View Full Version
Rabu, 03 Dec 2014

Resensi Buku: Membongkar Kerapuhan Pondasi Agama Syiah

Assalamualaikum Sahabat Voa-Islam,

Syiah, sebagai sempalan dalam Islam yang kini terus melahirkan masalah yang tidak berkesudahan. Karena itu, para ulama, intelektual, hingga cedekiawan Islam, khususnya Ahlussunnah terus-menerus melakukan berbagai macam upaya dalam menangkal penyesatan yang dilakukan penganut Syiah secara terorganisir, simultan, dan sporadis.

Berbeda dengan sempalan lainnya dalam Islam. Syiah adalah satu-satunya aliran sesat yang kesesatannya dapat eksis, awet, bahkan tumbuh dan terus berkembang. Aliran Mu'tazilah misalnya, hanya bertahan beberapa abad saja, dan setelah itu terkubur dalam kubang sejarah. Sedang Ahmadiyah, secara resmi di beberapa negara, seperti Pakistan telah menjadi agama mandiri dengan "Tazkirah" sebagai kitab sucinya, dan "Mirza Ghulan Ahamd" sebagai nabinya.

Ada pun kasus Syiah, mereka sungguh rumit. Namun secara umum, dapat dipetakan masalah utamanya, kenapa mereka bisa eksis dari masa ke masa. Pertama. Syiah memiliki sejarah panjang, dengan pengalamannya menguasai suatu negara, atau daulah selama berabad-abad, termasuk saat ini, Iran sebagai pos kekuatan dan kekuasaan mereka. 

Kedua. Kedudukan Iran sebagai negara yang memegang peranan penting di dunia Islam khususnya Timur Tengah, bermula pasca lahirnya revolusi Iran di akhir tahun 1979 yang berhasil melahirkan tokoh utama bernama Ayatollah Khomeini. Sejak saat itu, Khomeini terus menerus melakukan ekspansi pada negara-negara Ahlussunnah, memperkenalkan Syiah dengan berbagai tipu daya dan kebohongan. Banyak yang terkecoh, termasuk pemerintah dan masyarakat Indonesia yang terus menerus melakukan kerjasama dengan cara mengirim para pelajar ke Iran, dan pada saat yang sama, Ayatollah bertebaran di Indonesia melakukan penyesatan.

Ketiga. Ulama su' yang terus-menerus diproduksi Iran. Banyaknya ulama su' yang menjadi gudang ilmu sesat akan terus menerus mengalirkan bah kesesatan di  penjuru dunia yang kini sudah tak mengenal seting ruang dan waktu. Kita saksikan, beberapa waktu lalu, Ayatollah Iran sudah berani masuk di Masjid Istiqlal memberikan ceramah, mengajak pada persatuan dan kesatuan umat. Padahal, kita sama-sama ketahui, justru Syiah yang selama ini menjadi tumor ganas dalam tubuh umat Islam. Saksikanlan, dimana ada Syiah, di sana gejolak horizontal terus berkembang seperti Iraq, Syiria, Lebanon, Mesir, Pakistan, bahkan kantong-kantong penganut Syiah di Indonesia memiliki potensi besar terjadi perpecahan dan kerusuhan, sebagaimana kasus Sampang beberapa waktu lalu.

Keempat. Doktrin taqiyah, atau mengatakan dan bertindak di depan orang lain yang bertentangan dengan pendirian dan isi hatinya, yaquluna wa ya'maluna ma laisa fi qulubihim, yang sebetulnya tidak ada bedanya dengan kebohongan. Karena kepura-puraan inilah sehingga ajaran Syiah mudah diterimah kalangan Ahlussunnah, sebab ketika mereka berada di tengah-tengah Ahlussunnah, seakan menjadi bagian dari mereka. Namun ketika kembali ke komuntas asalnya, para orang Syiah itu mengamalkan ajaran mereka sambil mengolok-olok Ahlussunnah, tida ada bedanya dengan orang Yahudi, khususnya di zaman Rasulullah. Ketika bertemu umat Islam, mereka mengatakan keimanan, namun setelah kembali ke komunitasnya, mereka mengolok-olok, padahal sejatinya, diri mereka sendirilah yang diolok-olok. Dan, Syiah pun demikian, selalu manampakkan suasana damai dan tenang di hadapan kita, namun sebaliknya hatinya penuh dengan dendam dan dengki.

Karena itu, harus ada kesadaran dari kalangan ulama, para dai, intelektual, masyarakat umum, hingga pemerintahn untuk membendung aliran sesat Syiah.

