Oleh: DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A
Akhir-akhir ini arah kiblat mulai menjadi pembicaraan hangat kaum muslimin di Indonesia. Pasalnya fatwa MUI No 3 tahun 2010 yang menyatakan bahwa arah kiblat umat Islam Indonesia ke arah barat mulai direvisi kembali pada fatwa MUI No 5 yang merubah redaksi menjadi arah barat laut.
Apa sebenarnya makna kiblat itu? Bagaimana sejarahnya? Apakah kewajiban menghadap kiblat itu berlaku bagi seluruh shalat atau hanya shalat tertentu saja? Dan kiblat umat Islam Indonesia sebenarnya menghadap ke arah mana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut Insya Allah akan terjawab dalam makalah berikut ini :
Makna Kiblat
Kiblat berasal dari bahasa Arab yaitu al-Qiblat yang berarti arah di mana manusia menghadap. Al Qiblat berasal dari al Muqabalah dan al Istiqbal. Dinamakan al Qiblat karena seorang yang melakukan shalat menghadap ke arahnya. (Abu Hafsh Sirajuddin Umar, Tafsir al Lubab fi Ulumi al Kitab)
Hukum Menghadap Kiblat
Menghadap Kiblat merupakan syarat sah shalat bagi yang mampu menurut kesepakatan para ulama. (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 111, Khatib Syarbini, Mughni Muhtaj Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 331). Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Berkata Ibnu al Arabi: “Asy Syathr secara etimologi berarti setengah dari sesuatu, tapi kadang juga diartikan “arah atau maksud“. Dan ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, baik yang bisa melihat Ka’bah maupun yang tidak bisa melihatnya.“ (Ahkam al Qur’an, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 64, Qurtubi : 2/107-108)
Begitu juga dengan hadist Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua perintah di dalam ayat dan hadist di atas mempunyai arti wajib, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari artinya yang asli.
Cara Menghadap Kiblat
Untuk mengetahui bagaimana cara menghadap kiblat, maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa orang yang shalat mempunyai dua keadaan:
Keadaan Pertama: Orang yang shalat tersebut berada di depan Ka’bah atau mampu melihat Ka’bah secara langsung. Dalam keadaan seperti ini, maka dia harus menghadap langsung ke bangunan Ka’bah. Jika dia tidak menghadap kepada bangunan Ka’bah dan melenceng walaupun sedikit, maka shalatnya tidak sah.
Ibnu Qudamah berkata: “Kemudian jika seseorang langsung melihat ka’bah, maka wajib baginya ketika shalat untuk menghadap langsung ke bangunan Ka’bah, kami tidak mengetahui adanya perselisihan antara para ulama dalam masalah ini. Berkata Ibnu ‘Aqil: “Jika sebagian arahnya melenceng dari bangunan Ka’bah, maka shalatnya tidak sah’.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Beirut, Dar al Kitab al Araby, 1/ 456 ) Bisa dirujuk pula Tafsir al- Qurtubi : 2/108.
Keadaan Kedua: adalah orang yang tidak berada di depan Ka’bah dan tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung.
Dalam keadaan kedua ini, para ulama berbeda pendapat tentang caranya, apakah harus mengenai bangunan ka’bah atau cukup menghadap ke arahnya saja?
Pendapat Pertama: Bahwa orang yang tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung, ia tetap harus menghadap ke bangunan Ka’bah, serta tidak boleh melenceng sekitpun. Ini adalah pendapat sebagian ulama.
Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke Ka’bah.” (QS. Al Baqarah: 144)
Begitu juga dengan hadist Ibnu Abbas rahimahullaah:
لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ الْكَعْبَةِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ
"Ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam Ka'bah, beliau berdo'a di seluruh sisinya dan tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian shalat dua rakaat di depan Ka'bah, lalu bersabda: "Inilah kiblat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat Kedua: Bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah dan itu cukup dengan persangkaan kuatnya. Ini adalah pendapat Mayoritas Ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Dalil dari pendapat kedua ini adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Berkata Ibnu Al Arabi: “Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala ingin memberitahukan bahwa siapa saja yang letaknya jauh dari Ka’bah, maka hendaknya dia menghadap ke arahnya saja, bukan bangunannya, karena sangat susah menghadap ke bangunannya, bahkan itu tidak mungkin bisa dilaksanakan kecuali bagi yang melihatnya secara lagsung.“ (Ahkam al Qur’an : 1/ 64)
Berkata Shan’ani: “Ayat di atas menunjukkan bahwa cukup menghadap arah Kiblat saja, karena untuk menghadap ke bangunan Ka’bah tidaklah bisa dilakukan oleh setiap orang yang melakukan shalat di setiap tempat.“ (Subulus Salam, Dar al Kutub al IImiyah: 1/ 251)
2. Sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam:
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih)
Dewan Fatwa Dan Penilitian Ilmiyah Arab Saudi no. 3534 (6/313) menyatakan tentang hadist di atas sebagai berikut: “Hadist ini ditujukan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya yang berada di utara Ka’bah atau yag berada di selatan Ka’bah. Yang nyata dalam hadist ini bahwa antara timur dan barat adalah Kiblat. Adapun yang berada di barat atau timur Ka’bah, maka kiblatnya adalah antara utara dan selatan.“
Hal serupa juga disampaikan oleh Syaikh Shaleh bin Utsaimin di dalam Majmu’ Fatawanya (12/341). Bahkan oleh ulama-ulama sebelumnya seperti Imam Ibnu Abdul Barr di dalam al Istidzkar (2/458) dan at Tamhid ( 17/58 ), Asy-Syaukani di dalam Nailul Author( 3/253).
