View Full Version
Jum'at, 04 Sep 2009

Musibah Penegur Jiwa

Oleh: Burhan Sodiq

Ketika musibah terjadi biasanya kemudian akan ada banyak komentar bermunculan. Ada yang langsung menyalahkan pemerintah karena tidak melakukan antisipasi. Pemerintah salah, pemerintah bertanggungjawab dan pemerintah berada pada pihak yang disudutkan.

Kita sebagai orang beriman tentu saja berbeda memandang musibah. Musibah adalah salah satu cara teguran dari Allah untuk hambanya

Ada pula yang langsung menyalahkan alam. Karena alam tak lagi dikasihani maka kemudian hukum alam terjadi. Ketidakseimbangan alam mengakibatkan terjadi musibah. Alam menjadi sebuah rantaian sebab akibat yang sangat panjang.

Ada pula yang melihat musibah sebagai ajang untuk unjuk gigi. Pamer bantuan dengan bendera dan panji yang diangkat. Agar diketahui, diekspos dan kemudian menjadi partai yang dipilih saat pemilu nanti. Itu pun masih lima tahun lagi.

Ada pula yang justru memanfaatkan musibah sebagai ajang mencuri bantuan. Membuat proposal bantuan dan diedarkan sedangkan uang yang terkumpul hanya dimakan sendiri. Tak ada sisa kecuali hanya sedikit saja.

Sementara bagi para korban, musibah adalah sebuah derita. Memeras air mata, mengernyitkan dahi dan kulit badan. Susah, bertumpuk-tumpuk. Lelah yang menggelayut. Sedih, perih dan ingin segera selesai semuanya. Kembali hidup normal seperti sedia kala. Kembalikan senyumnya, dan bahagia kembali seperti semula.

Kita sebagai orang beriman tentu saja berbeda memandang musibah. Musibah adalah salah satu cara teguran dari Allah untuk hambanya karena sudah terlalu banyak kemaksiatan dan dosa yang dilakukan.

Allah Ta'ala berfirman:

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Al Hadid : 22)

Inilah hidup. Bahwa ujian dan masalah serta musibah segalanya telah menjadi ketetapan Allah. Janganlah terlalu lama bersedih, semua menjadi bagian dari penguat keimanan kita. Allah ingin menguji sejauh mana ketangguhan iman kita kepada Allah.

Bahwa nasib manusia, baik atau buruk, bahkan setiap peristiwa yang terjadi di atas panggung dunia ini, pada hakikatnya sudah ditentukan sebelumnya. Keterangan ini memberikan perspektif yang jelas tentang kedudukan ujian hidup manusia, bahwa ujian hidup berupa senang maupun susah sudah ditentukan sebelumnya sehingga manusia tak perlu menyesali atau memaksakan kehendak. Sikap yang pas dalam menghadapi takdir memang bukan hal mudah. Terutama ketika menghadapi peristiwa yang sangat menyedihkan, atau sangat berat, manusia benar-benar harus menempatkan dirinya dengan se-tepat-tepatnya. Manusia harus mengambil sikap bersabar atas ujian dan tetap bersangka baik pada Allah padahal ia sedang susah atau gundah. Itulah ujian, semua ujian memang diadakan untuk menguji sampai ke titik-titik batas kesanggupan.

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata:

“Kebaikan yg tiada kejelekan pada adl bersyukur ketika sehat wal afiat serta bersabar ketika diuji dgn musibah. Betapa banyak manusia yg dianugerahi berbagai keni’matan namun tiada mensyukurinya. Dan betapa banyak manusia yg ditimpa suatu musibah akan tetapi tdk bersabar atasnya.”

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Qs Al Anbiya’: 35)

Ibnu Katsir –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “Makna ayat ini yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang beputus asa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342, Cet Daru Thayyibah)

Gempa yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu seharusnya disikapi sebagai sebuah musibah untuk menguji keimanan kita. Bukan justru malah saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Ini juga merupakan momen untuk berbenah, mengevaluasi, seberapa besar kesalahan kita kepada Allah ta'ala. Sehingga momen ini bisa menjadi momen taubat secara nasional. Kembali kepada Allah dengan jiwa yang lapang.

Apapun analisanya, apapun alasannya musibah alam itu terjadi, seharusnya tidak justru malah menjauhkan kita dari Allah ta'ala. Kita hanya hamba yang lemah dan lebih banyak tidak tahu apa-apa bila dibandingkan dengan Allah yang Maha Tahu segalanya. Sehingga tidaklah layak bagi manusia untuk sombong dengan pengetahuannya yang hanya sedikit saja.

Pemerintah harus lebih peka terhadap teguran Allah dalam bentuk musibah ini. Mengoreksi apa yang selama ini terjadi terkait dengan sikap dan perlakuan terhadap hak-hak Allah atas hambanya. Sekaligus juga mencoba mengevaluasi seberapa besar kewajiban yang telah terlalaikan olehnya. Kemudian berbalik dan merubah setiap kebijakan yang justru membawa rakyat kepada kemaksiatan dan sedurhakaan terhadap Rabbnya.

         


latestnews

View Full Version