

RIYADH, ARAB SAUDI (voa-islam.com) - Arab Saudi kembali menatap masa depan ekonominya dengan harapan baru — kali ini berpusat pada teknologi dan kecerdasan buatan (AI), setelah selama beberapa dekade menggantungkan diri pada minyak.
Negara itu kini berupaya memanfaatkan cadangan energi yang melimpah untuk menjadi pusat regional bagi pengembangan AI, menurut seorang pejabat tinggi pemerintah.
Selama ini, Riyadh berusaha melakukan diversifikasi ekonomi melalui program Vision 2030, namun rendahnya harga minyak dan lambatnya pelaksanaan proyek-proyek besar membuat ambisi besar tersebut harus disesuaikan.
Sebagai gantinya, Arab Saudi kini berencana membangun pusat data raksasa dengan dukungan energi murah dan infrastruktur listrik yang kuat. Langkah ini beriringan dengan peluncuran Humain, kendaraan investasi teknologi baru yang diharapkan menjadikan Riyadh salah satu pusat inovasi AI terbesar di dunia.
Berbeda dengan banyak negara lain yang juga tengah berlomba masuk ke pasar AI, Arab Saudi memiliki keunggulan kompetitif berupa infrastruktur energi yang mapan dan biaya listrik murah, yang memungkinkan kerajaan menjalankan pusat data dengan biaya jauh lebih rendah dibanding para pesaingnya.
“Kami memiliki keunggulan di Arab Saudi,” kata Tareq Amin, CEO Humain, kepada CNN.“Lihat saja jaringan energi luar biasa di negara ini — kami tidak perlu membangun stasiun listrik baru untuk mengalirkan daya ke pusat data. Itu berarti saya telah menghemat waktu hingga 18 bulan.”
Meskipun masih pendatang baru di industri ini, Amin menargetkan untuk menjadikan Arab Saudi sebagai pasar AI terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan Tiongkok.
Didirikan pada Mei lalu, Humain menjadi penggerak utama misi ini melalui pusat data, penyimpanan awan (cloud storage), dan inovasi teknologi lainnya. Perusahaan ini didukung penuh oleh Public Investment Fund (PIF) senilai US$1 triliun, lembaga investasi milik negara. Sejak diluncurkan saat kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Riyadh awal tahun ini, Humain telah memperkenalkan sistem operasi berbasis AI dan laptop pintar bertenaga AI.
Namun, muncul sejumlah pertanyaan tentang kemampuan Saudi memperoleh chip AI dari Amerika Serikat, mengingat Uni Emirat Arab menghadapi kendala serupa. Selain itu, para analis juga mengkhawatirkan gelembung AI (AI bubble) yang bisa pecah sewaktu-waktu — bahkan lebih dahsyat dari krisis dotcom akhir 1990-an.
Riyadh juga tampaknya menyadari bahwa Vision 2030 tidak sepenuhnya berjalan sesuai rencana, yang dapat mengurangi kepercayaan investor asing. Beberapa proyek besar seperti The Line dan proyek-proyek futuristik lainnya telah dikurangi skala atau tertunda karena rendahnya harga minyak.
“Kami mengeluarkan terlalu banyak,” ujar seorang pejabat Saudi kepada The Times. “Kami terlalu terburu-buru. Kini kami mengalami defisit dan harus menentukan prioritas ulang.”
Bahkan ada kabar bahwa resor ski buatan Trojena kemungkinan tidak siap untuk Asian Winter Games 2029, di mana Korea Selatan disebut siap menggantikan jika penundaan terjadi.
“Kemungkinan Trojena baru siap pada 2032, tepat untuk Asian Winter Games 2033,” ungkap seorang sumber kepada The Times.
Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS), pemimpin de facto kerajaan, berupaya mentransformasi Arab Saudi secara sosial dan ekonomi, dengan teknologi sebagai pilar utama visinya.
Sang pangeran muda telah menyusun peta jalan pembangunan mega-proyek seperti NEOM dan destinasi wisata futuristik, untuk mengubah ekonomi Saudi dari ketergantungan minyak menjadi ekonomi berbasis real estate, jasa, dan teknologi tinggi.
Sumber yang dikutip Reuters pekan lalu menyebutkan bahwa Arab Saudi kini mulai meninggalkan fokus pada properti dan beralih ke investasi nyata di bidang AI dan teknologi. (TNA/Ab)