Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Terhadap sesama kaum muslimin, wajib memberikan loyalitas, kecintaan, menolong dan membela dalam menghadapi musuh-musuh agama. Sebaliknya, terhadap orang kafir, wajib berbara'. Yaitu memutus hubungan kecintaan dari mereka, tidak memberikan loyalitas, kecintaan, menolong dan membela mereka dalam menghadapi musuh-musuhnya. Berbara' juga dengan tidak tinggal di negeri mereka dan tidak pula mengadopsi budaya dan tradisi yang menjadi identitas mereka.
Al-wala' dan al-bara' menjadi persoalan yang sangat penting dalam Islam karena menjadi bagian tuntutan tauhid. Seorang muwahhid wajib berloyal karena Allah dan memusuhi karena-Nya juga, mencintai karena Allah dan membenci karena-Nya. Seorang muwahhid (muslim) pastinya mencintai kaum muslimin, menolong dan membela mereka. Sebaliknya, ia mengikrarkan permusuhan terhadap orang kafir, membenci dan berlepas diri dari mereka.
Allah telah menerangkan kesimpulan di atas dalam beberapa firman berikut ini:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." (QS. Al-Maidah: 55-56)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim." (QS. Al-Maidah: 51)
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka." (QS. Al-Mujadilah: 22)
Dari beberapa ayat di atas nampak jelas akan wajibnya memberikan loyalitas kepada kaum mukminin dan tuntutannya berupa berbuat baik kepada mereka. Sebaliknya, wajib bermusuhan terhadap kaum kuffar dan haram memberikan loyalitas kepada mereka.
Namun dalam mempraktekkan al-wala' dan al-bara' tersebut tetap harus mengikuti petunjuk dan teladan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Karena mereka telah mempraktekkan keduanya dengan benar dan berada dalam bimbingan wahyu. Jika mereka salah, maka segeralah diturunkan ayat untuk meluruskan mereka atau Allah turunkan wahyu kepada Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk meluruskannya. Karenanya dalam berdien dan menjalankan perintah-perintah-Nya tidak bisa dilepaskan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Bersikap bara' terhadap orang kafir bukan berarti tidak boleh sama sekali membantu urusan duniawi mereka, bermu'amalah dengan mereka, serta berbuat ihsan. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berbara' dari orang Yahudi, namun beliau masih bermu'amalah dengan mereka. Bahkan saat ada anak Yahudi yang biasa membantu beliau sedang sakit, beliau pun menjenguknya. Lalu beliau duduk di sebelah kepalanya dan mengajaknya masuk Islam. Maka masuk Islamlah anak tersebut setelah mendapat persetujuan dari bapaknya. (HR. Al-Bukhari)
Dalam al-Shahih juga disebutkan, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyewa Abdullah bin Uraiqith untuk menjadi pemandu dalam perjalanan hijrah beliau ke Madinah, padahal Abdullah saat itu bukan seorang muslim. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi dengan satu sha' gandum. Beliau juga pernah memperkerjakan seorang Yahudi untuk menimbakan air dari sumur sebanyak 16 ember, setiap embernya diupah dengan satu kurma. Bermu'amalah dengan baik terhadap orang kafir ini tidaklah merusak al-wala' dan sikap bara' karena Allah, selama orang-orang kafir tersebut beradab yang baik dan tidak menyeru kepada agama mereka. (Disarikan dari Kitab Ushul al-Iman fi Dhau' al-Kitab wa al-Sunnah, hal. 268)
Di antara bagian berbuat baik dan berlaku ihsan kepada orang kafir adalah dalam masalah ruqyah. Syaikh Abdul Hayyi Yusuf dalam www.islamway.com saat ditanya tentang hukum seorang muslim meruqyah orang kafir, apakah boleh? Maka beliau menjawab sebagai berikut:
"Tidak apa-apa seorang muslim meruqyah seorang kafir berdasarkan keumuman dalil yang memerintahkan untuk berbuat ihsan (kebajikan). Dan dalil yang menunjukkan bahwa berbuat baik kepada setiap makhluk bernyawa terdapat pahalanya. Dan semoga orang yang kafir yang diruqyah itu menjadi muslim karena sebab ruqyah yang dibacakan padanya.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih keduanya, dari hadits Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Sejumlah sahabat Nabi melakukan safar (perjalanan) yang mereka tempuh hingga mereka singgah di sebuah kampung Arab. Mereka kemudian meminta penduduk kampung tersebut agar menjamu mereka namun penduduk kampung itu menolak.Tak lama setelah itu kepala suku dari kampung tersebut tersengat binatang berbisa.
Penduduknya pun mengupayakan segala cara pengobatan namun tidak sedikit pun yg memberikan manfaat untuk kesembuhan pemimpin mereka. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Seandainya kalian datangi rombongan yang tadi singgah di tempat kalian mungkin saja ada di antara mereka punya obat (yang bisa menyembuhkannya).”
Penduduk kampung itu pun mendatangi rombongan shahabat Rasulullah yang tengah beristirahat tersebut seraya berkata: “Wahai sekelompok orang! Pemimpin kami disengat binatang berbisa. Kami telah mengupayakan berbagai cara utk menyembuhkan sakitnya namun tidak satu pun yang bermanfaat. Apakah salah seorang dari kalian ada yang memiliki obat?”
Salah seorang shahabat menjawab: "Ya, demi Allah aku bisa meruqyah. Tapi, demi Allah, sungguh kami telah meminta dijamu, kalian tidak mau menjamu kami! Maka kami tak mau meruqyah untuk kalian sehingga kalian memberikan imbalan kepada kami." Mereka menyetujuinya dengan meberikan beberapa ekor kembing. Maka bergegaslah sahabat tadi (untuk meruqyah). Ia memulai menghembus nafas berserta sedikit ludah dari mulutnya dan membaca Alhamdulillahirabbil’alamin (surat Al-Fatihah). Detik itu juga si kepala kampung bisa berjalan, seolah tidak terkena apapun.
Merekapun memenuhi janjinya untuk memberi upah. Sebagian sahabat berkata, "Bagilah." Orang yang meruqyah menjawab, "Jangan lakukan kecuali setelah kita mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan menceritakan kejadian ini. Lalu kita lihat apa yang diputuskan Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam."
Sesampainya di depan Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam mereka bercerita. Beliaupun bersabda, "Dari manakah engkau mengetahui bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah (obat)?" Apa yang kalian lakukan benar, bagikan (kambing tersebut) dan beri aku bagian." sembari beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam tersenyum".”
Dzahir dari hadits di atas, menurut Syaikh Abdul Hayyi, "Wallahu a'lam, sesungguhnya orang yang tersengat binatang berbisa tadi bukan seorang muslim. Oleh karena itu sahabat tadi meruqyahnya lalu ia sembuh dengan izin Allah." Wallahu Ta'ala a'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Tulisan Terkait:
1. Memahami Islam Sebagai Agama Rahmat
2. Memahami Wala' dan Bara' dalam Islam
3. Hukum Menghadiri Penyelenggaraan Jenazah Orang Kafir
4. Bila Orang Kafir Mengucapkan Salam, Bagaimana Menjawabnya?