3. Hadist Abu Ayyub al Anshari rahimahullaah, bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلا تَسْتَدْبِرُوهَا بِبَوْلٍ وَلا غَائِطٍ ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian mendatangi toilet maka janganlah menghadapi ke arah kiblat dan jangan pula kalian membelakanginya baik dalam keadaan buang air kecil maupun buang besar, tetapi menghadapilah ke timur atau ke barat. “ (HR. Bukhari, no. 144 dan Muslim, no : 264)
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah: “Hadist di atas menjelaskan bahwa selain menghadap ke timur dan barat dikategorikan menghadap atau membelakangi kiblat. Hadist ini ditujukan kepada penduduk Madinah dan yang berada di sekitarnya.” (Syarh al Umdah : 3/ 434)
Artinya bahwa bagi penduduk Madinah, sepanjang mereka menghadap arah selatan, baik menghadap selatan secara lurus, atau melenceng ke timur sedikit atau ke barat sedikit, maka tetap dikatagorikan menghadap Kiblat.
4. Dari Nafi’, bahwa Umar bin Khathab radliyallaahu 'anhu berkata:
ما بين المشرق والمغرب قبلة إذا تُوُجِّه قِبَلَ البيت
“Antara Timur dan Barat adalah Kiblat, jika menghadap ke arah Ka’bah.“ (HR. Imam Malik di dalam al Muwatha’)
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdul al Barr di dalam at Tamhid: (17/58).
5. Bahwa jama’ah shalat di masjid–masjid yang besar dan shafnya sangat panjang melebihi panjangnya bangunan Ka’bah, para ulama telah sepakat bahwa shalat mereka sah, padahal secara yakin mereka tidak menghadap ke bangunan ka’bah.
Berkata Ibnu Rajab al Hanbali: “Para ulama telah sepakat bahwa shaf dalam shalat yang sangat panjang yang letaknya jauh dari Ka’bah dinyatakan sah. Padahal telah diketahui bahwa tidak mungkin semuanya menghadap ke bangunan Ka’bah.“ (Ibnu Rajab, Fath al Bari : 3/142)
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Syarh al Umdah : 3: 434, Ibnu Al Arabi di dalam Ahkam al Qur’an : 1/65, al Qurtubi di dalam tafsirnya : 2 /107).
Berkata Ibnu Rusydi: “Seandainya diwajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah, maka hal itu sangat menyulitkan, padahal agama itu mudah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah tidaklah menjadikan bagi kamu dalam agama ini sesuatu yang menyulitkan “ ( Qs Al Haj : 78 ) (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah: 1/ 111)
Kesimpulan:
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa arah kiblat untuk penduduk Indonesia yang letaknya di sebelah timur Ka’bah adalah barat. Yang paling tepat adalah menghadap ke arah barat laut, tetapi jika melenceng sedikit sehingga menghadap barat lurus, selama masih arah barat, maka shalatnya dikatakan sah.
Dengan demikian, umat Islam Indonesia tidak perlu ribut dan tengkar dalam masalah ini, karena semuanya sah. Masjid-masjid yang sudah terlanjur menghadap barat atau melenceng sedikit tidak perlu dipugar, atau bahkan tidak perlu dimiringkan karpetnya, khususnya jika hal itu akan menimbulkan fitnah di masyarakat. Dan perlu diketahui juga bahwa masjid-masjid besar dipastikan sebagian jama’ahnya tidak akan menghadap bangunan ka’bah secara yakin, karena bangunan Ka’bah lebih kecil dari masjid–masjid tersebut. Walaupun begitu tidak ada satupun ulama yang mengatakan shalat mereka batal. Kenapa kita mesti ribut. Wallahu A’lam. (PurWD/voa-islam.com)
Sumber: www.ahmadzain.com