Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi berfatwa membolehkan ucapan selamat hari raya agama non Islam, apabila orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khusus seperti: kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah SWT namun dicintai-Nya sebagaimana Dia SWT mencintai berbuat adil.
Artikel ini adalah bantahan dari Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdurrahman, pimpinan Majelis Ilmu Ar-Royyan, yang kami sadur dari website abujibriel.com:
Pertanyaan pertama, Bagaimana hukumnya dalam Islam mengucapkan selamat natal. Apakah haram hukumnya? Bagaimana bila alasannya ingin menjaga hubungan baik dengan teman-teman ataupun relasi?
Pertanyaan kedua, Bagaimana hukumnya seorang pegawai supermarket yang diminta atasan untuk mengenakan topi Sinterklas dalam rangka memeriahkan natal.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas mari kita mengenali Isa Al-Masih ’Alaihi Salam terlebih dahulu berdasarkan Al-Qur’anul Karim, agar kita mampu memposisikan beliau sebagai hamba Allah yang terpuji dan terpilih, bukan sebagai salah seorang Tuhan dari berbagai macam tuhan yang disembah:
Allah berfirman dalam surat Ali Imran: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), Maka jadilah Dia (apa yang telah Kami ceritakan itu), Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu Termasuk orang-orang yang ragu-ragu.” (Qs Ali Imran 59-60)
“Al-masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang Sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, Kedua-duanya biasa memakan makanan[1]. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (Qs Al-Ma’idah 75).
Allah SWT berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?”. Isa menjawab: “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakan Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya Yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu” (Qs Al-Ma’idah 116-117)
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al-masih putra Maryam”, Padahal Al-masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs Al-Ma’idah 72-74).
Allah SWT berfirman: “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al-masih itu putra Allah”. Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs At Taubah 30-31).
“Dan mereka berkata: “Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Qs Maryam 88-93)
“Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. mereka berkata: “Bagaimana Kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam buayan?” Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan Perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha suci Dia. apabila Dia telah menetapkan sesuatu, Maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, Maka jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, Maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. ini adalah jalan yang lurus.” (Qs Maryam 30-36).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, sebagai seorang Muslim/Muslimah tidak selayaknya mengikuti budaya orang-orang kafir dari ahli kitab dan kaum musyrikin yang mendakwa Allah mempunyai anak. Itu adalah perbuatan kafir dan syirik, yang menyebabkan seseorang dijerumuskan ke dalam neraka Jahanam. Demikian pula mengucapkan selamat hari natal kepada mereka yang meyakini Isa Al-Masih sebagai anak Allah atau salah satu tuhan dari tiga tuhan (Allah bapa, Bunda Maria dan Yesus Kristus), menunjukkan keridhaan kepada mereka dan merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan perbuatan itu akan menjerumuskan ke neraka karena mereka menolak beriman kepada Rasulullah Saw. Imam Muslim meriwayatkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah Ra. ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tiada seorang pun di kalangan ummat ini yang mendengar (ajaran)ku baik dari golongan Yahudi maupun Nashrani kemudian ia mati sementara ia tidak beriman dengan risalah yang aku bawa (Islam) kecuali ia akan mati menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim, no.153) Imam Al-Qurthuby, Al-Jaami’ li ahkaamil Qur’an, 3/18.
Setidaknya ada dua pendapat yang muncul di dalam memposisikan halal haramnya mengucapkan Selamat Natal dan Tahun baru oleh kaum Muslimin. Kelompok Pertama mengaitkannya sebagai bagian dari aqidah atau dengan ungkapan lain masuk di dalam wilayah aqidah namun ia memiliki hukum fiqih yang bersandar kepada pemahaman yang mendalam, penelaahan yang rinci terhadap berbagai nash-nash syar’iy. Dan kelompok kedua tidak mengaitkannya dengan aqidah, tetapi masuk di dalam wilayah fiqhiyyah.
Berikut adalah penjelasan masing-masing kelompok:
Kelompok Pertama ialah Pendapat Imam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan para pengikutnya seperti Syaikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin-semoga Allah merahmati mereka-serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad Al-Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meridhai adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya di dalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.
Di antara bentuk-bentuk tasyabbuh adalah:
a. Ikut serta di dalam hari raya tersebut.
b. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke negeri-negeri islam.
Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim di dalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus di dalam ibadah mereka.
Maka memberi ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
“Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Qs Az Zumar 7)
Jadi pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia adalah kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya, sebagaimana pendapat kelompok pertama (Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibn Baaz dan lainnya).
