View Full Version
Senin, 16 May 2011

Yahudi Amerika Temukan Kebenaran Dalam Islam

PHILADELPHIA (Berita SuaraMedia) - Bagi banyak orang, kata 'Islam' memunculkan gambaran kekerasan, bom bunuh diri dan perang suci. Tapi tidak bagi Maryam Kabeer Faye, seorang warga Amerika kelahiran Yahudi. Dia percaya agama yang ia anut setelah perjalanan spiritual yang panjang melambangkan kedamaian, cinta dan ampunan.

Kabeer Faye menggambarkan pengalaman transformatifnya, dari akar Yahudinya menuju Islam Sufi, dalam buku terbarunya, "Journey through Ten Thousand Veils: the Alchemy of Transformation on Sufi Path."

Sejauh yang bisa ia ingat, Maryam Kabeer Faye merindukan pemenuhan spiritual.

Dia dilahirkan tahun 1946 di keluarga Yahudi liberal di Hollywood, California. Walaupun orang tuanya sangat baik dan penuh cinta, mereka bukan orang yang religius, yang membuat Kabeer Faye mengalami kekosongan spiritual.

Di usia 12 tahun, dia diberi perkamen bercat pria kuno dengan kata-kata, "Carilah dan kebenaran akan membebaskanmu." Pesan itu beresonansi dengannya saat dia tumbuh dalam hiruk pikuk iklim politik di tahun 1960an.

Di usia 16 tahun, dia masuk ke Universitas California, Berkeley, kemudian sebuah persemaian aktivisme sosial dan politik. Sementara di sana, dia belajar pengajaran Al-Qur'an, kitab suci Advaita Vedanta - sebuah bentuk filosofi Hindu - dan puisi filsuf abad ke-13 Jalaluddin Rumi.

Dia meninggalkan Berkeley hanya setelah dua tahun, untuk memulai perjalanan spiritualnya untuk menemukan apa yang ia sebut "kebenaran."

"Bukan suatu agama tertentu yang aku cari atau yang aku ketahui," ujar Kabeer Faye. "Aku mencari kebenaran yang membebaskan, darimanapun panggilan itu berasal."

Panggilan itu mengarahkannya ke sebuah tempat yang jauh dari pantai Amerika, termasuk Afrika, Asia, Eropa dan Timur Tengah. Saat itu perjalanan dengan bus melewati padang pasir Afrika ketika ia pertama kali berhadapan dengan agama yang akan menjawab spiritualismenya.

"Bus itu bergerak menuju tengah gurun dan pada saat tertentu panggilan sholat terdengar mendayu-dayu di padang pasir itu - pertama kalinya saya mendengarnya - dan kemudian bus itu berhenti dan semua orang berkulit berwarna keluar dari bus," dia ingat. "Semua orang memiliki sajadah mereka sendiri dan membentangkannya di padang pasir dan sholat. [Itulah] pertama kalinya saya melihat orang sholat dengan cara itu. Dan itu sungguh sangat suci dan indah dan benar-benar mengundang."

Kabeer Faye telah menyaksikan apa yang semua Muslim yang saleh praktekkan lima kali sehari. Mereka meninggalkan aktivitas lainnya, menghadap ke arah kota suci Muslim, Mekkah, dan berlutut dalam ibadah.

Pengalaman itu adalah sebuah panggilan yang akhirnya ia jawab.

"Tak terhitung, tak terhitung banyaknya momen kebangkitan yang mengarahkanku menuju jalan Islam, dan dalam itu, menuju praktik sufisme, atau Tasawuf, yang bagiku secara rumit bersatu dengan Islam," Kabeer Faye menjelaskan.

Sufisme muncul sebagai gerakan terorganisasi setelah kematian Nabi Muhammad SAW, nabi sentral agama Islam. Banyak yang menganggap ini bentuk mistis Islam.

"Ini semacam hiasan cahaya interior dalam praktik Islam, yang menghasilkan yang terbaik di dalamnya. Itu adalah cinta, pengampunan, kebaikan, kebijaksanaan, cahaya," ujar Kabeer Faye. "Dan itulah takdir yang ditandai untukku,  yang diputuskan untukku."

Dia belajar dan bepergian dengan guru Sufi di Israel, Sri Lanka, Senegal dan Gambia, dan juga lebih dekat dengan rumah di Pennsylvania dan Carolina Selatan, untuk memperdalam pemahamannya tentang bentuk khusus dari Islam ini.

"Pengalaman yang aku miliki ini bukan dengan studi abstrak Sufisme di buku-buku - karena kita bisa selalu membaca tentang Sufisme di abad ke-12 - tapi dalam kasusku, takdirku dipandu dari satu guru Sufi ke guru yang lainnya, sampai guruku yang saat ini, yaitu Syekh Harun Rashid Faye dari Senegal, Afrika Barat."

Dari guru inilah Maryam Kabeer mendapat nama belakangnya.

Kabeer Faye mengakui bahwa sementara banyak orang percaya kalau Islam itu agama yang keras, Islam yang ia tahu dan dipeluknya itu adalah agama pengampunan dan belas kasihan.

"Saya tidak bisa menghitung orang-orang yang saya temui yang merupakan orang-orang yang paling murah hati, baik, dan banyak memberi, mencintai, perhatian," dia mengatakan. "Yaitu, memedulikan anak yatim, orang cacat, memperhatikan wanita, memperhatikan aku. Bagaimana saya menjadi Muslim? Karena cinta itu. Bagaimana saya menyalurkannya pada orang lain? Melalui cinta itu."

Siapapun yang mendukung kekerasan atas nama Islam, ujar Kabeer Faye, telah mengubah agama yang sebenarnya.

"Saya belajar dengan meneliti, bahwa bunuh diri dilarang dalam Islam, dan membunuh orang tak bersalah dilarang dalam Islam, dan bahkan menebang pohon dalam pertahanan perang itu dilarang. Jadi kehidupan itu didukung oleh Islam. Oleh karena itu penindasan dan agresi dilarang, sedangkan pengampunan, toleransi, kebaikan dan amal diperintahkan."

Terlahir sebagai Yahudi tapi sekarang Muslim, Maryam Kabeer Faye tinggal di Philadelphia dengan anaknya, Issa.

Selain menghadiri konferensi dan loka karya, Kabeer Faye mengajar bahasa Arab dan studi Islam bagi wanita dan anak perempuan di Amerika Serikat dan di Gambia juga.

Dan, seminggu sekali, dia mengunjungi penjara dimana ia berbicara pada para tahanan tentang kekuatan transformatif keyakinannya.

Sekarang setelah perjalanan pembelajaran spiritual pertamanya telah selesai, dia sudah memulai perjalanan kedua sebagai penulis dan guru untuk berbagi pengetahuan yang dia dapatkan sepanjang pengalaman hidupnya dengan Muslim dan non-Muslim yang serupa. (raz/voa) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version