Macet adalah fenomena kota Jakarta dan kota-kota sekitarnya yang menjadi tujuan para urban untuk mencari penyambung hidup. Bukan berarti kota-kota lainnya bebas macet. Dari penelusuran di internet, hampir kota-kota besar di seluruh Indonesi akrab dengan kemacetan, khususnya di pagi dan sore hari.
Macet, yang berarti MAu CEpeT (maksudnya, karena sama-sama mau cepet, jadinya macet) bisa berimbas mampetnya pemikiran yang jernih sehingga tercetus kalimat-kalimat yang kotor, baik berupa keluh kesah, ngomel-ngomel sendiri sampai ngomelin orang lain. Macet juga menjadi penyebab stres sehingga dia berbuat tanpa kontrol dan kurang memperhitungkan akibatnya, apa Allah ridla atau tidak.
Sebagai orang Islam, tujuan hidup-nya adalah untuk mengabdi kepada Allah. Dalam istilah syar'inya dikenal dengan ibadah. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku," (QS. Adz Dzariyaat: 56). Ibadah dalam arti menjadikan seluruh perbuatan dan perkataannya bernilai pahala di sisi Allah sehingga Allah ridla dan cinta kepadanya.
Hidup yang kita jalani tidak pernah lepas dari dua hal, yang menyenangkan atau yang menyebalkan (tidak disuka). Dan keduanya bisa bernilai pahala, bagaimana caranya? Bersyukur terhadap yang pertama dan bersabar terhadap yang kedua. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Jika mendapat kesenangan bersyukur dan jika ditimpa musibah bersabar dan yang demikian baik baginya." (HR Muslim)
Namun, perlu diingat bahwa hal itu hanya dimiliki orang beriman. Yaitu orang yang dalam langkahnya senantiasa mempertimbangkan dengan keimanan. Yakin Allah senantiasa mengawasinya dan dua Malaikat senantiasa siap mencatat setiap perkataan dan perbuatannya. Tidak ada yang luput barang sedikitpun. Kelak di akhirat Allah akan menampakkannya untuk dibalas, jika baik maka baik pula balasannya dan jika buruk maka keburukan yang dipetiknya. Karenanya ia akan mengusahakan dalam setiap langkah dari hidupnya bernilai ibadah dan bernilai kebaikan.
Ada sebuah pelajaran bagus yang bisa kita petik. Pernah ada seorang suami mengeluh kepada istrinya tentang kemacetan di perjalanan menuju ke kantor. Kata istrinya yang shalihah, "Mas, obatnya macet adalah berzikir. Selain mengobati stress dan pusing tujuh keliling juga mendapat pahala lho." Resep sang istri pun dikerjakannya. Sejak itu ketika di tengah kemacetan, ia pergunakan waktunya dengan berzikir. Dalam pengakuannya, "ternyata asyik juga ya".
Kalau dipikirkan, ngomel-ngomel, marah-marah, atau bunyiin klakson berulang-ulang dengan suara keras yang buat pekak telinga orang lain tidak akan mengurangi kemacetan. Bahkan bisa menambah masalah, ribut dengan pengguna jalan yang lain dan yang pasti pahala tidak didapat, ridla dan cinta Allah tidak diraih. Sia-sia kan? Namun kalau digunakan untuk berdzikir seperti membaca dzikir pagi dan sore hari, baca istighfar, sayyidul istighfar, berdoa atau mengulang-ulang hafalan Al Qur'an; di samping bisa menghilangkan stres, pahala juga didapat. Untungkan?
Yang jelas, bagi seorang mukmin tidak boleh menyia-nyiakan waktu dan kesempatannya. Kesempatan, baginya adalah nikmat, sehingga akan diusahakan supaya bernilai ibadah dan menghasilkan pahala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada dua nikmat yang manusia sering dilalaikan (rugi) di dalamnya yaitu sehat dan waktu luang (kesempatan)." (HR. Bukhari dan Ahmad dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma).
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, "barangsiapa menggunakan kedua nikmat tersebut dalam kemaksiatan kepada Allah, maka ia telah tertipu (rugi)." [Purnomo/voa-islam.com]
*Bersegeralah Sebelum Hilang Kesempatan!
* Wahai Saudaraku, Hargailah Waktu!