NERACA KEBENARAN di dunia ini adalah al-Qur`an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang menyelisihi dari setiap kaidah yang terkandung di dalamnya maka jatuhlah dia dalam sebuah kesalahan. Semua ulama dari zaman dahulu hingga sekarang bersepakat soal masalah ini.
Terlebih di zaman akhir seperti ini, timbangan secara Islam sudah tidak lagi menjadi acuan awal dalam bertindak. Manusia modern lebih banyak memakai akalnya dalam memutuskan perkara, mendewakan IQ-nya sebagai penentu kebenaran. Padahal sehebat apapun kemampuan manusia itu masih ada batasnya dan penuh dengan kelemahan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(Surat An-Nisa` 28).
Maka barangsiapa yang menjadikan akal sebagai neraca kebenaran sejati, mereka akan menyesal dalam kehidupan nanti di akhirat. Karena telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, hal ini juga telah di firmankan Allah di dalam al-Qur`an
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” [Surat Al-Jatsiyah : 23]
Mereka tidak lagi peka terhadap hak dan kewajiban, kejujuran, kebenaran, nilai-nilai moral, dan tatanan sosial yang berlaku di tengah masyarakat. Yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana memanfaat kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar, tidak peduli halal-haram.
Nafsu memang selalu mengajak kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati Allah.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Surat Yusuf : 53]
Mereka mengada-adakan amalan yang tak pernah dilakukan pada zaman Nabi maupun zaman sahabat. Sembari mengotak-atik dalil dari al Qur`an dan As-Sunnah yang terlihat umum, dari situ mereka membumbui setiap amalan bid'ahnya dengan dalil agar terlihat syar’i."
Munculnya Bidah Karena Manipulasi Wahyu oleh Permainan Akal
Mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah harga mati bagi setiap muslim. Karena dengannya manusia akan mendapatkan petunjuk dan keberkahan. Menghidupkan sunah Rasulullah yang telah banyak ditinggalkan oleh banyak manusia adalah sebuah jihad yang akan menumbuhkan keutuhan iman. Karena berpegang kebenaran pada akhir zaman bagaikan menggenggam bara api.
Akan tetapi sebagian kaum muslimin yang telah terpedaya oleh hawa nafsu dan syahwat, mereka justru akan beralih dari apa yang ditekuni kaum ahlus sunnah. Para ahlu bidah lebih banyak bermain kata dan dalil akan tetapi menuruti hawa nafsunya belaka.
Mereka mengada-adakan amalan yang tak pernah dilakukan pada zaman Nabi maupun zaman sahabat. Sembari mengotak-atik dalil dari al Qur`an dan As-Sunnah yang terlihat umum, dari situ mereka membumbui setiap amalan bid'ahnya dengan dalil agar terlihat syar’i.
Sehingga tidak jarang, adu dalil antara ulama ahlussunnah dan ahlul bidah dalam sebuah majelis diskusi, padahal jelas bab itu benar benar sesuatu yang tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah
Telaga Kaustar Menjadi Saksi Kesalahan Para Pengekor Ahli Bid'ah
Namun di tengah peliknya perdebatan antara ahlussunnah dan ahlul bidah di dunia ini, semua akan berakhir dengan jelas kelak di telaga kaustar. Mereka akan merasakan kesalahanya dan mereka akan menyesal karena ternyata Allah mengusir mereka dari telaga Kautsar.
Dari Anas, dia berkata: Pada suatu hari ketika Rasulullah berada di tengah kami, Beliau mengantuk sekejap. Kemudian Beliau mengangkat kepalanya dengan senyum. Maka kami bertanya: “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab,”Baru saja turun kepadaku sebuah surat,” maka Beliau membaca surat Al Kautsar. Kemudian Rasulullah bersabda,”Apakah kalian tahu apakah Al Kautsar itu?” Maka kami berkata,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda,”Al Kautsar adalah sungai yang dijanjikan Rabbku Azza wa Jalla untukku. Disana terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang akan didatangi umatku pada hari Kiamat. Jumlah bejananya sebanyak bintang-bintang….” (HR Muslim kitab shalat bab hujjatu man qaala al-basmalah ayatun min awwali kulli surat siwa bara’ah).
Umatku…umatku… Beliau berharap agar mereka bisa turut mendatangi haudh. Hingga Beliau mendapatkan jawaban dari Malaikat, mengapa mereka tidak bisa mendatangi haudh."
Telaga yang demikian luar biasa, penuh kebaikan. Ternyata tidak semua bisa menikmatinya. Ada beberapa umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak bisa mendatangi haudh, apalagi menikmati kesegaran airnya.
Mereka seolah dihalangi, hingga tersesat tidak menemukannya. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berusaha memanggilnya, agar mendatangi haudh.
Umatku…umatku… Beliau berharap agar mereka bisa turut mendatangi haudh. Hingga Beliau mendapatkan jawaban dari Malaikat, mengapa mereka tidak bisa mendatangi haudh.
Pemandangan menyedihkan ini disebutkan dalam banyak hadis. Berikut diantaranya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku berada di haudh. Menunggu orang yang datang kepadaku diantara kalian. Demi Allah, ada beberapa orang yang dijauhkan dariku. Sungguh aku memanggil, ‘Ya Rabb, mereka dariku dan dari umatku.’ Kemudian Dia menjawab, “Kamu tidak tahu apa yang mereka perbuat setelahmu. Mereka terus kembali mundur (murtad)” (Riwayat Muslim).
Dalam hadis dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Akulah yang pertama kali mendatangi Haudh. Siapa yang menuju kepadaku akan minum, dan siapa yang minum niscaya tidak akan haus selamanya. Sungguh akan ada beberapa kaum yang mendatangiku dan aku mengenalnya dan mereka juga mengenaliku, kemudian antara aku dan mereka dihalangi. Akupun mengatakan, ’Mereka umatku.’ Kemudian disampaikan kepadaku, ”Kamu tidak tahu, perbuatan bid’ah apa yang mereka lakukan setelahmu.” Lalu aku berkomentar, ”Celaka.. celaka orang yang mengubah agama sepeninggalku.” (Riwayat. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Abi Mulaikah, Seorang ulama tabiin yang termasuk perawi hadis ini, pernah berdoa, ”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku balik ke belakang (murtad) atau aku terfitnah sehingga tersesat dari agamaku.” (Riwayat Bukhari).
Sungguh, perdebatan panjang di dunia dengan para ahlul bidah tidak akan pernah menyelesaikan masalah, kecuali Allah memberikan hidayah menuju sunah Nabi. Maka sibukanlah dengan meniti sunnah Nabi, agar kita kelak bukan termasuk orang yang terusir di telaga kautsar kelak. Insya Allah. Wallahu 'alam bish shawab.* [Protonema/Syaf/voa-islam.com]