Jakarta (voa-islam.com) — Merebaknya kasus miras oplosan yang menewaskan banyak orang di Sumedang dan Garut membuat banyak pihak terhenyak. Ternyata peredaran miras di negeri ini begitu masif dan bebasnya. Baru-baru ini di Sumedang, 109 orang menjadi korban miras oplosan di mana 10 diantaranya tewas. Bahkan di Sumedang, enam orang korban yang dirawat adalah anak dibawah umur. Sementara itu, di Garut, 16 orang tewas dan empat orang masih dalam perawatan rumah sakit. Melihat kondisi ini, Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) akan segera mendirikan cabang di Sumedang dan Garut.
“Inilah akibat kalau kita, bukan hanya pemerintah tetapi juga masyarakat menganggap miras itu hal biasa. Miras dijual seperti kacang goreng, terangan-terangan. Siapa yang tidak sedih, di Sumedang itu, anak 11 tahun dipaksa minum miras sama orang dewasa. Kita akan segera dirikan chapter di Sumedang dan Garut,” ujar Ketua GeNAM Fahira Idris di Jakarta (06/12).
Kejadian tewas akibat miras sudah terjadi berulang di banyak daerah di Indonesia, namun sampai saat ini tidak ada langkah konkret dari Pemerintah baik di pusat maupun di daerah untuk mengatur peredaran miras. Pendirian GeNAM di kedua daerah ini bertujuan untuk mengkampenyekan bahaya miras, menggerakkan warga untuk bersama memberantas miras dan mendesak kepala daerahnya untuk segera mengeluarkan regulasi miras.
Menurut Fahira, jika ada niat dari kepala daerah untuk melindungi warganya dari miras maka kejadian seperti ini bisa dicegah. “Coba perhatikan saja, ada tidak kepala daerah yang dalam program kerja mau berantas miras? Kalau sudah jatuh korban baru bertindak. Selama tidak ada niat dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kita sebagai warga untuk bergerak bersama-sama memberantas miras, sampai kiamat pun kejadian seperti akan terulang,” tukas Anggota DPD ini.
Fahira mengatakan, kejadian di Sumedang dan Garut ini menjadi warning bagi kepala daerah lain di Indonesia untuk melindungi warganya dari miras. Fahira menyarankan gubernur, bupati, walikota, untuk jangka pendek ini membuat peraturan yang melarang miras diproduksi, didistribusikan, dan dijual di daerahnya serta gelar razia rutin. Sembari itu, lanjut Fahira kepala daerah bisa mengajukan rancangan perda miras untuk dibahas bersama DPRD.
Fahira mengungkapkan, Perpres Nomor 74 Tahun 2013 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol sudah jelas mengamanatkan bahwa daerah dibolehkan buat perda miras sesuai dengan karekteristik daerahnya.
“Setahu saya baik Sumedang maupun Garut itu tidak ada budaya minum miras. Masyarakatnya cukup religius. Peristiwa ini terjadi karena miras dijual bebas. Jadi jangan takut buat perda miras bahkan perda anti miras karena perpres sudah membolehkannya. Masalahnya, kepala daerah ini punya niat nggak melindungi warganya?,” tanya Fahira.
Selain Perpres Miras, Permendag No.43/2009 dan Permendag 20/2014 juga sudah jelas melarang miras dijual di 10 tempat yaitu mini market/warung/toko; kaki lima; terminal; GOR; di pemukiman; sekitar RS/Klinik, Rumah Ibadah, Kampus/sekolah, bumi perkemahan, dan stasiun. Namun, dari pengamatan GeNAM, semua daerah terutama yang tidak punya perda miras, tidak ada yang menjalankan permendag ini. “Jangankan di daerah, di Jakarta saja ini dilanggar. Semua mini market di Jakarta itu jual miras. Bahkan mini market yang ada di stasiun kereta,” kata Fahira.
Khusus peristiwa di Sumedang dan Garut, Fahira meminta kepala daerahnya bertanggung jawab. Peristiwa ini tidak akan terjadi kalau kepala daerahnya punya sensitifitas untuk melindungi warganya dari Miras. “Saya menuntut, beliau-beliau ini (bupati Sumedang dan Garut) segera buat regulasi yang tegas untuk menghentikan peredaran miras di daerahnya. Ini juga seruan untuk semua kepala daerah di Indonesia,” tegas perempuan yang juga ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri ini. [adivammar/voa-islam.com]