Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Malu perhiasan indah seorang muslim, khususnya wanita muslimah. Ia bagian terpenting dari keimanan. “Malu bagian dari iman,’ demikian bunyi hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Malu di sini adalah malu yang mendorong pemiliknya untuk berbuat baik dan terpuji. Karena rasa malu lalu ia menahan diri dari berbuat jelek, hina, dan melakukan sesuatu yang merusak kehormatannya. Maka jika ia menerjang maksiat, ia malu kepada Allah. Jika melakuan perbuatan yang merusak nama baiknya maka ia malu dari manusia, dan seterusnya.
Sedangkan malu yang menyebabkan dirinya melakukan keharaman dan terhalang mendapatkan mashalahat yang sangat dibutuhkan maka malu ini tidak dipuji. Salah satunya malu ketahuan haid lalu tetap ikut berpuasa Ramadhan.
Kejadian ini pernah ditanyakan kepada Syaikh bin Jibrin, seorang gadis yang malu ketahuan dirinya dapat tamu bulanan sehingga tetap ikut menjalankan puasa Ramadhan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin menjawab, “tidak diragukan lagi bahwa perbuatannya itu salah. Tidak boleh malu dalam masalah seperti ini. Haid adalah perkara yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita. Dan haid menghalangi shalat dan puasa. Adapun perempuan yang tetap berpuasa ini, padahal sedang haid, karena malu kepada keluarganya, dia tetap wajib menggadla' hari-hari yang dia tetap berpuasa dalam kondisi haid, dan janganlah mengulanginya. Wallahu a'lam!!!
Saudariku muslimah, malu yang merupakan perhiasan indah harus kita pakai pada tempatnya. Jangan sampai karena modal berharga (malu) membuat ukhti melanggar ketetapan Allah; larangan puasa bagi wanita haid dan nifas. Ini ketentuan dari Allah dengan hikmah mulia yang dimiliki-Nya. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]