Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Talaq atau cerai ditinjau dari sisi dampak yang ditimbulkannya terbagi menjadi dua: Raj'i dan bain. Raj'i adalah perceraian yang masih memberikan kesempatan kepada suami untuk rujuk (kembali) kepada istrinya dalam masa ‘iddahnya tanpa akad baru. Tidak disyaratkan dengan kerelaan si istri dalam rujuk ini.
Lawannya adalah ba-in, yaitu talak yang tidak membolehkan suami rujuk kembali kepada istrinya kecuali dengan akad dan mahar baru serta syarat tertentu lainnya.
Talak raj'i berlaku setelah thalaq pertama dan kedua selain thalaq Ba'in, jika rujuk tersebut dilakukan sebelum berlalu masa ‘iddah. Jika sudah lewat masa ‘iddah, maka perceraian itu menjadi ba'in.
. . . hak ruju’ ada pada suami. Hak itu ada padanya selama istri yang diceraikannya masih dalam masa ‘iddah. Ia berhak meruju’ istrinya tersebut, baik si istri rela atau tidak. . .
Banyak kaum muslimin –terutama yang diuji dengan perceraian dalam pernikahannya- belum tahu bagaimana cara meruju' (kembali) kepada istrinya.
Perlu diketahui, hak ruju’ ada pada suami. Hak itu ada padanya selama istri yang diceraikannya masih dalam masa ‘iddah. Ia berhak meruju’ istrinya tersebut, baik si istri rela atau tidak.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Rujuk terjadi dengan uapan atau dengan perbuatan. Yakni Jika suami akan meruju’ istrinya yang diceraikannya pada thalaq pertama dan kedua, cukup baginya mengucapkan kalimat rujuk atau melakukan aktifitas suami-istri; tanpa akad baru, tanpa memberikan mahar baru, dan tanpa wali.
Dalam rujuk dengan ucapan ini, cukuplah suami mengucapkan kepada istrinya, “Aku merujukmu” atau “Aku kembalikan kamu ke pernikahanku”, atau dengan kalimat semakna yang dipahami itu sebagai rujuk.
Sedangan maksud rujuk dengan perbuatan adalah dengan melakukan jima’ dan aktifitas pembukanya, seperti membelai-belai, mencium, memeluk, dan aktifitas lainnya yang disertai syahwat untuk jima’. Tentunya ini disertai dengan niatan meruju’ istrinya, sebagaimana yang dipilih Ibnu Taimiyyah.
Apabila seorang suami meruju’ istrinya dengan cara di atas tadi sebelum habis masa ‘iddahnya, istri yang diceraikannya kembali menjadi istrinya yang sah. Hendaknya ia berhati-hati dan mempertimbangkan dengan masak-masak jika ingin mencerikan untuk berikutnya.
Hendaknya suami-istri yang telah ruju’ tadi mempersaksikan rujuknya tersebut sebagaimana mereka mempersaksikan pernikahan keduanya. Hal ini didasaran kepada firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
“Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. Al-Thalaq: 2)
Ini berfungsi untuk mencegah pengingkaran dari dua belah pihak sehingga menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan haram. Juga mengadakan saksi dalam hal ini lebih penting daripada mengadakan saksi untuk perceraian keduanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Lalu anehnya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan untuk mempersaksikan dalam rujuk dan tidak memerintahkannya dalam pernikahan. Namun mereka justru memerintahkannya dalam pernikahan dan mayoritas dari mereka tidak mewajibkannya dalam rujuk.” (dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah: 4/371)
Jika seorang istri sudah habis masa ‘iddahnya dan suami berkehendak merujuk kepadanya, maka ia harus melakukan akan baru dan memberikan mahar lagi. Ini berlakuk pada talak pertama dan kedua. Jika sesudah talak ketiga, maka harus dengan syarat si wanita tersebut sudah pernah dinikahi laki-laki lain. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]