Salah satunya, dengan berusaha memaparkan dasar-dasar pijakan agama Syiah yang juga mereka klaim sebagai nash wahyu, Al-Qur'an dan hadis. Telaah kali ini, membongkar kesesatan Syiah berdasarkan hadits tsaqalain yang mereka jadikan pijakan untuk beragama.

***

Buku karya KH. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag, "Al-Qur'an dan Ahlul Bait; Syarah Hadits Tsaqalain, Mendudukkan Posisi Ahlussunnah dan Syiah, Cet.I; Malang: Yayasan Bina Mujtama', 2014"

Tsqalain secara bahasa diambil darsi tsaqil, berarti berat, adanya perubahan kata menjadi "tsaqalain" menandakan bilangan, yang bermakna "dua hal yang berat". Secara istilah, tsaqalain adalah makna lain dari Al-Qur'an dan Ahlul Bait, atau keluarga Nabi, kadang juga dimaknai 'dua pusaka'.

Dalam pandangan Syiah, hadits tsaqalain adalah dasar dan asas dalam agama, di sinilah mereka berpijak dan membangun pondasi agama. Bukan dari Al-Qur'an dan hadis shahih lainnya.

Bahkan, mereka sangat mengagung-agungkan kedudukan hadis ini, dalam "Buku Putih Mazhab Syiah, 2012" dipaparkan bahwa hadits tsaqalain termasuk paling indah, paling shahih, dan paling tersebar luas di kalangan muslimin. Hadis ini telah diabadikan oleh enam kitab shahih (al-kutub assittah) dan para ulama juga menerimanya.

Masalahnya tidak sampai di situ saja, para pemeluk agama Syiah ini merasa hanya merekalah yang mengamalkan hadis tsaqalain, selain itu, terutama Ahlussunnah
wal-Jama'ah tidak mengamalkannya,(h. 2).

Benarkah demikian? Di sinilah urgensinya mendudukkan hadits tsaqalain pada tempatnya, agar tidak berlaku zalim dan semana-mena, serta 'memperkosa' sebuah nash. Untuk mengetahui shahih tidaknya sebuah hadits menurut Syiah, maka harus pula diketahui syarat-syarat hadits yang shahih menurut Syiah.

Al-Syahid al-Awwal atau Muhammad bin Jamaluddin Makki al-Amili (734-786 H) berkata, Hadits Shahih adalah apa yang bersambung periwayatannya kepada imam yang ma'shum, diriwayatkan oleh rawi adil yang imami, (h. 16). Juga perkataan, Al-Syahid al-Tsani atau Zaenuddin bin Nuruddin bin Ahmad bin Jamaluddin al-Amili (911-966H), Hadits shahih ialah yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma'shum, diriwayatkan oleh rawi adil yang imami, dari yang semisalnya dalam semua tingkatan, dimana riwayat itu banyak meskipun terkena keganjilan ( syudzudzuz), (h. 16). Pun demikian, buku karya, Mohammed Reza Modarresee, "Syiah dalam Sunnah Mencari Titik Temu yang Terabaikan, terbitan Citra yang beralamatkan di Jln. Buncit Raya Kev. 35 Pejaten Jakarta (ICC), disebutkan, Hadits yang shahih harus memiliki karasteristik-karasteristik, misalnya keyakinan perawi para imam dan sebagainya. Inilah yang disebut rawi imami yang meyakini konsep imamah Syiah. Dengan kata lain, hadits shahih adalah yang diriwayatkan oleh perawi Syiah Imamiyah, jika tidak maka haditsnya tidak shahih, (h. 16).

Setelah diteliti dan dipreteli oleh KH. Agus Hasan Bahori, Hadits Tsaqalain, maka tanpak jelas jika hadis ini adalah milik Ahlussunnah wal-Jamaah, dan tidak pernah dirawikan oleh perawi Syiah. Karena itu, jika berpedoman pada syarat-syarat diterimanya sebuah hadis Syiah di atas sudah selayaknya hadits tsaqalain dibatilkan mereka.

Namun sebaliknya, justru penganut Syiah dengan berbagai alibinya berusaha menampakkan bahwa hadits tsaqalain adalah milik bersama baik Syiah maupun Ahlussunnah. Bahkan hadis ini dijadikan propaganda dalam menyeret Ahlussunnah masuk ke dalam kubang kesesatan Syiah.

Tidak hanya itu, sang penulis buku juga memaparkan jalur-jalur periwayatan hadits tsaqalain, melalui jalur Ahlussunah, dengan melakukan tarjih secara cermat dan sistematis. 