Kelompok Kedua ialah Pendapat ulama kontemporer (ulama Moderat)
Di antaranya Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi globallah yang menjadikanku berbeda dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf Al-Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti: kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah SWT namun dicintai-Nya sebagaimana Dia SWT mencintai berbuat adil. Firman Allah SWT:
“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (Qs Al-Mumtahanah 8 )
Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah SWT:
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (Qs An Nisa’ 86)
Itulah perbedaan pandangan antara Dr Yusuf Al-Qardhawi dengan gurunya Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, karena beliau lebih mendahulukan logika dengan wahyu.
Tidak lama setelah Dr Yusuf Al-Qaradhwi membuat fatwa tentang halalnya mengucapkan selamat Natal, tampillah seorang syaikh bernama: As Syaikh Abdullah bin Umar Al-Adni menjawab secara panjang lebar fatwa sesat itu di dalam: http://www.olamayemen.com/show_art4.html
Inilah ucapan beliau setelah membuka jawaban beliau dengan tahmid dan bacaan shalawat.
Para ulamalah yang mengingkari penyelewengan makna Al-Qur’an yang dilakukan oleh orang-orang yang berlebih-lebihan dan pemalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan. Semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh para sahabatnya. Beliau adalah sebaik-baik orang yang mengajak kepada hidayah dan membantah kebatilan yang hina. Beliaulah yang mengatakan:
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين
“Ilmu agama ini akan selalu dipikul oleh orang-orang yang terbaik dari setiap generasi. Mereka mengingkari otak-atik yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas, kepalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan dan tafsir asal-asalan yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh.”
Hadits ini derajatnya hasan dan disebutkan oleh Al-Khatib Al-Baghdad dalam buku beliau Syaraf Ashhabul Hadits dari sejumlah sahabat.
Mereka orang-orang yang berlebih-lebihan, pembela kebatilan dan orang-orang bodohlah yang mengibarkan bendera bid’ah dan menebar kesesatan. Mereka sendiri berselisih pendapat dalam memahami Al-Qur’an, menyelisihi ajaran Al-Qur’an dan bersepakat untuk meninggalkan ajaran Al-Qur’an. Mereka berkata-kata tentang Allah dan atas nama Allah serta tentang kitab Allah tanpa ilmu. Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat rancu dan mereka menipu manusia yang bodoh dengan kerancuan pemahaman yang mereka sisipkan dalam kata-kata mereka.
Kita berlindung kepada Allah dari penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang yang sesat dan menyesatkan.
وصدق النبي صلى الله عليه وسلم إذ يقول إن الله لا يقبض هذا العلم انتزاعاً ينتزعه من صدور الناس ولكن بقبض العلماء حتى إذا لم يبقِ عالماً اتخذ الناس رؤوساً جهالاً فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
“Sungguh benar yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Sesungguhnya Allah itu tidak akan mencabut ilmu agama dengan seketika dari dada manusia, namun dengan cara mematikan orang-orang yang berilmu. Sehingga jika Allah tidak lagi menyisakan seorang pun yang berilmu maka manusia mengangkat para pemimpin dalam agama dari kalangan orang-orang yang bodoh. Para pemimpin tersebut mengeluarkan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan orang lain” (HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr)
Di antara yang menyesatkan banyak manusia adalah Yusuf Al-Qardhawi yang memiliki banyak fatwa yang menyelisihi dalil dari Al-Qur’an dan sunah dengan pemahaman salaf. Silih berganti munculnya pendapat-pendapatnya yang lebih mengedepankan akal dan tersebarlah berbagai sikap-sikapnya yang malah menguntungkan musuh-musuh kaum muslimin dan menghilangkan indah dan jernihnya agama ini.
Pertama: Adalah fatwanya yang memperbolehkan mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir baik Yahudi ataupun Nasrani.
Fatwa tersebut muncul ketika beliau menjawab sebuah pertanyaan sebagai berikut:
ماهي حدود التعامل مع النصارى وما حكم تهنئتهم في أعيادهم ؟
“Apa saja batasan interaksi dengan orang-orang Nasrani dan apa hukum mengucapkan selamat hari raya kepada mereka?.”
Dengan penuh kelancangan beliau memberi jawaban yang bertolak belakang dengan berbagai dalil dari Al-Qur’an dan sunnah, perkataan para ulama salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak dari ahli tafsir, hadits dan fiqh. Sungguh tidak ada rasa malu terhadap Allah dan terhadap manusia.
