Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada sayyidil Anam, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Disunnahkan untuk menambah puasa 'Asyura dengan puasa pada hari sebelumnya, yaitu tanggal Sembilan Muharram yang dikenal dengan hari Tasu’a. Tujuannya, untuk menyelisihi kebiasaan puasanya Yahudi dan Nashrani.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, beliau berkata, “Ketika Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’ Lalu beliau Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah wafat.” (HR. Muslim, no. 1916)
Berkata Imam al-Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya, “Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh secara keseluruhan, karena Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam telah berpuasa pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.”
Apa Hikmah Berpuasa Hari Tasu’a?
Imam al-Nawawi rahimahullaah menyebutkan tentang tiga hikmah dianjurkannya shiyam hari Tasu’a: Pertama, maksud disyariatkan puasa Tasu’a untuk menyelesihi orang Yahudi yang berpuasa hanya pada hari ke sepuluh saja.
Kedua, maksudnya adalah untuk menyambung puasa hari ‘Asyura dengan puasa di hari lainnya, sebagaimana dilarang berpuasa pada hari Jum’at saja. Pendapat ini disebutkan oleh al-Khathabi dan ulama-ulama lainnya.
Ketiga, untuk kehati-hatian dalam pelaksanaan puasa ‘Asyura, dikhawatirkan hilal berkurang sehingga terjadi kesalahan dalam menetapkan hitungan, hari ke Sembilan dalam penanggalan sebenarnya sudah hari kesepuluh.
Dan alasan yang paling kuat disunnahkannya puasa hari Tasu’a adalah alasan pertama, yaitu untuk menyelisihi ahli kitab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullaah dalam al Fatawa al-Kubra berkata, “Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam melarang bertasyabbuh dengan ahli kitab dalam banyak hadits. Seperti sabda beliau tentang puasa ‘Asyura,
لَئِنْ عِشْتُ إلَى قَابِلٍ لاَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Ibnu Hajar rahimahullaah dalam catatan beliau terhadap hadits, “Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan”, Keinginan beliau untuk berpuasa pada hari kesembilan dibawa maknanya agar tidak membatasi pada hari itu saja. Tapi menggabungkannya dengan hari ke sepuluh, baik sebagai bentuk kehati-hatian ataupun untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Dan ini merupakan pendapat yang terkuat dan yang disebutkan oleh sebagian riwayat Muslim.” Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]