Misalnya, hadits tsaqalain yang menekankan untuk berpegang teguh pada Kitabullah [Al-Qur'an] dan Ahlul Bait, atau semisalnya. Dalam paparan ini, setidaknya ada lima hadits yang mirip dengan jalur periwayatan yang tidak sama. Ada pula hadits yang mewajibkan berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulillah [hadits] minus Ahlul Bait. Setidaknya dipaparkan dua belas hadis yang bermaksud sama dengan jalur dan perawi yang berbeda.

Diterangkan pula, perbedaan hadits-hadits di atas, termasuk kedudukannya, sehingga para pembaca diarahkan untuk memahami antarsatu hadits dengan lainnya, kendati memiliki maksud atau subtansi yang sama. Namun redaksi dan perawinya berbeda, maka pembaca secara otomatis akan mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang perbedaan redaksi dan rawi hadits-hadits tsaqalain.

***

Secara pribadi, sang penulis, KH. Agus Hasan Bashori, saya kenal baik, karena saat ini kami sama-sama melanjutkan pendidikan pada jenjang doktoral di UIKA Bogor. Selama kami sekelas, terlihat jelas kepakaran beliau dari berbagai disiplin ilmu. Penguasaannya terhadap kitab-kitab turats tidak perlu diragukan lagi.

Alumni LIPIA Jakarta, tahun 1994 ini adalah penulis produktif, hasil terjemahan saja hingga sementara ini telah menghasilkan sedikitnya 27 buku, dan karya tulis asli sekitar 21 buku, ada pun "Al-Qur'an dan Ahlul Bait" ini adalah bukunya yang paling anyar. Juga telah melakukan muraja'ah dan komentar sedikitnya 11 buku, dan kini masi menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pendidikan Keluarga "Al-Umm" sejak 2012.

***

Buku "Al-Qur'an dan Ahlul-Bait" ini banyak mendapat apresiasi berupa testimoni dari berbagai tokoh, pakar, ulama, dan intelektual. Sebut saja, Prof. Dr. HM. Baharun, Ketua Komisi Hukum MUI Pusat, menulis pengantar, ...Tradisi caci maki dan laknat-melaknat selama itu agaknya terus dilanggengkan di balik isu mahabbah Ahlul Bait, yang tentu saja hal ini antagonistik. Sehingga harapan untuk hidup rukun dan damai dengan mereka ibarat kata pepatah "jauh panggang dari api". Bagaimana mungkin paham yang mendikotomi kelompok sahabat dengan Ahlul Bait bisa bersama dengan mayoritas paham yang mengompromi kedua pihak. Bagaimana mungkin satu pihak memiliki kebiasaan yang tak berubah untuk mencaci maki para pemuka sahabat Nabi dan istri beliau, bisa bersatu dengan mayoritas umat (Kaum Muslimin) yang menghormati semuanya, la yufarriqu baina ahadin minhum? (h.xvi). Salah satu sanggahan terhadap agresivitas 'dakwah' Syiah Rafidhah ini adalah buku di tangan Anda ini. Ditulis seorang dai yang cukup berpangalaman dalam bidangnya, dengan mengambil tema "Al-Qur'an dan Ahlul Bait," Syarah hadits Tsaqalain yang membuktikan bahwa Syiah tidak mengikuti Ahlul Bait dan tidak mengikuti Al-Qur'an, (h. Xvii).

Ada pun testimoni Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, sebagaimana tertuang dalam kata pengantar yang dalam hal ini sebagai Ketua Umum MIUMI, tulisnya, Saat ini di Indonesia sedang marak penyebaran ajaran Syiah. Di antara cara penyebaran ajaran Syiah di Indonesia adalah dengan menggunakan strategi seperti penyebaran paham pluralisme. Artinya, dalam menyebarkan paham Syiah kepada umat Islam Indonesia yang mayoritas Ahlussunnah, kelompok Syiah hanya menjelaskan kesamaan-kesamaannya dan sedikit mengungkap perbedaannya. Dengan cara ini maka kelompok Syiah berharap agar dianggap dan dipahami sama dengan Ahlussunnah wal-Jamaah serta dapat diterima keberadaan mereka di Indonesia. Bahkan kelompok Syiah dapat misalnya memanfaatkan nalar peluralisme yaitu, 'jika dalam paham pluralisme semua agama dianggap sama benar dan selamatnya, apalagi Syiah yang jelas-jelas memiliki banyak kesamaan dengan Islam. Padahal perbedaan antara keduanya sangat tajam dan meliputi seluruh aspek, (h.xx). 

