JAKARTA (voa-islam.com) - Hasil RUPS Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang baru saja berakhir menyisakan persoalan besar bagi Bank Syariah pertama di Indonesia tersebut.
Persoalan dimaksud terkait pengangkatan jajaran direksi yang didominasi muka-muka baru bukan hanya untuk internal BMI tapi juga untuk industri Bank Syariah. Mereka—para direksi baru ini—mayoritas berlatarbelakang bank kovensional. Endin PR Abdurrahman, sebelum ditunjuk sebagai Direktur Utama BMI menjabat sebagai Chief Operating Oficer (Direktur Operasional) di HSBC dan Chief Risk Oficer (Direktur Resiko) di Bank Ekonomi yang merupakan anak usaha HSBC Bank.
Indra Yurana Sugiarto yang ditunjuk sebagai Direktur Corporate sebelumnya tercatat menduduki berbagai posisi kepala divisi di CIMB Niaga Grup, sementara Hendiarto yang kembali menjabat sebagai Direktur Keuangan adalah mantan kepala divisi keuangan di ICB Bumiputera dan Bank Permata. Adapun Adrian Gunadi yang dipertahankan sebagai Direktur Retail merupakan jebolan raja kapitalis Standard Chartered Bank, Adrian tercatat pernah menduduki berbagai posisi strategis di Stanchard mulai dari Vice President hingga Assistant Director.
Dua nama tersisa yaitu Evi Afiatin Ismail dan Setiabudi barulah boleh dikatakan punya track record syariah yang cukup baik. Evi sebelumnya merupakan direktur kepatuhan Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS) selama 5 tahun. Meskipun pengalaman sebelumnya juga dihabiskan di bank konvensional yaitu BII Maybank dan Bosowa tetapi kiprahnya di BRIS dianggap cukup baik. Adapun Setiabudi merupakan “anak kandung” Bank Muamalat yang sudah berpengalaman menduduki berbagai jabatan di BMI seperti Kepala Divisi dan Kepala Cabang.
Dengan profile direksi yang demikian dapat dibayangkan bagaimana kiprah BMI ke depan di tengah pertanyaan masyarakat yang kian menguat mengenai dua kata kunci : komitmen syariah dan keberpihakan. Dimasa periode sebelumnya yang didominasi oleh para praktisi perbankan syariah dari sisi sharia complience BMI dikenal cukup ketat. Misalnya ketika bank syariah lain ramai menjual produk gadai dan berkebun emas BMI memilih menahan diri untuk tidak ikut-ikutan. Begitu pula saat banyak bank syariah membuat produk multiguna yang secara prinsip syariah banyak dipertanyakan BMI tidak latah. Terakhir BMI juga bertahan tidak mengeluarkan produk credit card (kartu hutang) yang sedang booming di industri. Meski kemudian terkesan kaku dan ketinggalan dalam hal inovasi produk tetapi kegigihan BMI untuk bertahan dengan jatidirinya sebagai bank yang komitmen dengan nilai-nilai syariah perlu diapresiasi. Mampukah jajaran direksi sekarang yang didominasi para kapitalis riba mampu mempertahankan jatidiri dan visi misi BMI tersebut?
Soal kedua adalah mengenai keberpihakan. Bank Muamalat sebagai pioner bank syariah pertama di indonesia didirikan dari patungan pengusaha dan masyarakat muslim Jawa Barat dengan inisiator ICMI (BJ Habibie) di era tahun 90an dianggap mulai menjauh dari umat Islam. Meskipun mayoritas penabung dan deposan adalah kaum muslimin tetapi penyaluran pembiayaannya terutama pembiayaan korporasi justru lebih banyak kepada umat beragama lain. Artinya uang umat Islam justru lari ke umat lain. Lihat “Debitur Bank Muamalat Indonesia didominasi pengusaha Non Muslim”. Di mana keadilan dan keberpihakan, ratusan milyar dan bahkan Trilyun uang ummat di kelola dengan serampangan, seharusnya umat muslimlah yang harus mendapat prioritas dan lebih di dukung kepentingan bisnisnya.
Ketidakberpihakan ini terjadi pada periode sebelumnya pada saat direksi BMI masih diisi orang-orang yang komitmen syariahnya relatif baik. Sulit membayangkan jajaran direksi yang baru mampu melepaskan BMI dari jebakan ketidakberpihakan ini.Apalagi jika sampai kredit tersebut macet maka akan menjadi preseden buruk dalam perbankan syariah nasioanl, hal ini pernah terjadi dalam kasus kredit macet Rp.400 milyar di batavia air pada tahun lalu. Belum lagi jika kita bicara mengenai keberpihakan pada usaha mikro, usaha kecil menengah, pertanian, pedagang kecil dan kemiskinan. Rasanya hanya utopia. [abuazzam/voa-islam.com]