(فيقول ( ولذلك لا مانع من تهنئتهم بأعيادهم ) بل ويستدل على ذلك كذباً وزوراً ( ويراجع فتواه في موقع إسلام أون لاين
Jawaban beliau, “Oleh karena itu tidak mengapa mengucapkan selamat hari raya kepada mereka”. Bahkan lebih parah lagi beliau mencari-cari dalil untuk mendukung pernyataan tersebut dengan kedustaan dan kepalsuan. Fatwa beliau bisa dilihat di situs Islamonline.
Perhatikanlah, kewajiban seorang muslim adalah tunduk terhadap aturan Allah yang telah Allah turunkan kepada makhluknya dan Allah perintahkan makhluk untuk mengamalkannya. Allah tidak menerima agama selain agama tersebut. Itulah agama Islam sebagaimana firman Allah:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs Ali Imran, 3: 85)
Para ulama Salaf ummat ini berkata:Islam adalah segala yang didakwahkan kepada manusia dan hal tersebut ada dalam Al-Qur’an atau terdapat dalam hadits yang shahih dengan pemahaman salaf shalih sebagaimana firman Allah,
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (Qs Al-A’raf 3)
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Qs Al-Baqarah 137)
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (Qs Al-Ma’idah 3)
فلا عقيدة إلا عقيدة الإسلام ولا عبادة إلا عبادة الإسلام ولا منهاج إلا منهاج الإسلام ولا خُلق إلا خُلق الإسلام , فلا يجوز لمسلم بعد ذلك المعارضة بعاطفة أو عقل أو ذوق أو رأي بل الواجب الاستسلام التام كما قال تعالى فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
Tidak ada akidah yang benar melainkan akidah Islam. Tidak ada ibadah yang benar melainkan ibadah yang diajarkan oleh Islam. Tidak ada jalan hidup yang benar melainkan jalan yang diajarkan oleh Islam. Tidak ada akhlak mulia melainkan akhlak yang diajarkan oleh Islam. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk membantah ajaran Islam dengan perasaan, akal pikiran, rasa dan pendapat siapapun. Kewajiban seorang muslim adalah tunduk total kepada ajaran Islam sebagaimana firman Allah yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs An Nisa’ 65)
Janganlah kita meniru orang-orang munafik yang memiliki karakter berpaling dari agama Allah sebagaimana firman Allah:
“Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (Qs An Nisa’ 61)
Kedua: Menentang syariat dengan akal.
Tidak boleh bagi seorang muslim untuk menentang syariat dengan akal dan pendapatnya karena sikap inilah yang menyebabkan rusaknya agama dan dunia.
قال ابن القيم رحمه الله ( وكل من له مسكة من عقل يعلم أن فساد العالم وخرابه إنما نشأ من تقديم الرأي على الوحي ومن أعظم معصية العقل اعراضه عن كتاب الله ووحيه الذي هدى به رسله والمعارضة بينه وبين كلام غيره فأي فساد أعظم من فساد هذا العقل (
Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan semua orang yang masih memiliki sedikit akal sangat sadar bahwa kerusakan dan kehancuran alam semesta itu disebabkan mendahulukan akal pikiran dari pada wahyu. Di antara maksiat terbesar yang dilakukan oleh akal adalah berpalingnya akal dari kitab Allah dan wahyu-Nya padahal wahyu adalah alat yang dipergunakan oleh para rasul untuk membimbing manusia. Demikian pula termasuk maksiat akal adalah mempertentangkan wahyu dengan ucapan manusia. Kerusakan apakah yang lebih parah dibandingkan kerusakan akal semacam ini.”
وعن ابن عباس إنما هو كتاب الله وسنة رسوله فمن قال بعد ذلك برأيه فلا ندري أفي حسناته يجد ذلك ام في سيئاته
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Dalil dalam agama itu hanya kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Barang siapa yang berkata dengan akal pikiran setelah adanya dalil maka kami tidak tahu apakah hal tersebut akan dia jumpai dalam catatan kebaikannya atau dalam catatan dosanya.”
Di antara orang yang mempertentangkan agama dengan akal adalah Al-Qardhawi dan guru-gurunya yang merupakan rangkaian guru-guru ahli bid’ah dan orang-orang yang mendahulukan akal pikirannya. Sebagian mereka sekedar mengutip pendapat yang lain.
