusnya mematuhi ajaran-ajaran kitab suci Islam, Al-Qur'an, menurut hasil sebuah jajak pendapat oleh pusat penelitian berbasis di AS.

Hasil dari jajak pendapat tersebut juga menunjukkan bahwa warga Mesir, yang telah berganti ke arah konservatisme keagamaan selama 40 tahun terakhir atau tahun-tahun berikutnya, terbuka pada pencantuman partai keagamaan di dalam pemerintahan masa depan. Hanya sebuah minoritas, bagaimanapun juga, bersimpati dengan partai keagamaan, menurut hasil poling tersebut.

Keseluruhan, hasil poling tersebut melukiskan sebuah gambaran warga Mesir sebagai sebuah masyarakat yang memilih keterbukaan daripada ekstrimisme dan nilai-nilai demokrasi bahkan jika mereka berada pada resiko beberapa ketidakstabilan politik.

Hasil poling tersebut dirilis pada Senin dan datang lima bulan menjelang pemilihan legislatif, yang pertama sejak penggulingan pemimpin otoriter Hosni Mubarak pada bulan Februari lalu.

Banyak partai Islami diharapkan membuat sebuah pertunjukan yang signifikan di dalam pemilihan penting, dengan 50 persen orang-orang mengatakan bahwa pemilihan tersebut "sangat penting" untuk partai-partai keagamaan menjadi bagian dari sebuah pemerintahan masa depan dan sebanyak 37 persen memiliki sebuah pandangan yang sangat mendukung tentang Ikhwanul Muslimin, kelompok Islam terbesar dan terorganisir dengan baik di negara tersebut.

62 persen warga Mesir percaya bahwa hukum di negara mereka seharusnya dengan ketat mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur'an, walaupun 27 persen berpikir bahwa cukup bahwa undang-undang mencerminkan nilai-nilai umum Islam dan prinsip-prinsipnya.

Poling tersebut, berdasarkan pada wawancara dengan 1.000 warga Mesir, dilaksakanan oleh Pusat Penelitian Pew antara 24 Maret dan 7 April.

Poling tersebut menaksir suasana hati di Mesir pada suatu masa ketika masa depan negara tersebut terbuka lebar setelah sebuah akhir dari 29 tahun kekuasaan oleh Mubarak – sebuah masa yang digambarkan bagi banyak oleh penindasan politik, korupsi, dan disparitas sosio-ekonomi yang luas.

Kepergian Mubarak di hadapan kerusuhan populer selama 18 hari sekarang akan memberikan warga Mesir kebebasan yang belum pernah ada sebelumnya untuk memilih pemerintah masa depan mereka begitu juga memberikan kesempatan baru untuk kekuatan politik dan sosial yang telah lama terbungkus rapat.

Kelompok Islam lama ditindas di bawah Mubarak sekarang bebas untuk beroperasi secara publik dan rencana untuk berkompetisi pada pemilihan September, termasuk yang mendukung penciptaan sebuah negara yang dijalankan oleh hukum Islam.

Di dalam sebuah hasil yang tidak menunjukkan dengan baik untuk permasalahan sektarian yang tidak hilang-hilang, poling tersebut menunjukkan bahwa hanya 36 persen dari pertanyaan tersebut percaya bahwa merupakan hal yang "sangat penting" bagi umat Kristen dan minoritas lainnya untuk secara bebas mempraktikkan agama mereka, menyarankan pengaruh dari kelompok militan tersebut, yang telah menyulut kebencaian 10 persen minoritas Kristen di negara tersebut.

Mesir pasca-Mubarak juga menderita dari sebuah kekosongan keamanan yang telah menuntun pada sebuah gelombang dramatis dalam kejahatan. Permasalahan ekonomi juga semakin mendalam dan negara tersebut telah harus meminjam dari Pendanaan Moneter Internasional (IMF) selama tiga bulan terakhir telah merusak produktivitas, membuat takut para turis dan menghantam ekspor.

Poling tersebut juga menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari semua warga Mesir ingin melihat perjanjian perdamaian tahun 1979 dengan Israel dicabut, menyoroti dalamnya ketidakpopuleran perjanjian tersebut, yang merupakan pusat kebijakan AS di kawasan tersebut dan dengan teliti dipatuhi oleh Mubarak.

Bagaimanapun juga, lebih dari apapun gerakan pro-demokrasi yang dipimpin pemuda, yang mengerjakan kembali lingkungan politik, secara dramatis meningkatkan sikap orang-orang. Poling tersebut menunjukkan sebuah peningkatan besar di dalam optimisme dan perubahan prioritas nasional.

Di tahun 2007, Mesir dibagi rata tentang yang mana yang lebih penting, sebuah pemimpin kuat atau demokrasi, namun poling terbaru, 64 persen peringkat demokrasi lebih tinggi.

Dari mereka yang nama-namanya telah ditempatkan di depan sebagai kandidat yang mungkin untuk pemilihan kepresidenan akhir tahun ini, mantan pimpinan Liga Arab, Amr Moussa adalah yang paling populer, dengan 89 persen memberinya sebuah peringkat yang sangat mendukung.

Kandidat mantan kepresidenan Ayman Nour bersaing dengan 70 persen peringkat sementara Penerima Hadiah Nobel dan mantan pemimpin reformasi Mohamed Al-Baradei hanya mendapatkan 57 persen.

AS, pendukung terkuat Mesir sejak pertengahan tahun 1970-an, melanjutkan untuk mengumpulkan peringkat persetujuan rendah, dengan hanya 20 persen warga Mesir melihat hal tersebut di dalam sebuah cara positif, meningkat dari 17 persen di tahun 2010. (ppt/yh) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version