JAKARTA (voa-islam.com) - Setiap kali diskusi dengan kawan-kawan saya selalu dibuat tergagap dengan pertanyaan : apa beda bank syariah dengan bank konvensional? Mestinya saya nggak perlu gagap karena secara teoretis mudah sekali menjelaskan perbedaan keduanya. Mudah, semudah kita membedakan seekor kambing dengan seekor babi. Tapi itu secara teori. Bagaimana praktiknya?
Secara teori sebenarnya bank syariah diuntungkan variasi produk yang lebih banyak dibandingkan bank konvensional. Konvensional hanya mengenal tabungan dan deposito (produk funding), kredit (produk lending). Dengan hanya dua produk ini sebenarnya bank dalam kondisi fragile karena kredit yang biasanya jangka panjang (3-20 tahun)menggunakan dana tabungan dan deposito yang pasti bersifat jangka pendek (1 bulan sampai 1 tahun). Artinya ada mismatch antara penggunaan dana dengan sumber dananya. Artinya juga bank dalam kondisi bahaya sebab sewaktu-waktu ada penarikan dana besar-besaran akibat kondisi ekonomi dan politik secara makro sementara dananya sudah terserap untuk investasi jangka panjang. Jika bank syariah mengadopsi mentah-mentah apa yang ada di bank konvensional—seperti yang selama ini terjadi—maka bukan tidak mungkin apa yang terjadi pada perbankan konvensional tahun 1998 akan terjadi juga pada perbankan syariah. Apalagi sebagaimana disampaikan oleh mantan Dirut Bank Muamalat Indonesia, A. Riawan Amin, kemampuan BMI untuk bertahan dari krisis tahun 1998 bukan karena konsep syariah yang diterapkan tetapi lebih karena ukuran BMI yang saat itu masih sangat kecil dan loyalitas nasabah yang ketika itu memang didominasi oleh kalangan ideologis muslim.
Pada konsep syariah sebenarnya bank memiliki ruang untuk mempertemukan antara kebutuhan investasi jangka panjang dengan sumber dananya. Misal, kita mengenal apa yang disebut dengan mudharabah muqayyadah (investasi terikat), dengan instrument ini bank dapat menawarkan kepada para debitur untuk berinvestasi pada sektor atau jenis usaha tertentu yang diketahui betul profil usahanya oleh semua pihak yang berserikat. Tentu sesuai dengan karakteristik investasi mudharabah, bank harus mampu mengedukasi kreditur agar tertarik dengan jenis instrument ini. Karakteristik dimaksud antara lain, pertama, investasi mudharabah bersifat jangka panjang dan kreditur tidak dapat sewaktu-waktu menarik dananya. Kedua, bagi hasil yang diterima kreditur sesuai riil pendapatan perusahaan yang dibiayai dan mulai diterima begitu perusahaan tersebut membukukan pendapatan. Ketiga, ada resiko yang diterima mudharib begitu menginvestasikan uangnya ke bank syariah.
Meskipun dengan karakteristik tersebut terkesan instrument ini terkesan kaku dan tidak menarik tetapi bank dapat memberikan return/bagi hasil yang jauh lebih tinggi kepada kreditur/mudharib sebab bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan riil usaha pasti memberikan hasil yang lebih tinggi. Bagi debitur, instrument ini memberikan ketenangan dan kepastian dalam berbisnis ketimbang pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang selama ini dipraktekkan bank dimana debitur harus membayar pokok pembiayaan dan bagi hasil yang—biasanya—disetarakan dengan bunga bank konvensional.
Tanpa membuat diferensiasi dari bank konvensional, niscaya perbankan syariah akan jalan ditempat. Memasuki tahun 2014 beberapa indikator keuangan perbankan syariah mengalami perlambatan. Tahun 2009 penyaluran pembiayaan tumbuh 22,74%, pada 2010 naik dua kali lipat menjadi 45,42% dan pada 2011 mencapai 50,56%. Mulai 2012 laju pertumbuhan berbalik arah dan melemah menjadi 43,69%, kemudian turun lagi menjadi 24,82% pada 2013 dan semakin terpuruk pada 2014 dimana hingga April 2014 pertumbuhan year on year (yoy) hanya tercatat 15,09%.
Dana pihak ketiga (DPK) yang menjadi dapur pacu perbankan syariah pun macet. Jika 2009 mencatat pertumbuhan 41,84%, lalu 45,46% pada 2010 dan meningkat lagi menjadi 51,79% pada 2011, maka pertumbuhan tahun 2012 hanya tercatat 27,81% dan sampai April 2014 secara yoy tercatat hanya tumbuh 17,03%.
Dengan angka-angka tersebut tidak heran jika target pangsa pasar 5% yang dicanangkan akan tercapai pada tahun 2010 hingga hari ini masih jauh panggang dari api. Alih-alih tercapai, market share perbankan syariah justru turun menjadi 4,88% dari sebelumnya 4,89% pada tahun 2013, begitu pula dengan jumlah kantor layanan yang turun dari 2588 unit menjadi 2564 unit.
Jika hal ini terus terjadi bukan tidak mungkin, perbankan syariah akan segera mati suri. [abu azzam/voa-islam.com]