Di antara penyimpangannya adalah sikap berpalingnya dari hadits,
قال النبي: أبي وأبوك في النار(رواه مسلم) قال القرضاوي: بعده في كتابه ” كيف نتعامل مع السنة 97-98″ (ما ذنب عبدالله بن عبد المطلب حتى يكون في النار ) وقال عنده (ما ذنب أبي الرجل السائل والظاهر أن أباه مات قبل الإسلام لهذا …) توقفت في الحديث حتى يظهر لي شيء يشفي الصدر أما شيخنا الشيخ محمد الغزالي فقد رفض الحديث صراحة
“Ayahku dan ayahmu itu di neraka” (HR Muslim dari Anas). Setelah membawakan hadits ini di bukunya “Kaifa Nata-’amal Ma’as-Sunnah” hal 97-98 beliau mengatakan, “Apa dosa Abdullah bin Abdul Muthallib sehingga dia di neraka?”. Beliau juga mengatakan, “Apa dosa yang dimiliki oleh ayah si penanya padahal kemungkinan besar ayahnya itu meninggal sebelum datangnya Islam. Oleh karena itu aku tidak berani mengambil sikap terhadap hadits tersebut sampai kujumpai penjelasan yang memuaskan. Sedangkan guru kami Syaikh Muhammad Al-Ghazali telah menolak hadits tersebut dengan terang-terangan”.
فانظر رحمك الله إلى هذه العقيدة الصوفية والطريقة البدعية فقد جعل العقل هو الأصل فما قبله فهو مقبول وما لم يقبله فهو مردود ولا يخفى على مسلم فساد هذا القول
Perhatikanlah- semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu- akidah Sufi dan cara beragama bid’ah yang ada dalam sikap beliau terhadap hadits ini yaitu menjadikan akal sebagai tolak ukur. Semua yang diterima akal itulah perkataan yang diterima. Sedangkan segala yang ditolak oleh akal maka itulah perkataan yang tertolak. Setiap muslim tentu sadar betapa berbahayanya prinsip beragama semacam ini.
Semoga Allah melimpahkan ridha-Nya kepada Ali yang pernah mengatakan,
عن علي ورضي الله إذ يقول لو كان الدين بالرأي لكان مسح أسفل الخف أولى من أعلاه
“Seandainya dasar dalam beragama adalah akal pikiran tentu lebih layak mengusap bagian bawah sepatu dari pada bagian atasnya”.
Di antara perkataan Al-Qardhawi yang menyimpang adalah fatwa beliau yang menyimpang tentang bolehnya memberikan ucapan selamat hari raya kepada orang kafir. Dengan fatwa ini, beliau tidak ambil pusing dan tidak peduli dengan berbagai dalil yang banyak berupa ayat Al-Qur’an, sunnah, perkataan para ulama salaf dan perkataan para ulama yang sangat banyak baik dari kalangan pakar tafsir, hadits maupun fiqih. Bahkan hal ini telah menjadi ijma ulama yang kita tidak boleh keluar dan menyelisihinya.
Di antara dalil berupa ayat Al-Qur’an yang sebenarnya banyak adalah firman Allah yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kebatilan dan jika mereka melewati sesuatu yang sia-sia mereka lewat sebagaimana layaknya orang-orang yang mulia.” (Qs Al-Furqan 72)
Ibnu Abbas, Mujahid, Ar-Rabi’ bin Anas, Ikrimah dan Ad-Dhahhak mengatakan bahwa:
قالوا هو أعياد المشركين
Yang dimaksud dengan “az-zuur” atau kebatilan adalah hari raya orang-orang musyrik.
Keterangan para pakar tafsir di atas diriwayatkan dengan bersanad oleh Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’. Riwayat-riwayat serupa juga dibawakan oleh Ibnu Jarir dan Al-Qurthubi dalam kitab tafsir keduanya. Demikian pula Abu Syaikh Al-Ashfahani.
Dari Amr bin Murrah tentang makna ayat,
لا يشهدون الزور قال لا يمالئون أهل الشرك على شركهم ولا يخالطونهم
“Mereka itu tidak ikut menyaksikan kebatilan” adalah “Mereka tidak memberi dukungan kepada pelaku kemusyrikan ketika mereka melakukan kemusyrikan dan tidak pula berbaur bersama mereka ketika itu.”
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Atha bin Yasar. Ucapan selamat hari raya itu termasuk dukungan.
Di antara dalil dari sunnah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya dengan sanad yang berkualitas hasan dari Anas. Anas mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba di kota Madinah penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka isi dengan berbagai permainan. Nabi bertanya, “Dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, “Kami biasa bermain pada dua hari ini di masa jahiliyah.”
إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما يوم الأضحى ويوم الفطر
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.”
