Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Terdapat beberapa kabar dari hadits shahih bahwa Nabi shallallau 'alaihi wa sallam banyak beristighfar (meminta ampun) dalam sehari semalam. Di antaranya bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهِ إِنِّيْ لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرُ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
“Demi Allah! Sesungguhnya aku minta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. al-Bukhari)
Dalam hadits lain, beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ فَإِنِّيْ أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai manusia! Bertaubatlah kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.” (Muslim)
Para ulama menjelaskan tentang istighfarnya Nabi shallallau 'alaihi wa sallam yang cukup banyak, di antaranya untuk menampakkan ubudiyah beliau kepada Allah Ta’ala dan bersyukur kepada-Nya atas semua nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya. Makna lainnya yang dijelaskan para ulama, supaya umatnya meniru dan mengikutinya dalam taubat dan istighfar tersebut sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits shahih bahwa beliau mengumpulkan manusia lalu bersabda, “Wahai manusia! Bertaubatlah kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.” (Muslim dan Nasai)
Sedangkan al-Hafidz Ibnul Hajar dalam Fathul Baari menyebutkan, boleh jadi istighfarnya Nabi shallallau 'alaihi wa sallam dan taubatnya karena kesibukan beliau dengan perkara-perkara mubah, seperti: makan, minum, jima’, ridur, istirahat, berbincang dengan orang-orang, melihat usaha-usaha mereka, memerangi musuh mereka, dan lain-lainnya yang menghalanginya dari sibuk zikrullah dan tadharru’ serta bermuraqabah kepada-Nya, lalu beliau menilai semua itu sebagai dosa bila dinisbatkan kepada kedudukan yang super tinggi.
Sebagaimana yang sudah maklum dan disepakati, Allah Ta’ala telah mengampuni semua dosa-dosa Nabi shallallau 'alaihi wa sallam yang lampau dan yang akan datang. Allah Ta’ala berfirman,
لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ
“Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (QS. Al-Fath: 2)
Hanya saja janji ampunan semua dosa untuk Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam yang lalu dan akan datang tersebut bukan berarti menghalangi beliau untuk menjalankan berbagai ibadah yang bermanfaat bagi dirinya sebagai sebab diperolehnya ampunan yang telah Allah tetapkan untuknya. Karena sesungguhnya Allah, Apabila Dia menetapkan sesuatu maka Dia juga menetapkan sebab-sebab yang menghantarkannya. Dan istighfar merupakan sebab utama datangnya ampunan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang sabda Nabi shallallau 'alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang bunyi ujungnya berasal dari Allah, “Sungguh Aku telah ampuni hamba-Ku, maka hendaknya dia lakukan apa saja yang dia mau.” Bahwa Nabi shallallau 'alaihi wa sallam tidak menjadikan hadits tersebut berlaku pada semua dosa, yakni dari setiap orang yang berdosa, bertaubat dan mengulanginya lagi. Sesungguhnya beliau menyebutkan itu sebagai hikayat kondisi seorang hamba yang mendapatkan ampunan itu. Maka dapat diambil faidah, bahwa seorang hamba terkadang mengerjakan amal-amal baik yang besar dan dengan itu menjadi sebab ampunan terhadap dosa-dosanya yang akan datang, walaupun dia diberi ampunan melalui sebab lain.
Lalu Ibnu Taimiyah memberi contoh dengan kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu 'anhu yang Nabi shallallau 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar yang mengusulkan ingin memenggal kepalanya, “Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah melihat hati Ahli Badar, lalu Dia berfirman, ‘Berbuatlah sesuka kalian, karena sungguh aku telah mengampuni kalian’.” Dan juga jawaban beliau terhadap pangaduan budaknya Hatib yang mengadukannya, “Demi Allah, wahai Rasulullah pasti Hatib akan masuk neraka,” lalu Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam bersabda, “Kamu dusta, sesungguhnya dia telah ikut serta perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah.” Dalam hadits-hadits tersebut terdapat keterangan bahwa seorang mukmin terkadang melakukan amal-amal kebaikan yang bisa mengampuni dosa-dosanya yang akan datang, walaupun dia diampuni dengan sebab selainnya. Hadits itu juga menunjukkan bahwa dia meninggal sebagai seorang mukmin dan menjadi ahlul jannah. Jika ada dosa yang telah dikerjakannya, maka Allah mengampuninya. Hal ini juga sebagaimana yang berlaku pada ahli Badar seperti Qudamah bin Abdillah radhiyallahu 'anhu saat minum khamer karena sebab takwil, lalu Umar dan para sahabat memberi istitabah (kesempatan taubat) dan menderanya. Dengan sebab itu dan taubatnya dia menjadi bersih walau ia termasuk orang yang dikatakan padanya, “berbuatlah sesuka kalian.”
