Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Ternyata shalat menjadi sarana efektif melapangkan rizki. Manfaat lainnya masih banyak lagi seperti shalat menjadi sarana menjaga kesehatan, tolak bala’, menjauhkan penyakit, meneguhkan hati, mencerahkan wajah, menambah kekuatan, menghilangkan kemalasan, membangkitkan semangat, menjaga nikmat, mengundang berkah, menjauhkan dari syetan, mendekatkan diri kepada Ar-Rahman, dan manfaat lainnya. Ini sebagian manfaat shalat yang disebutkan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad.
Allah Ta’ala telah berfirman tentang faidah shalat mengundang rizki atau sebagai sarana melapangkan rizki.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaahaa: 132)
Dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, agar memerintahkan keluarganya untuk shalat dan mengerjakannya bersama mereka, bersabar menjalankannya dan kontinyu melaksanakannnya. Redaksi ini berlaku secara umum kepada seluruh umatnya. (Lihat tafir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an)
Memerintahkan keluarga menjalankan shalat berarti menyuruh mereka melakukan sebab yang bisa menyelamatkan mereka dari murka Allah dan adzab-Nya. Bersamaan itu pula, wajib bagi yang memerintah menjalankan shalat bersama mereka. Karena nasihat dengan keteladanan lebih kuat pengaruhnya daripada nasihat lisan.
Dalam menjalankan kewajiban shalat ini harus disertai kesabaran. Karena menjaga shalat bukan perkara ringan. “Dan sesungguhnya shalat itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,” (QS. Al-Baqarah: 45)
Berarti seorang kepala keluarga dan anggota keluarganya bersama-sama menjadi ahli shalat, kontinyu menjalankan shalat dengan menjaga syarat dan rukunnya, adab-adab dan kekhusyu’annya.
. . . nasihat dengan keteladanan lebih kuat pengaruhnya daripada nasihat lisan. . .
“Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu” maksudnya: kami tidak membebani dirimu menjamin rizki salah seorang dari makhluk Kami, bahkan tidak pula atas dirimu sendiri. Kami hanya membebani dirimu dengan amal.” (Lihat Tafsir Al-Baghawi)
Ulama lain menjelaskan, “maksudnya: kami tidak membebanimu dengan rizki dirimu sendiri dan keluargamu. Kami-lah yang menjamin rizkimu dan mereka. Apabla engkau tegakkan shalat , rizki datang kepadamu dari jalan yang tak diduga. Maka fokuslah untuk urusan akhiratmu. Jagalah shalat tanpa mengalahkannya dengan kesibukan mencari ma’isyah.” (Al-Kasyaf ‘An Haqaiq Ghawamid al-Tanzil)
Dengan menjaga shalat, jangan khawatir soal rizki dan sumber kehidupan. Karena Allah sudah menjamin kecukupan rizki bagi orang yang menjaga hak-Nya Subhanahu Wa Ta'ala.
Jangan sampai salah paham. Ayat tersebut bukan menyuruh untuk bermalas-malasan mencari rizki dan bekerja. Karena Allah saat menyifati para muttaqin, mereka bukan para pengangguran, tapi memiliki kesibukan bekerja dan berdagang.
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” (QS. Al-Nuur: 37)
Ya, mereka berjual beli dan berniaga. Tapi, kesibukannya tersebut tidak melalaikan mereka dari menghadiri shalat berjama’ah. Mereka menegakkan shalat sesuai perintah-Nya dan menjaga waktu-waktunya.
Kita temukan sejumlah ulama salaf, apabila mereka terhimpit kebutuhan, ditimpa kesulitan, dan sempit rizki maka mereka segera shalat dan menyuruh keluarganya menjaga shalat.
Pertama, Amirul Mukminin, Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘Anhu shalat malam sebanyak yang Allah kehendaki, apabila sudah tiba penghujung malam, beliau bangunkan keluarganya untuk shalat sambil berkata kepada mereka, “Shalatlah, shalatlah,” kemudian beliau membaca QS. Thaahaa: 132 di atas. (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubra dengan isnad yang shahih)
Kedua, Bakr bin Abdullah Al-Muzani Rahimahullah, apabila keluarganya terhimpit kebutuhan, ia berkata: berdiri dan shalatlah, lalu berkata, “inilah yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya perintahkan.” Kemudian beliau membaca QS. Thaahaa: 132.
. . . Menegakkan ibadah kepada Allah yang menjaga hak-Nya, tidak akan menjadikan seseorang susah dalam hidup. Bahkan sebaliknya, . .
Penutup
Kita diperintahkan menjadikan shalat sebagai sarana meminta pertolongan kepada Allah. Ini termasuk wasilah (sarana) yang dibenarkan dan disyariatkan. Di antaranya meminta dilapangkan rizki agar tidak meminta-minta kepada manusia.
Menegakkan ibadah kepada Allah yang menjaga hak-Nya, tidak akan menjadikan seseorang susah dalam hidup. Bahkan sebaliknya, ibadah-ibadah kepada-Nya akan menjadi sebab keberkahan dalam hidupnya, di antaranya keberkahan dalam urusan rizkinya. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]