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghapus semua bentuk hari raya selain dua hari raya Islam lalu bagaimana mungkin diperbolehkan mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir berkenaan dengan hari raya mereka yang telah dihapus oleh Islam.
ومن كلام السلف ما سبق من تفسير الآية وفي كتاب عمر إلى أهل الذمة الذي تلقته الأمة بالقبول فهو إجماع المسلمين الأولين والآخرين وهو قول الخليفة الثاني من الخلفاء الراشدين وفيه
Ulama salaf dalam masalah ini adalah para salaf yang menafsirkan ayat di atas. Demikian pula surat Umar untuk para kafir dzimmi yang telah diterima oleh seluruh umat Islam sehingga isi surat Umar tersebut adalah ijma seluruh kaum muslimin baik yang hidup di masa silam ataupun masa sesudahnya. Surat tersebut adalah perkataan khalifah kedua dari empat Khulafaur-Rasyidin. Di antara isi surat tersebut adalah
نهي أهل الذمة عن إظهار شيء من أعيادهم وانظر إلى تعليق وشرح الإمام ابن القيم رحمه الله له في أحكام أهل الذمة
Larangan bagi kafir dzimmi untuk menampakkan syiar hari rayanya. Bacalah penjelasan dan komentar Imam Ibnul Qoyyim untuk surat Umar tersebut di buku beliau, Ahkam Ahli Dzimmah 2/659.
Umar berkata:
( اجتنبوا أعداء الله في عيدهم (رواه البيهقي باب كراهة الدخول على أهل الذمة في كنائسهم والنيروز :عيد القبط في مصر وهو أول يوم في السنة القبطية ويسمى بيومشم النسيم
“Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di bawah judul bab ‘terlarangnya menemui orang kafir dzimmi di gereja mereka dan larangan menyerupai mereka pada hari Nairuz dan perayaan mereka’ Nairuz adalah hari raya orang-orang qibthi yang tinggal di Mesir. Nairuz adalah tahun baru dalam penanggalan orang-orang qibthi. Hari ini disebut juga Syamm an Nasim)
Jika kita diperintahkan untuk menjauhi hari raya orang kafir dan dilarang mengadakan perayaan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin diperbolehkan untuk mengucapkan selamat hari raya kepada mereka.
وأما كلام أهل العلم المتواتر فقد سبق بعض ذلك ونحوه كثير في كتب التفسير والفقه والحديث مما يصعب جمعه خصوصاً في تفسيرهم وشرحهم وتعليقهم على الأدلة الكثيرة في هذا الباب
Sedangkan penjelasan para ulama yang demikian banyak, sebagian perkataan mereka telah dikutip di atas. Perkataan yang senada sangat banyak, terdapat di buku-buku tafsir, fiqh dan hadits sehingga tidaklah mudah mengumpulkannya terutama ketika para ulama menjelaskan, menafsirkan dan memberi komentar terhadap berbagai dalil yang ada dalam masalah ini.
Sebagai penguat tambahan adalah judul bab yang dibuat oleh Al-Khalal dalam kitabnya Al-Jami. Beliau mengatakan, “Bab terlarangnya kaum muslimin untuk keluar rumah pada saat hari raya orang-orang musyrik…”. Setelah penjelasan di atas bagaimana mungkin kita diperbolehkan untuk mengucapkan selamat kepada orang-orang musyrik berkaitan dengan hari raya mereka yang telah dihapus oleh Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bukunya, Al-Iqtidha’ 1/454 menukil adanya kesepakatan para sahabat dan seluruh pakar fikih terhadap persyaratan Umar untuk kafir dzimmi.
“Di antaranya adalah kafir dzimmi baik ahli kitab maupun yang lain
لا يظهرون أعيادهم … فإذا كان المسلمون قد اتفقوا على منعهم من إظهارها فكيف يسوغ للمسلمين فعلها فإن فعل المسلم أشد من فعل الكافر … أهـ
Tidak boleh menampakkan hari raya mereka… Jika kaum muslimin telah bersepakat untuk melarang orang kafir menampakkan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin seorang muslim diperbolehkan untuk menyemarakkan hari raya orang kafir. Tentu perbuatan seorang muslim dalam hal ini lebih parah dari pada perbuatan orang kafir…
Sedangkan murid Ibnu Taimiyah yaitu Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah 2/722 ketika membahas hari raya orang-orang musyrik mengatakan,
وكما أنهم لا يجوز لهم إظهاره فلا يجوز للمسلمين ممالاتهم عليه ولا مساعدتهم ولا الحضور معهم بإتفاق أهل العلم الذين هم أهله وقد صرح به الفقهاء من أتباع الأئمة الأربعة في كتبهم
“Sebagaimana mereka tidak diperbolehkan menampakkan (baca: menyemarakkan) hari rayanya maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menyokong dan membantu mereka, tidak pula menghadiri perayaan hari raya mereka. Ini adalah kesepakatan para ulama yang merekalah pakar dalam masalah ini. Hal ini pun telah ditegaskan oleh para ulama empat mazhab dalam buku-buku mereka.”
