Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Sandungan dalam kehidupan rumah tangga pastilah ada. Satu, dua, tiga kali atau lebih, kehidupan suami istri terjadi slek. Sehingga istri di mata suami sangat-sangat menjengkelkan. Lalu suami, karena keputusan cerai ada di tangannya, semena-mena menceraikan istrinya tersebut.
Terlebih saat perjalanan rumah tangga sudah berjalan beberapa tahun dan beberapa anak sudah lahir darinya. Saat itu tubuh dan penampilan istri (ibu dari anak-anak itu) sudah tidak seindah dahulu. Dalam kondisi demikian, terkadang seorang suami (ayah adari anak-anak tadi) berkurang perasaan cinta dan sayang kepada istrinya. Saat terjadi slek, lalu ia menjelek-jelekkan istrinya dan membencinya. Bahkan lebih parah, dia ingin menceraikannya dan mencari wanita yang lebih menarik secara fisik di matanya.
Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- berkata kepada seorang laki-laki yang ingin menceraikan istrinya: “Kenapa kamu mau menceraikannya ?”
Dia menjawab: “Saya tidak mencintainya”.
Beliau berkata: “Apakah setiap rumah tangga itu dibangun oleh rasa cinta?, lalu mana sisi penjagaan dan rasa tanggung jawab untuk menjaga kehormatan ?!! (‘Uyuun Akhyar: 3/18).
Maksudnya adalah: Bersabarlah atas masalah yang disebabkan oleh teman dan keluarga anda; karena kondisi semua orang dengan keluarga dan teman-temannya seperti kondisi anda juga, dan bisa jadi suatu kaum bisa berkumpul satu sama lain namun tidak saling menyetujui satu sama lain, tidak saling mencintai, akan tetapi karena kebutuhan masing-masing dari mereka lah yang menjadikan mereka bertemu !!
Maka dengan semangat saling menjaga maka semua anggota keluarga saling menyayangi di antara mereka, dan masing-masing juga akan mengetahui kewajibannya kepada yang lain.
Dan dengan adanya rasa tanggung jawab untuk menjaga kehormatan maka akan terhindar dari kesulitan karena setiap anggota keluarga saling memperingatkan agar tidak sampai terpecah belah dan bersengketa.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini hendaknya bisa menjadi pertimbangan bagi suami mukmin.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), berkata:
“Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/173)
Syeikh As Sa’di –rahimahullah- berkata tentang ayat di atas, “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Yaitu; sebaiknya bagi kalian para suami untuk mempertahankan para istri anda meskipun anda tidak menyukainya, karena yang demikian itu terdapat kebaikan yang banyak, di antaranya sebagai bentuk pengamalan dari perintah Allah, menerima wasiat-Nya yang mengandung kebahagiaan dunia akherat.
Memaksakan diri untuk mempertahankannya –meskipun ia tidak mencintainya- termasuk mujahadatus nafs (berjihad dengan dirinya sendiri) dan akhlak yang baik. Bisa jadi nantinya kebencian akan berubah sebagai rasa cinta seperti realita yang terjadi. Dan bisa jadi keduanya dikaruniai anak yang sholeh yang akan memberikan manfaat kepada kedua orang tuanya di dunia dan akhirat. Semua itu bisa terjadi kalau dia mempertahankannya tapi jika tidak ada sesuatu yang membahayakan.
Namun jika ternyata harus berpisah dan tidak mungkin dipertahankan lagi, maka mempertahankannya tidak lah menjadi suatu kewajiban. (Tafsir as Sa’di: 172).
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj: 10/58)
Karenanya, berpikirlah panjang jika ingin ambil keputusan perceraian. Penilain cantik secara fisik bukanlah satu-satunya alasan untuk mempertahankan rumah tangga. Tapi menjaga kehormatan istri, pertimbangan anak, melaksanakan perintah Allah dan melaksanakan wasiatnya, dan mencari keridhaan Allah lebih layak untuk lebih diperhatikan. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]