Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Lisan memiliki peran sangat penting dalam pelaksanaan ibadah shiyam. Ada beberapa amalan utama di dalamnya yang menjadi domain lisan seperti membaca Al-Qur'an, zikir, doa, dan lainnya. Amalan-amalan tersebut akan menyempurnakan pahala ibadah shiyam.
Sebaliknya, lisan yang tidak dikendalikan akan bisa merusak puasa hilang nilai dan pahalanya. Artinya nilai pahala bisa berkurang, bahkan bisa tidak didapatkan sama sekali akibat kesalahan-kesalahan lisan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ, وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya serta berlaku bodoh, maka Allah tidak butuh kepada ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud. Lafadznya menurut riwayat Abu Dawud)
Qaul Al-Zuur adalah perkataan yang menyimpang dari kebenaran dan condong kepada kebatilan. Masuk di dalamnya setiap perkataan haram. Misalnya: bohong, ghibah (menggunjing), adu domba, kesaksian palsu, mencaci, mencela, dan semisalnya.
Sebenarnya, Perkataan Zuur diharamkan di mana saja dan kapan saja. Tetapi semakin tegas larangannya dan semakin besar dosanya apabila dikerjakan pada waktu-waktu utama seperti Ramadhan, dan di tempat yang mulia seperti di dua tanah haram, dan pada kondisi yang utama seperti shiyam.
Al-Jahlu juga sebutkan sebagian ulama berkaitan dengan amal lisan. Yakni, perkataan yang menjerumus kepada hal-hal porno dan jorok.
Jadi, perbuatan lisan punya pengaruh yang sangat besar terhadap kegiatan puasa kita. Bahkan sebagian ulama menyebutkan, apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang melaksanakan puasa maka puasanya akan berkurang makna dan pahalanya. Puasanya menjadi tidak sempurna. Walaupun tetap sah puasa yang ia kerjakan dan tak perlu mengulanginya lagi.
Ada sebagian ulama yang memahami makna “maka Allah tidak butuh kepada ia meninggalkan makanan dan minumannya,” adalah keterangan bahwa ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Ibnul Munir dalam Hasyiyah-nya menyebutkan bahwa ini adalah kinayah (kiasan) puasanya tidak diterima. Pendapat lainnya mengatakan, “Puasa yang tercampur dengan al-Zuur tertolak. Sebagian yang lain mengatakan, puasa semacam ini tidak mendapat keridhaan Allah yang menyebabkan diterima puasa.
Ibnul ‘Arabi berkata: tuntutan hadits ini bawha orang yang mengerjakan apa-apa yang telah disebutkan maka tidak diberi pahala atas puasanya.” Maknanya: Pahala orang yang berpuasa tidak sebanding dengan dosa zuur (dusta dan semisalnya) dan yang disebutkan bersamanya.
Bukanlah maksud disyariatkan puasa itu hanya merasakan lapar dan haus, tapi juga menahan syahwat , dan menundukkan nafs amarah kepada nafs muthmainah. Puasa juga sebagai moment untuk membina diri, memuliakan akhlak, dan membaguskan tabiat. Jika tidak bisa demikian maka Allah tidak akan menerima ibadah shiyam tersebut.
Oleh sebab itu, orang yang sedang berpuasa wajib menjaga lisannya. Jangan sampai keluar dari lisannya kecuali yang baik-baik dan mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala seperti membaca kalam-Nya (Al-Qur'an), zikir, doa, menasihati kepada kebenaran, mencegah dari kemungkaran, bertutur kata yang lembut kepada orang lain, tidak emosi dengan kalimat-kalimat kemarahan dan selainnya. Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD.voa-islam.com]