Di antara perkataan para ulama dalam masalah ini adalah perkataan penulis kitab Ad-Durr Al-Mukhtar yaitu ‘Ala-uddin Al-Hashkafi 6/754,
“والإعطاء باسم يعظمه المشركون يكفر” ثم ذكر نقلاً عن أبي حفص الكبير في عدم جواز الأخذ والعطاء والإهداء والشراء باسم أيام المشركين فإنه قد يوقع في الكفر بتعظيم هذا العيد” أهـ بمعناه
“Memberi sesuatu dengan atas nama sesuatu yang diagungkan oleh orang-orang musyrik itu merupakan perbuatan kekafiran”. Kemudian beliau menyampaikan perkataan Abu Hafsh Al-Kabir yang “tidak membolehkan mengambil atau memberi suatu barang, demikian pula menghadiahkan atau membeli atas nama hari raya orang musyrik. Seorang muslim yang melakukannya boleh jadi terjerumus dalam kekafiran karena mengagungkan hari raya orang musyrik”.
Dalam kitab Al-Bahr Al-Ra-iq 8/55
أن من أهدى بيضةً في أعياد المشركين تعظيماً للعيد كفر بالله جلَّ وعلا
“Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada seseorang pada hari raya orang musyrik karena mengagungkan hari raya orang kafir maka dia telah kafir kepada Allah”.
وذكر صاحب عون المعبود (3/341) ” عن القاضي أبي المحاسن الحسن بن منصور”
Penulis kitab ‘Aun Al-Ma’bud 3/341 menyebutkan dari “Al-Qadhi Abul Mahasin Al-Hasan bin Manshur Al-Hanafi bahwa
أن من اشترى فيه شيئاً لم يكن يشتريه في غيره أو أهدى فيه هدية فإن أراد بذلك تعظيم اليوم كما يعظمه الكفره فقد كفر وإن أراد بالشراء التنعم والتنزه وفي الإهداء التحاب جرياً على العادة لم يكن كفراً لكنه كان مكروه كراه التشبه بالكفرة فحينئذٍ يحترز عنه
Siapa saja yang pada saat hari raya orang kafir membeli sesuatu yang biasanya tidak dia beli di hari-hari yang lain atau memberikan hadiah pada hari tersebut maka jika maksudnya dengan hal tersebut adalah mengagungkan hari raya orang kafir sebagaimana pengagungan orang-orang kafir maka dia menjadi kafir karenanya. Namun jika maksudnya dengan membeli barang tersebut pada waktu itu adalah ingin mengambil manfaat barang tersebut dan maksud hatinya dengan memberi hadiah adalah mewujudkan rasa cinta sebagaimana biasanya maka tidak kafir akan tetapi terlarang karena menyerupai orang kafir. Karenanya hal ini harus dijauhi.”
ونقل شيخ الإسلام عن عبد الملك بن حبيب أن الإمام مالك رحمه الله كره وحرم الأكل من ذبائح أعياد المشركين من النصارى وغيرهم
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membawakan perkataan Abdul Malik bin Habib bahwa Imam Malik membenci dan mengharamkan memakan sembelihan dalam rangka hari raya orang musyrik baik Nasrani ataupun yang lainnya.
Ibnu Taimiyah juga mengutip perkataan Ibnul Qosim yang melarang seorang muslim satu kapal dengan orang-orang musyrik yang akan mengantarkan mereka ke tempat perayaan hari raya mereka. Demikian pula seorang muslim dilarang memberikan bantuan apapun untuk kegiatan hari raya orang musyrik. Kata Ibnul Qosim hal ini adalah pendapat Imam Malik. Sekian kutipan dari kitab Al-Iqtidha dengan sedikit peringkasan.
Al-Baihaqi dalam kitabnya As Sunan mengatakan ‘bab terlarangnya menemui orang kafir dzimmi atau yang lain saat hari raya mereka’. Beliau lantas menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf yang telah disebutkan di atas.
