Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Kedudukan ulama dalam Islam sangat agung dan mulia. Mereka digelari sebagai pewaris para Nabi. Di pundak mereka amanah dien ini terpikul. Melalui mereka kemurnian ajaran Islam terjaga. Hidayah umat terpelihara –juga- melalui perantara mereka.
Kemuliaan mereka telah Allah sebutkan secara langsung dalam Kitab-Nya dengan mempersaksikan ketauhidannya terhadap Allah. Bahkan persaksian mereka disandingkan dengan persaksian Allah dan para Malaikat-Nya.
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imran: 18)
Para ulama adalah wali Allah yang beriman kepada-Nya, senantiasa mendekat diri kepada-Nya dengan ketaatan dan amal shalih. Hidup dan mati mereka benar-benar diabdikan untuk Allah. Karenanya, siapa memusuhi para ulama, Allah nyatakan perang terhadap-Nya. Siapa yang diperangi Allah, pasti akan celaka dan binasa.
Allah Ta’ala berfirman di hadits Qudsi,
مَن عادى لي وليًّا، فقد آذنتُه بالحرب
“Siapa memusuhi wali-Ku maka Aku nyatakan perang terhadapnya.” (HR. Al-Bukhari)
Imam al-Nawawi Rahimahullah dalam “Al-Tibyan fii Aadab Hamalah Al-Qur'an” menukil perkataan Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi’i Rahimahumallah, “Jika ulama bukan wali-wali Allah, maka tidak ada yang menjadi wali Allah.”
Makna ‘Aadaa (memusuhi) mencakup membenci, memusuhi, dan menyakiti dengan perkataan dan perbuatan. Masuk di dalamnya mengkriminalisasi ulama. Siapa yang berani berbuat demikian, Allah maklumatkan kepadanya akan memeranginya. Kata Ibnu Taimiyah, “Siapa yang diperangi Allah, pasti Allah menghancurkannya.”
Al-Hafidz Abul Qasim Ibnu ‘Asakir Rahimahullah -ulama besar adab 6 Hijriyah- menyatakan,
أن لحوم العلماء مسمومة
“Bahwasanya daging para ulama itu beracun.” (Tabyin Kadzbil Muftari: 29)
Beliau menyebutkan kebiasaan yang sering terjadi dan sudah maklum bahwa orang-orang yang merendahkan (menghinakan) ulama maka Allah akan bongkar boroknya. Dan sesungguhnya siapa yang gemar menfitnah ulama dengan lisannya maka Allah menghukumnya sebelum kematiannya dengan kematian hati.
Kemudian pengarang kitab tarikh “Tarikh Dimzyaq” itu menyitir firman Allah Subahanahu wa Ta'ala,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. Al-Nuur: 63)
Sesungguhnya memusuhi ulama’ (diantaranya dengan fitnah dan kriminalisasi) itu berbeda dengan memusuhi selain mereka. Perbuatan tersebut secara tidak langsung memusuhi ilmu yang ada dalam dada mereka yang wajib diketahui umat. Jika ulama difitnah dan dikriminasisasi berakibat rusaknya reputasi mereka sehingga -dikhawatirkan- umat menolak ilmu yang mereka sampaikan. Ini tindakan yang membahayakan dien Islam.
Oleh sebab itu, bertakwa dan takutlah kepada Allah wahai orang-orang yang membenci, memusuhi, menyakiti, menfitnah, dan mengkriminalisasi ulama. Karena yang akan bangkit memusuhi kalian adalah Allah; pencipta dan penguasa alam semesta. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]