KEMEWAHAN dunia memang menjadi daya tarik yang membutakan mata manusia. Uang dan harta lainnya menjadi nilai yang menggantikan agama hingga jiwa manusia. Segala macam cara akan dinilai baik bila mata telah ternodai kefanaan perbendaharaan yang setitik diantara luasnya lautan.
Merekalah yang akan menindas demi harta yang haram bagi mereka. Merekalah yang akan mengusir sang ibu dari tanah dan gubuknya hanya karena dinilai tidak layak hidup diantara kemewahan ibu kota. Merekalah yang mengusik khusuknya para santri yang berdoa bertahajud di mushAla dekat proyek mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
"Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Mahamengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha melihat." [Asy-Syûra (42):27].
Keadaan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala ciptakan hanyalah ternilai sedikit di sisi-Nya. Kemewahan yang diperlihatkan di akhir zaman ini hanya sebagian dari jutaan kali lipat dari kemewahan yang hakiki. Maka dengaan keadaan ini manusia sudah saling menjatuhkan dan menekan, bagaimana pula mereka berperilaku diantara kekayaan yang berkali kali lipat.
Harta haram merekapun jelas dibelanjakan untuk perkara-perkara yang terlarang, hina dan mengundang rindu sang neraka."
Terlebih lagi mereka yang rela membuang nenek tua dari gubuknya tidaklah sadar bahwa kehidupan adalah sementara dan ladang mengumpulkan pahala. Mereka menggunakan harta haram mereka untuk berfoya foya, mereka mengikis cemburu mereka kepada para fuqoha, dan mengusir harapan mereka kepada Tuhan yang maha esa.
Harta haram merekapun jelas dibelanjakan untuk perkara-perkara yang terlarang, hina dan mengundang rindu sang neraka.
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang membelanjakan harta pada perkara-perkara yang terlarang. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ ۗ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan." [Al-Anfal (8):36].
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir membawakan perkataan As-Suddi yang berkata: “Membedakan antara orang mukmin dari orang kafir.”
Ayat ini jelas memberikan kita pelajaran bahwa kehidupan seorang kafir dan mukmin tentulah berbeda. Kekafiran mereka membawa pikiran mereka untuk juga berlaku buruk dalam muamalah dan bekerja. Hal inipun manjadi bantahan kepada orang orang yang mengatakan bahwa "lebih baik pemimpin kafir tapi jujur dari pada pemimpin kafir tapi korupsi.”
Hal ini terbantahan dengan firman Allah di atas. Karena pada hakikatnya orang-orang kafir itu dalam milah yang sama dan menekan muslimin dari jalan Allah.* [Sendia/voa-islam.com]