Al-Hafiz Ibnu Hajar setelah menyebutkan hadits dari Anas di atas tentang mencukupkan diri dengan dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dan setelah mengatakan bahwa sanad hadits tersebut berkualitas shahih beliau mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu. Bahkan Syeikh Abu Hafsh Al-Kabir Al-Nasafi seorang ulama mazhab Hanafi sampai berlebih-lebihan dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah” (Fathul Bari 2/442).
Dalam Faidh Al-Qadir 4/551, setelah Al-Munawi menyebutkan hadits dari Anas kemudian beliau menyebutkan terlarangnya mengagungkan hari raya orang musyrik dan barang siapa yang mengagungkan hari tersebut karena hari itu adalah hari raya orang musyrik maka dia telah kafir.
penjelasan di atas, bagaimana mungkin boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan bolehnya mengucapkan selamat hari raya kepada orang-orang kafir terlebih-lebih seorang muslim yang dinilai berilmu semisal Al-Qardhawi. Tidak ada setelah kebenaran melainkan kesesatan.
Waspadalah saudaraku dengan dai jahat yang mendakwahkan kesesatan. Nabi telah mengingatkan kita dengan adanya orang-orang semacam itu di akhir zaman nanti sebagaimana dalam hadits dari Hudzaifah yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Sadarilah bahwa para penyeru kesesatan tentu membawakan berbagai alasan dan mengaburkan permasalahan dengan berbagai kerancuan pemikiran. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk menjauhi mereka bukan karena pembela kebenaran tidak mampu memberikan bantahan akan tetapi dalam rangka menjaga keselamatan agama umumnya kaum muslimin. Hati itu lemah sedangkan kerancuan pemahaman itu demikian kuat menyambar.
SECARA UMUM DALAM FATWANYA AL-QARDHAWI MEMBAWAKAN TIGA JENIS ALASAN
Pertama, Dalil-dalil yang bersifat umum dan global padahal tidak boleh beralasan dengan dalil yang bersifat umum dan global ketika ada dalil khusus yang membatasi dalil yang umum dan menjelaskan dalil yang masih global. Itulah dalil-dalil yang telah kita sebutkan di atas berupa dalil Al-Qur’an, sunnah, perkataan salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak baik dari kalangan pakar tafsir, hadits maupun fikih.
Bahkan metode ini adalah metode yang ditempuh oleh ahli bid’ah. Merekalah orang yang suka mempertentangkan dalil-dalil khusus dan tegas dengan dalil-dalil yang bersifat umum dan global sebagaimana yang dikatakan dan diingatkan oleh Imam Ahmad.
“Di antara dalil umum dan global yang beliau gunakan adalah firman Allah, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs Al-Mumtahanah, 60: 8)
Al-Qardhawi menjadikan ucapan selamat hari raya sebagai bagian dari berbuat baik dengan orang kafir padahal Allah berfirman di awal surat yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu…” (Qs Al-Mumtahanah 1).
Dalam Fathul Qadir 5/207 Al-Syaukani mengatakan, “Ayat ini menunjukkan larangan memberikan loyalitas kepada orang kafir dengan bentuk apapun.”
وقال ابن كثير رحمه الله تعالى ( نهى تبارك وتعالى عباده المؤمنين أن يوالوا الكافرين وأن يتخذوهم أولياء يسرون إليهم بالمودة من دون المؤمنين “آية 28 سورة آل عمران “. فكيف إذا أضيف ما سبقت الإشارة إليه
Ketika menjelaskan Qs Ali Imran: 28, Ibnu Katsir mengatakan, “Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai teman dekat, tempat menceritakan berbagai rahasia karena mencintai mereka dengan meninggalkan orang-orang yang beriman”. Bagaimana jika kita tambah dengan dalil-dalil di atas.
Kedua, Al-Qardhawi beralasan dengan analog yang lemah dan analog yang bertolak belakang dengan berbagai dalil dari Al-Qur’an, sunnah, perkataan para Salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak baik pakar tafsir, hadits maupun fikih.
Di antaranya beliau menganalogikan ucapan selamat hari raya orang kafir dengan bolehnya menikahi wanita ahli kitab padahal Allah telah berfirman,
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka…” (Qs Al-Mujadilah 22).
Para ulama telah mengingatkan bahwa rasa cinta itu ada beberapa macam. Yang dimaksud dengan diperbolehkannya menikahi wanita ahli kitab bukanlah karena adanya rasa cinta kepada orang kafir yang mengorbankan hukum-hukum syariat. Bagaimana jika ditambah berbagai dalil tentang tidak bolehnya mengucapkan selamat untuk hari raya orang kafir sebagaimana telah disebutkan di atas.
