Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Disunnahkan mentahnik bayi ketika baru lahir. Yaitu mengunyahkan kurma dan kemudian disuapkan ke bayi dengan dilumurkan pada langit-langit mulutnya. Saat mentahnik bayi ini disunnahkan juga mendoakan keberkahan untuknya.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata, pernah dibawakan beberapa bayi kepada beliau,
فَيَدْعُو لَهُمْ بِالْبَرَكَةِ وَيُحَنِّكَهُمْ
“Kemudian beliau mendoakan keberkahan untuknya dan mentahniknya.” (HR. Muslim)
Sunnah ini dilaksanakan pada saat bayi baru lahir. Tidak menunggu beberapa hari sesudahnya. Sehingga makanan tahnik inilah yang pertama kali masuk ke dalam lambungnya.
Al-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah berkata, “Tahnik dilaksanakan saat kelahiran sehingga apa yang ia makan adalah makanan yang ditahnikkan untuknya.” (Fatawa Nuur ‘ala al-Darb: 2/14)
Bahan untuk mentahnik, paling utama, adalah kurma. Sebagaimana hadits ‘Aisyah yang mengatakan, “kami membawa Abdullah bin al-Zubair kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk beliau mentahniknya. Beliau meminta sebutir kurma kepada kami. Kami merasa dimuliakan dengan permintaan itu.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata,
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
“Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan sebuah tamr (kurma kering).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis seperti madu atau selainnya.
وأولاه التمر فإن لم يتيسر تمر فرطب وإلا فشيء حلو وعسل النحل أولى من غير
“Dan yang lebih utama (ketika) mentahnik ialah dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr) maka dengan kurma basah (ruthab) . Dan kalau tidak ada kurma dengan sesuatu yang manis dan tentunya madu lebih utama dari yang lainnya (kecuali kurma).” (Fathul Baari: 9/558)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
كون التحنيك بتمر وهو مستحب ولو حنك بغيره حصل التحنيك ولكن التمر أفضل
“Tahnik dilakukan dengan kurma dan hukumnya adalah sunnah (anjuran). Namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma, maka sudah dianggap pula sebagai tahnik. Akan tetapi, tahnik dengan kurma lebih utama.” (Syarh Muslim: 14/124)
Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata,
يلعق العسل ساعة يولد
“Dilumurkan madu saat ia lahir.” (Al-Mughni: 2/497)
Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad pernah ditanya tentang bolehnya mentahnik bayi dengan madu atau gula. Beliau menjawab,
يجوز، لكن الأصل أن يحنك بالتمر، فإذا لم يوجد يحنك بغيره مما هو حلو
“Boleh, tetapi asalnya mentahnik itu dengan kurma. Apabila tidak didapatkan kurma maka bayi ditahnik dengan selainnya yang manis.”
Apa hikmah mentahnik dengan kurma?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, “bahwasanya kurma mengandung kebaikan dan keberkahan. Kandunganya sangat bermanfaat untuk lambung. Apabila kurma menjadi makanan yang pertama kali masi ke lambung bayi, maka itu sangat baik untuk lambungnya.” Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, bab Sabar: 1/269)
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid hafidzahullah menjelaskan tentang hikmah mentahnik dengan yang manis,
وأما الحكمة من التحنيك بالتمر، فقد كان العلماء قديما يرون أن هذه السنة فعلها النبي صلى الله عليه وسلم ليكون أول شيء يدخل جوف الطفل شيء حلو ، ولذا استحبوا أن يحنك بحلو إن لم يوجد التمر
“Adapun hikmah dari tahnik menggunakan kurma maka para ulama terdahulu berpendapat bahwa ini adalah sunnah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam agar yang paling pertama masuk ke perut bayi adalah sesuatu yang manis. Oleh karena itu, dianjurkan mentahnik dengan sesuatu yang manis jika tidak mendapatkan kurma.” (Dinukil dari Fatwa Al Islam Su’al wal Jawab no. 102906)
Siapa yang berhak melaksanakan Tahnik?
Sebagian ulama berpendapat bahwa mentahnik bayi menjadi kekhususan bagi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk mengharapkan keberkahan melalui air liur beliau. Yaitu air liur Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang bercambur dalam kurma kunyahannya yang pertama kali masuk ke perut bayi. Tahnik ini tidak disyariatkan bagi selain beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Sebagian yang lain berpendapat beda, tahnik juga disyariatkan bagi selain beliau. Maksud dari tahnik ini agar kurma menjadi makan pertama yang masuk ke perut bayi. Siapa yang mentahnik anak bayi yang baru lahir maka tidak mengapa. Walaupun kalau tidak mentahniknya juga tidak mengapa. (Syaikh Ibnu al-‘Utsaimin di Fatawa Nuur ‘Ala al-Darb: 2/14)
Syaikh Abdul Muhsin al-Badr menjelaskan bahwa tahnik ini dilakukan oleh orang tua (bapak atau ibu) si bayi. Tidak disyariatkan membawanya kepada orang shalih untuk mentahnik bayinya agar mendapatkan keberkahan dari air liur yang bercampur dengan kurma yang dikunyahnya.
Benar, dahulu para sahabat membawa bayi mereka ke Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk ditahnik oleh beliau. Yaitu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengunyahkan kurma, kemudian mengeluarkannya dari mulutnya, menyuapkan ke mulut bayi dengan melumurkannya ke langit-langit mulut bayi agar ditelan si bayi. Mereka mengharap keberkahan dari kunyahan kurma yang bercampur dengan ludah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Ini sebagaimana mereka berharap keberkahan rambut beliau, air sisa wudhu’ beliau, sisir beliau, dan ludah beliau. Ini mereka lakukan hanya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Mereka tidak pernah lagi membawa putera-puteri mereka yang baru terlahir kepada seseorang sepeninggal beliau; baik Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali –radhiyallahu ‘anhum- padahal mereka sebaik-baik umat ini. (Syarh Sunan Abi Dawud, Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad: 4/57)
Fadhilah Syaikh Ibnu Bazz Rahimahullah pernah ditanya tentang membawa bayi kepada ulama untuk ditahnik mereka. Beliau melarangnya. Beliau berkata,
يحنكه أبوه أو أمه
“Bapaknya atau ibunya yang mentahniknya.”
Kalau bab tahnik ini dibuka untuk selain Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pasti liar, banyak orang yang merasa dirinya yang pantas untuk mentahnik dan diharapkan keberkahannya.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa lahir anak beliau, lalu beliau berkata kepada ibunya, “tahniklah ia”. (Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 66)
Intinya, orang yang paling berhak metahnik bayi adalah bapak atau ibunya. Tidak ada keutamaan membawa anak ke orang lain (orang shalih) untuk ia mentahninya agar mendapatkan keberkahan darinya. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]