JAKARTA (voa-islam.com) - Pasca Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Muamalat 23 Juni 2014 isu tak sedap mencuat dari bank syariah pertama di Indonesia tersebut. Isu yang awalnya dipicu oleh tulisan Iskandar Zulkarnain salah seorang pemegang saham minoritas BMI di Republika Online. Salah satu hal yang harus menjadi perhatian adalah terkait komposisi pemegang saham dan penentuan jajaran direksi.
Sebagai bank yang pada awal pendiriannya diinisiasi dan dimiliki sepenuhnya oleh umat Islam Indonesia, BMI adalah asset umat yang memiliki visi dan misi menyosialisasikan ekonomi syariah, memberi alternative lembaga keuangan tanpa riba dan menyejahterakan umat Islam Indonesia. Sampai sebelum tahun 2005 saat saham BMI masih dimiliki rakyat Indonesia dan IDB, BMI masih menjadi Bank yang betul-betul berbeda dengan bank kebanyakan. Dari sisi internal, karyawan dan direksi BMI diisi orang-orang dengan ghirah keislaman yang tinggi. Buat mereka bekerja di BMI bukan hanya sekedar bekerja di bank melainkan juga jihad dalam bidang ekonomi. Nama-nama aktivis ekonomi syariah seperti Zainul Bahar Noor (terakhir menjabat sebagai dubes Indonesia untuk Kerajaan Yordania) dan A. Riawan Amin (sekarang Dirut BJBS) tercatat pernah menahkodai bank yang menyebut dirinya pertama murni syariah tersebut.
Dari sisi eksternal, nasabah BMI baik kreditur maupun debitur didominasi oleh kaum muslimin yang juga idealis. Saat itu ada pameo bahwa BMI adalah banknya umat Islam Indonesia. Bisa dibilang saat itu masyarakat bertransaksi dengan muamalat bukan semata factor ekonomi tapi lebih karena alasan ideologis. Tidak heran jika A. Riawan Amin dalam satu wawancara dengan majalah Sharing menyebut bahwa pada saat krisis 1998 BMI tetap mampu eksis bukan hanya karena system syariahnya tapi juga karena nasabah loyal yang tetap menaruh kepercayaan pada BMI disaat bank lain mengalami penarikan dana besar-besaran ditambah kredit macet yang mencapai 50% akibat suku bunga melonjak hingga 60%.
Sejak masuknya Boubyian Bank (Kuwait) dan Sedco (Saudi Arabia) sebagai pemegang saham pada 2005, BMI total kehilangan ruh sebagai bank Islam pertama di Indonesia.
Sejak masuknya Boubyian Bank (Kuwait) dan Sedco (Saudi Arabia) sebagai pemegang saham pada 2005, BMI total kehilangan ruh sebagai bank Islam pertama di Indonesia. Sebelum keduanyanya masuk, Islamic Development Bank (IDB) yang juga dimiliki pemerintah RI bersama negara-negara OKI lainnya menjadi pemegang saham BMI pada 1999. Bouybian Bank dan Sedco memaksakan right issue pada 2013 dengan pematokan harga Rp 480 per lembar, lebih rendah dari permintaan pasar sebesar Rp 625 pada IPO yang dibatalkan Bouybian Bank dan Sedco pada waktu sebelumnya. Saham Bouybian Bank meningkat menjadi 30 persen dan saham Sedco menjadi 24 persen (saham IDB tetap pada posisi 32 persen).
Kebijakan dalam bentuk campur tangan Komisaris utusan Bouybian Bank dan Sedco mengambil alih tupoksi direksi sangat mencolok melanggar good corporate governance yang semakin merajalela sejak kedua lembaga tersebut menempatkan komisaris utusannya, Saleh Ahmed Al-Ateeqi dan Sultan Muhammed Abulrauf. Kedua komisaris utusan ini memaksakan semua putusan atas dasar pemungutan suara (voting) tidak saja di dalam RUPS, tetapi juga di dalam setiap rapat-rapat dewan komisaris dengan berpegang pada total saham yang dimiliki keduanya mencapai 54 persen.
Pemaksaan dengan cara voting tersebut membuat IDB tidak dapat bergerak, seperti apa yang disebutkan Komisaris Utusan IDB di BMI Muhamad Al-Midani kepada pengurus Forum Komunikasi Pemegang Saham (lokal). Pribadi dan sikap tidak baik ditambah perilaku kasar dan merendahkan pejabat-pejabat senior lokal dan regulator lembaga keuangan RI (baca: OJK) dari keduanya terungkap sangat jelas pada sebelum dan saat RUPS BMI 23 Juni 2014.
Alhasil jajaran direksi yang ditetapkan RUPS terdiri dari para eksekutif yang tidak berasal dari bank syariah. Tercatat hanya ada 2 (Dua nama) tersisa yaitu Evi Afiatin Ismail dan Setiabudi yang boleh dikatakan punya track record syariah yang cukup baik. Evi sebelumnya merupakan direktur kepatuhan Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS) selama 5 tahun. Meskipun pengalaman sebelumnya juga dihabiskan di bank konvensional yaitu BII Maybank dan Bosowa tetapi kiprahnya di BRIS dianggap cukup baik. Adapun Setiabudi merupakan “anak kandung” Bank Muamalat yang sudah berpengalaman menduduki berbagai jabatan di BMI seperti Kepala Divisi dan Kepala Cabang.
Dengan profile direksi yang demikian dapat dibayangkan bagaimana kiprah BMI ke depan di tengah pertanyaan masyarakat yang kian menguat mengenai dua kata kunci : komitmen syariah dan keberpihakan. Dimasa periode sebelumnya yang didominasi oleh para praktisi perbankan syariah dari sisi sharia complience BMI dikenal cukup ketat. Misalnya ketika bank syariah lain ramai menjual produk gadai dan berkebun emas BMI memilih menahan diri untuk tidak ikut-ikutan. Begitu pula saat banyak bank syariah membuat produk multiguna yang secara prinsip syariah banyak dipertanyakan BMI tidak latah. Terakhir BMI juga bertahan tidak mengeluarkan produk credit card (kartu hutang) yang sedang booming di industri. Meski kemudian terkesan kaku dan ketinggalan dalam hal inovasi produk tetapi kegigihan BMI untuk bertahan dengan jatidirinya sebagai bank yang komitmen dengan nilai-nilai syariah perlu diapresiasi. Mampukah jajaran direksi sekarang yang didominasi para kapitalis riba mempertahankan jatidiri dan visi misi BMI tersebut? [abuazzam/voa-islam.com]