Berdasarkan rumusan hukum--lanjut Dr. Fahmy Zarkasyi--hukum perbedaan umat Islam dapat bersikap dengan mudah ketika berhadapan dengan berbagai perbedaan di kalangan umat Islam. Dalam Syiah, terdapat beberapa sekte yang berbeda antara satu dengan lainnya. Sekte-sekte itu ada yang berbeda dari Ahlussunnah pada tingkat 'khata'' dan 'shawab'; ada pula yang berbeda pada tingkat 'haqq' dan 'bathil"; bahkan ada kelompok Syiah yang berbeda dari Ahlussunnah pada tingkat mukmin dan kafir. Untuk perbedaan antara Ahlussunnah dan Syiah dalam furu'iyyah tidak perlu dibahas sebab Islam membuka pintu lebar-lebar untuk berijtihad. Namun dalam tingkat kedua dan ketiga perbedaan ini perlu dijelaskan dari akar-akarnya secara ilmiyah dengan menggunakan dalil-dalil yang terpercaya.

Buku di hadapan pembaca ini membahas dalam tingkat kedua dan bahkan mungkin termaasuk dalam tingkat ketiga. Masalahnya berakar dari kontroversi Hadits Tsaqalain. Bagi penganut Syiah, Tsaqalain astinya Al-Qur'an dan Ahlul-Bait. Penganut Syiah mengklaim bahwa mereka mengikuti tsaqalain seperti diwariskan Nabi, sedangkan Ahlussunnah--menurut mereka--tidak mengikutinya. Bahkan menurut mereka Ahlussunnah itu mengikuti musuh-musuh Ahlul Bait, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Seluruh sahabat yang berbaiat kepada para khalifah, sebelum khalifah Ali.

Lalu, apa sesungguhnya arti tsaqalain dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah, bukan Ahlul-Bait, meskipun dalam pengertian ini Ahlul Bait tetap dihormati. Namun, dengan klaim mengikuti dan menghormati Ahlul Bait penganut Syiah justru banyak menantang dan bertentangan dengan sunnah. Bahkan klaim menghormati Ahlul Bait dan menciptakan doktrin imamah justru penganut Syiah telah membuat garis demarkasi dengan Ahlussunnah untuk tingkatan yang ketiga. Artinya dalam padangan Syiah pengikut Ahlussunnah itu berbeda dari Syiah pada tingkat ushul atau tingkat ketiga yang hukumnya adalah kafir, (h.xxii).

Maka upaya-upaya kaum Syiah untuk menyama-nyamakan dengan Ahlussunnah, sejatinya lebih bersifat politis daripada teologis. Sebab jika memang Ahlussunnnah dan Syiah adalah sama, maka mestinya penganut Syiah tidak melakukan penyebaran doktrin Syiah di tengah-tengah pengikut Ahlussunnah wal-Jamaah. Jika Ahlussunnah dan Syiah dianggap sama dan berbeda hanya dalam masalah-masalah furu'iyyah, seharusnya tidak ada orang Ahlussunnah yang 'pindah' menjadi Syiah. Sebab selama initidak ada ceritanya pengikut mazhab Hanafi menyebarkan mazhab Hanafiyah ke tengah kalangan pengikut mazhab Syafi'i. Tidak ada pula pengikut mazhab Syafi'i pindah menjadi pengikut mazhab Maliki, (h.xxii).

Buku "Al-Qur'an dan Ahlul-Bait" ini, karya sahabat karib saya, sangat layak dijadikan tameng untuk menangkal pengaruh dan ajaran Syiah, sekaligus menjadi pil penguat resistensi dan metabolisme alias daya tahan tubuh  dari racun Syiah. Sangat cocok menjadi bacaan wajib bagi para aktivis dakwah, akademisi, hingga para pelajar dan masyarakat umum. Wallahu A'lam.

Ilham Kadir, Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor.

***

Judul Buku: Al-Qur'an dan Ahlul-Bait, Syarah Hadits Tsaqalain, Mendudukkan Posisi Ahlussunnah; 
Penulis: Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.; Penerbit: Yayasan Bina Al-Mujtama', Malang; Cetakan Pertama, 2014;
ISBN:978-602-14124-4-2; 
Halaman: 212 (hard cover); Ukuran: 14,5 x 23. 
Pemasaran: 0812 3133 8889. 
Pengantar: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Prof. HM. Baharun, Prof.Dr.Tgk. Muslim Ibrahim, dan Yusuf Utsman Baisa, Lc.;


latestnews

View Full Version