View Full Version
Selasa, 07 Jun 2011

Madrasah Afghanistan Hentikan Kekejian AS Dengan Ilmu

KABUL (Berita SuaraMedia) – Terletak di daerah pinggiran kota yang senantiasa diliputi pekatnya debu dari pasir yang tertiup angin gurun, dari propinsi Helmand yang terletak di sebelah selatan, madrasah Darul Hifaz menjadi sebuah simbol dari persatuan Afghanistan.

"Satu-satunya cara untuk memecahkan segala permasalahan kami adalah dengan mempersatukan Afghanistan," kata kepala madrasah Hafiz Abdul Hadi pada hari senin tanggal 6 Juni kemarin.

"Hal ini berarti semua orang harus bersatu, semuanya. Apakah itu Taliban, pihak pemerintahan dan seluruh suku bangsa dan adat istiadat yang ada."

Terletak di Lashkar Gah, madrasah yang biaya operasionalnya ditanggung oleh pemerintah tersebut merupakan satu diantara sedikit lembaga yang dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar dengan bahan ajar yang modern seperti sains, matematika dan studi literatur sebagai tambahan dari pendidikan keagamaan.

Awalnya didirikan di Baluchistan yang terletak di sebelah barat daya Pakistan pada kisaran tahun 1990an, madrasah tersebut kemudian direlokasi dan kembali beroperasi pada bulan Juni tahun lalu dengan menelan biaya sebesar $48.000.

Dengan mengasuh sekitar 1.000 orang murid, madrasah tersebut beroperasi selama lima hari dalam seminggu, jam belajarnya sendiri dimulai pada pukul 8 pagi dan selesai pada pukul 4 sore.

Dengan murid yang terus berdatangan dari kota-kota dan desa-desa yang tergolong tidak mampu diseluruh Helmand, madrasah tersebut juga memberikan fasilitas asrama yang bisa dihuni oleh sekitar 700 orang murid.

"Mereka semua tidak ada bedanya dengan murid dari sekolah-sekolah lainnya," kata Mehrabdin Pajhwak, 30 tahun, seorang pengajar matematika dan fisika.

"Mereka semua sangat antusias dan bersemangat untuk mempelajari hal-hal baru."

Didalam gedung madrasah, sejumlah anak laki-laki yang mengenakan peci di kepala tampak tengah duduk diatas bangku kayu yang rendah diatas lantai yang diselimuti oleh hamparan karpet merah, semuanya tengah menyimak kitab suci Al Quran dengan seksama.

Dengan irama yang rancak, para murid tersebut membaca ayat demi ayat dari kitab suci yang tertulis dalam huruf Arab klasik disaat teriknya sinar matahari menyeruak masuk menembus ruangan tersebut.

"Kami mencoba mengajari mereka bahwa mengangkat senjata bukan cara penyelesaian satu-satunya," kata Hadi, sang kepala madrasah.

Delapan tahun berlalu sejak invasi AS, Afghanistan telah jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, dimana hampir setiap hari ada suara desingan peluru yang terdengar.

Kebanyakan murid madrasah tersebut telah terusir dari kediaman masing-masing dikarenakan peperangan yang terus melanda.

"Sama sekali tidak ada peluang untuk bersekolah di tempat asal saya," kata Mohammed Addris, seorang murid kelas tujuh yang berasal dari distrik Nawa-i-Barakzayi.

"Saya takut pulang. Saya rasa pertempuran masih akan terus berlangsung dan belum akan berhenti dalam waktu dekat ini."

Karena kekerasan AS yang terus terjadi, jumlah murid yang datang ke madrasah tersebut menukik tajam pada tahun lalu dengan jumlah lebih dari setengah, 54.000 orang.

Sangat sulit untuk mengatur jika segalanya telah berjalan salah dan tidak baik," kata Hafiz Abdul Sabud, seorang pengajar mata pelajaran agama Islam.

"Namun studi yang mempelajari Al Quran dapat memberikan kedamaian dalam pikiran."

Dia sendiri merasa tidak terlalu optimistis dengan masa depan dari para muridnya.

"Saya tidak yakin bahwa pemerintah akan mampu menyediakan pekerjaan yang layak kepada mereka setelah mereka menyelesaikan sekolahnya."

Abdul Kakim, yang hanya menyelesaikan kelas tujuh karena perang dan kemiskinan, mengamini hal tersebut.

"Pemerintah harus meningkatkan jumlah lapangan kerja dan peluang untuk mendapatkan pendidikan yang layak," katanya.

"Pemerintah harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan taraf hidup di negara ini."

Bertahun-tahun setelah invasi AS, Afghanistan masih tetap miskin dan tidak berkembang sehingga sebagian besar warga tidak memiliki pemanas ruangan, listrik atau pipa saluran air.

Di ibukota Kabul, banyak penduduk yang harus tinggal di pemukiman kumuh, yang hanya dapat memanfaatkan aliran listrik hanya beberapa jam setiap malamnya, itupun jika kediaman mereka sudah dilengkapi dengan kabel listrik. (dn/iol) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version