Kita meyakini bahwa manusia dalam menuntut ilmu terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, Orang awam, dia tidak sah bermadzhab. Madzhabnya adalah madzhab orang yang memberinya fatwa. Syaratnya, mufti tersebut dikenal akan ilmu dan agamanya serta mengikuti ulama salaf dan para imam. Apabila fatwa para ulama tadi berbeda-beda, bagi orang awam tadi untuk mencari ulama yang bisa memberikan tarjih (penguat) untuknya, atau mengambil pendapat ulama yang lebih alim dan wara’. Semua itu dapat diketahui dengan ketenaran dan kemasyhurannya.
Kedua, Penuntut ilmu (thulib al-‘ilm). Orang ini hendaknya menuntut ilmu dari madzhab-madzhab yang sudah dikodifikasikan dan umat telah sepakat menerimanya. Madzhab-madzhab tersebut adalah Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Dia memilih yang paling banyak gurunya dari keempat madhab ini, serta memilih kitab yang paling banyak memperhatikan dan menyebutkan dalil. Dan hendaknya dia terus meningkatkan ilmunya hingga mencapai derajat ijtihad dan bisa berpendapat sendiri.
Ketiga, orang yang telah memenuhi perangkat ijtihad dan mencapai derajat independen dalam berpendapat. Ia harus mengembalikan segala permasalahan langsung kepada dalil-dalil syar’i. Dia tidak boleh bertaklid kepada selainnya dalam satu masalah yang dia sendiri berbeda dengan pendapat orang tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab.” (QS. Al-Nahl: 43-44) Allah memerintahkan kepada orang jahil agar bertanya kepada ahli ilmu.
Allah Ta’ala berfirman,
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-a’raf: 3) Para ulama berdalil dengan ayat tersebut, bahwa bertaklid bagi orang yang mampu menyimpulkan dalil dan berpendapat adalah haram.
Dari Jabir radhiyallaahu 'anhu berkata, “Kami keluar dalam satu perjalanan. Salah seorang kami tertimpa reruntuhan batu sehingga melukai kepalanya. Kemudian dia berihtilam (mimpi basah). Dia bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian mendapati rukhshah untukku buat bertayamum?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendapati rukhshah untukmu padahal kamu mampu menggunakan air.” Lalu dia mandi dan setelah itu meninggal. Ketika kami sampai kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, saya mengabarkan hal itu kepada beliau. Maka beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah menjauhkan kebaikan dari mereka. Kenapa mereka tidak bertanya apabila belum tahu?! Sesungguhnya obat bodoh adalah bertanya”.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim. Keshahihan hadits ini masih diperselisihkan)