Sesungguhnya jaminan ampunan Allah untuk hamba-Nya tidak meniadakan sebab-sebab (usaha-usaha) untuk mendapatkan ampunan dan tidak menghalangi taubat dari orang tersebut. Karena ampunan Allah untuk hamba-Nya tuntutannya adalah Allah tidak menyiksanya sesudah meninggal dunia. Dan Allah Mahatahu segala sesuatu sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Maka apabila Dia tahu seorang hamba akan bertaubat atau mengerjakan amal-amal baik yang menghapuskan dosa, maka Dia mengampuninya dalam satu waktu. Karena itulah, tidak ada perbedaan antara orang yang dihukumi mendapat ampunan atau masuk surga. Dan yang sudah maklum bahwa kabar gembira masuk surga yang disampaikan Nabi shallallau 'alaihi wa sallam adalah berdasarkan pengetahuan beliau terhadap kondisi kematian yang dialami orang itu dan tidak melarang untuk melakukan sebab-sebab untuk masuk surga.
Begitu juga orang yang dikabarkan akan mendapat kemenangan atas musuhnya, tidak melarang orang tadi melakukan sebab-sebab kemenangan. Begitu juga orang yang diberitahu akan punya anak tidak menghalanginya untuk menikah dan berkeluarga. Maka seperti itu juga orang yang dikabarkan mendapat ampunan atau surga, tidak melarangnya untuk melakukan sebab (usaha) ke arah itu, yakni menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh.
Sementara firman Allah kepada Nabi-Nya pada tahun keenam Hijriyah, “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (QS. Al-Fath: 2), maka dengan ini beliau selalu beristighfar (memohon ampunan) kepada Rabbnya pada sisa umurnya. Lalu Allah menurunkan surat al-Nashr pada akhir-akhir dari kehidupan beliau shallallau 'alaihi wa sallam,
فسبح بِحَمْد رَبك وَاسْتَغْفرهُ إِنَّه كَانَ تَوَّابًا
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” Beliau mengimplementasikan isi ayat itu dalam ruku’ dan sujud beliau dengan membaca:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ, اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha Suci Engkau Ya Allah Tuhan kami dan dengan memuji Engkau, Ya Allah berilah ampunan untuk aku.” (Lihat Mukhtashar Fatawa Mishriyah: 322-324)
Kesimpulan
Dari ulasan yang sudah dipaparkan di atas, tidak ada pertentangan antara ayat yang berisi jaminan ampunan untuk Nabi shallallau 'alaihi wa sallam dan beristighfarnya beliau yang terhitung cukup sering. Karena jaminan ampunan dosa tidak menghalangi seseorang dari beristighfar, bertaubat dan mengerjakan amal-amal shalih. Bahkan boleh jadi dengan istighfar, taubat dan amal-amal shalih menjadi sebab-sebab untuk didapatkannya janji yang agung itu. Sehingga apa yang dikerjakan Nabi shallallau 'alaihi wa sallam di atas adalah sebagai sebab dan usaha untuk terealisirnya apa yang dijanjikan Allah padanya. Wallahu Ta’ala a’lam. [PurWD/voa-islam.com]
Tulisan Terkait:
1. Keutamaan Sayyidul Istighfar
2. Jangan Tertipu Dengan Amalmu!
3. Doa Berlindung dari Kesyirikan