Analog (Qiyas) itu seperti tayamum, hanya dipakai jika tidak diketahui adanya dalil dalam masalah tersebut. Oleh karena itu Imam Ahmad mengatakan, “Tidak ada analog dalam sunnah dan tidak boleh membuat berbagai permisalan untuk membantah sunnah. Sunnah tidaklah bisa dipahami dengan akal dan hawa nafsu namun hanya bisa dipahami dengan mengikuti sunnah dan meninggalkan hawa nafsu”.
وفي رواية الميموني عن الإمام أحمد رحمه الله يجتنب المتكلم في الفقه هذين الأصلين المجمل والقياس
Dalam riwayat dari Al-Maimuni, Imam Ahmad mengatakan, “Seorang yang hendak bicara tentang hukum fikih hendaknya menjauhi dua hal ini yaitu dalil global dan analog (Qiyas)”.
Dalam riwayat dari Abu Al-Harits, Imam Ahmad mengatakan, “Apa yang akan kau lakukan dengan akal pikiran dan analog padahal hadits sudah mencukupimu.” (Kutipan-kutipan ini ada di kitab Al-Muswaddah hal 328)
Dalam kitab Shahihnya Al-Bukhari membuat judul ‘Bab Celaan terhadap Akal Pikiran dan Analog yang Dipaksa-paksakan’.
Bukhari lantas membawakan firman Allah,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Qs Al-Isra, 17: 36)
Al-Bukhari juga menyebutkan hadits dari Abdullah bin ‘Amr tentang matinya para ulama dan munculnya para ulama yang jahat. Semoga Allah lindungi kita dari bahaya mereka.
Demikianlah perkataan para ulama tentang berdalil dengan analog padahal ada dalil yang menyelisihi kesimpulan analog tersebut lalu bagaimana jika analog yang dipakai adalah analog yang paling lemah. Analog yang dipakai oleh Al-Qardhawi itu mirip dengan qiyas syabah (analog karena sekedar ada kemiripan). Qiyas syabah adalah jenis qiyas yang paling lemah karena di sini qiyas yang terjadi adalah qiyas tanpa ‘illah atau dalil ‘illah. Silakan telaah Al-I’lam karya Ibnul Qoyyim 1/148.
Ketiga, terdapat beberapa cara berdalil yang aneh yang keluar dari koridor ilmiah dan tentu sangat jauh dari kaidah syariat. Di antaranya beliau mengatakan, “Ucapan selamat hari raya orang kafir itu mirip dengan firman Allah tentang bukit Shafa dan Al-Marwa…”
Subhanallah, bagaimana beliau berupaya untuk menyerupakan dua hal yang tidak mungkin serupa dalam rangka untuk memperbanyak kerancuan pemahaman, merespons hawa nafsu dan agar seiring dengan realita. Jika bukan karena motivasi tersebut lalu apa hubungan antara pernyataannya di atas dengan ucapan selamat hari raya orang kafir. Perkataan seorang yang tulus, menyambut seruan Allah dan seorang yang memiliki kecemburuan dengan agamanya berikut ini.
Ibnu Qayyim mengatakan:
( معلوم أن التقاة ليست بموالاة ولكن لما نهاهم عن موالاة الكفار اقتضى ذلك معاداتهم والبراء منهم ومهاجرتهم بالعدوان في كل حال إلا إذا خافوا من شرهم فأباح لهم التقية وليست التقية موالاة لهم ) “بدائع الفوائد 3/69″ فكيف بعد هذا يستدل بهذه الاستدلالات العجيبة بما ينافي العقل والدين , لهم الله هؤلاء المتلاعبون بدين الله
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Taqiyah dengan orang kafir itu tidak termasuk loyal dengan orang kafir. Akan tetapi ketika Allah melarang memberikan loyalitas dengan orang kafir maka konsekuensinya adalah memusuhi dan berlepas tangan dari orang kafir serta meninggalkan mereka karena semangat permusuhan dalam setiap keadaan kecuali jika khawatir dengan gangguan orang kafir maka Allah bolehkan taqiyah kepada orang kafir pada saat itu. Taqiyah itu bukanlah loyal dengan orang kafir” (Badai Al-Fawaid 3/69).
Setelah penjelasan di atas sebagaimana mungkin orang-orang yang mempermainkan agama Allah masih saja nekad menggunakan cara-cara berdalil yang aneh tersebut…..? [voa-islam.com]