JAKARTA (voa-islam.com) - Berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992 yang sekaligus menandai lahirnya Bank Syariah di Indonesia sekaligus formalisasi ekonomi syariah pada tingkat nasional membuat ekonomi syariah sempat booming dan menjadi trend dalam perekonomian Indonesia. Tidak lama setelah Bank Muamalat beroperasi, lahir Asuransi Takaful melengkapi dwi tunggal pilar ekonomi syariah di Indonesia. Setelah itu berturut-turut lahir bank dan asuransi syariah baik sebagai full entitas maupun yang masih sebagai unit usaha syariah dari bank dan asuransi konvensional. Total hingga akhir 2013 terdapat 11 bank umum syariah dan 31 unit usaha syariah dengan total aset yang dikelola sebesar 234 triliun rupiah, sementara perusahaan asuransi yang membuka layanan syariah total berjumlah 42 perusahaan asuransi.
Dari data di atas, kita melihat dari sisi pertumbuhan jumlah perusahaan dan aset yang dikelola terjadi peningkatan yang cukup pesat. Dari hanya satu perusahaan pada tahun 1992, 22 tahun kemudian sudah menjadi total 84 perusahaan perbankan dan asuransi. Dari total aset 173 miliar sekarang sudah mencapai lebih dari 300 triliun rupiah. Meski demikian market share perbankan syariah selalu di bawah 5%, sedangkan untuk asuransi syariah belum pernah tembus 4%. Tetapi bukan itu yang akan kita bahas, tulisan ini akan bicara tentang : keberpihakan.
Bicara ekonomi syariah sejatinya bukan hanya tentang halal haram atau riba tidak riba, meskipun persoalan halal haram dan riba juga menjadi perhatian utama dalam ekonomi syariah. Tak kalah penting dari keduanya adalah soal keberpihakan.
Sebagaimana kita ketahui, spirit transaksi dalam ekonomi syariah adalah kerjasama. Saling menguntungkan. Tidak asosial. Bermanfaat dan menghindari mudharat. Kerjasama adalah bukti keberpihakan. Dengan siapa kita bekerjasama harusnya menjadi fokus perhatian. Meskipun Islam tidak melarang umatnya untuk bekerjasama dengan umat agama lain, tetapi kerjasama dengan sesama muslim yang didasari ukhuwah islamiyah adalah lebih utama.
Tetapi praktek yang terjadi di Bank Muamalat sebaliknya, debitur BMI justru didominasi etnis tertentu yang beragama non muslim. Paling tidak begitu informasi yang diperoleh Voa Islam dari dua cabang Bank Muamalat di regional DKI Jakarta. Informasi yang sama kami peroleh dari salah satu perusahaan asuransi yang bekerjasama dengan Bank Muamalat sehingga bisa dikatakan confirmed. Dari informasi tersebut diketahui bahwa lebih dari 70% debitur BMI berasal dari etnis Tiongkok dan beragama non muslim. Beberapa perusahaan yang memperoleh pembiayaan besar hingga ratusan miliar rupiah juga diketahui milik etnis tiongkok non muslim seperti PT Permata Mitra Utama yang merupakan rekanan Bakrie (di Bank lain rekanan Bakrie masuk black list), PT Armada Hati Agung dan PT Intan Baruprana Finance. Mirisnya secara pareto jika kita bandingkan dengan profile nasabah penabung dan deposan justru sebaliknya, penabung dan deposan didominasi oleh muslim pribumi dengan porsi lebih dari 80%. Artinya dana yang dikumpulkan dari umat Islam justru lebih banyak disalurkan ke umat agama lain.
Tetapi sumber kami ini menjelaskan bahwa banyaknya pembiayaan ke non muslim dikarenakan nasabah yang mengajukan pembiayaan juga didominasi oleh mereka.
Tim VOA-Islam yang melakukan reportase langsung mencoba menanyakan perihal kebenaran informasi tersebut ke sumber kami di BMI dan mendapatkan konfirmasi pembenaran atas informasi tersebut. Tetapi sumber kami ini menjelaskan bahwa banyaknya pembiayaan ke non muslim dikarenakan nasabah yang mengajukan pembiayaan juga didominasi oleh mereka. Bisa jadi benar, tetapi kami juga memperoleh fakta ada beberapa pengusaha muslim yang justru kesulitan mendapatkan fasilitas pembiayaan dari BMI dengan berbagai macam alasan. Jika benar demikian maka bukan saja kepemilikan umat atas Bank Muamalat saja yang lepas, tetapi juga manfaat dan keberpihakan Bank Muamalat terhadap umat Islam semakin berkurang. Mungkinkah kondisi yang sama juga terjadi pada bank syariah yang lain? [abuazzam/voa-islam.com]