Oleh:
Hartono Ahmad Jaiz
Dakwah sebenarnya adalah tugas mulia. Sampai-sampai Allah Ta’ala memuji da’i.
{ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ } [فصلت: 33]
33. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?
[Fussilat33]
Bila para da’i maju bersama, kompak, rukun, membina Ummat dengan ikhlas menyampaikan ajaran suci dari Allah Ta’ala yang dibawa Rasul-Nya, Muhammad Shllallahu ‘alaihi wa sallam, maka betapa bagusnya. Bagai bumi yang disirami air hujan yang berkah, menumbuhkan tanam-tanaman yang maslahat bagi kehidupan manusia, di samping menjadi pemandangan indah yang menyedapkan mata.
Ummat Islam pun berduyun-duyun shalat berjamaah lima waktu ke masjid dan langgar atau surau (kini disebutnya mushalla). Lebih-lebih di bulan Ramadhan, maka seluruh masjid dan mushalla penuh dengan jamaah shalat. Dan di hari raya sangat tampak syiar Islam dengan takbir, Allahu Akbar menggema di mana-mana.
Itulah di antara keberkahan dakwah.
Tiada tujuan ke surga yang mulus tanpa goda. Sedang Nabi Adam ‘alaihissalam dan istrinya, Hawa, pun digoda setan, hingga tergoda, dan akhirnya dikeluarkan dari surga. Sehingga, bapak manusia yang sudah di surga pun ketika kena goda setan maka dikeluarkan dari surga, kemudian bertobat, dan diterim tobatnya. Nah, para da’i yang menunjuki manusia untuk menuju surga, meneruskan tugas para Ulama, yang para Ulama itu adalah pewaris para nabi, tentunya tidak luput dari goda juga.
Dakwah yang semula mulus-mulus saja, tahu-tahu bisa saja ada orang yang hasud, dengki pada si da’i. Entah itu dari masyaakat umum, atau bahkan dari da’i yang lain. Timbullah kegaduhan, ramai, saling sindir, saling cari pengaruh, dan seterusnya. Padahal, da’i satu dengan da’i yang lainnya di satu kampung atau satu desa, itu tadinya mondok (pesantrennya) sama, atau belajarnya sama.
Sama-sama sebagai wong tradisional, wong doyan melakukan ini itu yang belum tentu dalilnya kuat, atau bahkan belum tentu gampang dicari dalilnya. Sudah sama-sama dilakukan, bahkan didakwahkan, tetapi ketika dicari di kitab-kitab yang shahih belum tentu ketemu.Mereka sesama da’i tidak mempersoalkan amalan itu benar atau salah, ada dalilnya yang kuat atau tidak. Tidak jadi urusan penting dalam hal itu, di kalangan da’i tradisional ini.
Meskipun tidak mempersoalkan amalan, tidak mempersoalkan dalil, bahkan amalannya pun sama antara da’i satu dengan yang lainnya di kampung itu, namun ketika yang satu lebih tampak akan maju padahal dari segi usia lebih muda, padahal dari segi keturunan, harta dan aneka ragamnya lebih rendah, namun tampaknya makinterkemuka di masyarkat, maka timbullah rasa hasad iri dengki dari da’i yang merasa lebih senior, lebih punya harta, dari keturunan lebih terhormat dan semacamnya. Mulailah terjadi konflik-konflik, hasutan, bahkan bisa pula fitnah.
Di saat gejala akan adanya kekisruhan itu, maka wadyabala setan penggoda, baik setan ketok (kelihatan) maupun setan tidak kelihatan mulai berkasak-kusuk. Mulai memanas lah suasana.Dapat kita bayangkan suasananya, sulit surutnya, tapi kemungkinan makin panasnya lebih mungkin.
Waktu tahun-tahun zaman aktifnya ayah saya di tahun sebelum 1960-an konflik sesama da’i itu sudah menjadi rahasia umum, walau secara terang-terangan belum tentu tampak ada tengkar adu mulut. Tetapi masyarakat biasanya tahu, da’i A itu musuhnya da’i B, dan seterusnya. Padahal mereka sama-sama mondoknya tadinya bareng, di pondok pesantren tradisional, misalnya.
Jebret..., begitu da’i B tiba-tiba sakit keraskejang-kejang dan sebagainya, lalu meninggal, langsung dugaan bahwa itu kena santet pun tersebar, entah dari mana, dan siapa penyebarnya. Tidak jelas, tetapi kabar burung itupun hampir merata di kampung yang sedang ada peristiwa.
Akibatnya fatal.Anak muda banyak yang takut, maka anak-anak mudajadi mlempem, takut, tidak ada gairah belajar agama. Karena kalau belajar agama, mengaji kitab dengan tekun, lalu pulangke kampung dan bisa mengajari masyarakat untuk mengaji kitab, lalu punya murid-murid;maka bisa-bisa terancam hidupnya. Kalau ga’ mati muda ya sakit-sakitan yang sulit diobati. Ketakutan semacam ini menghantui anak-anak muda Islam di kampung itu. Takut kena santet, kalau sampai muncul sebagai tokoh agama di kampung itu.
Satu-satunya jalan, ya minggat saja dari kampung itu. Bebas. Tidak akan ada yang merasa terganggu lagi, hingga kemunginanuntuk disantet pun relatif berkurang. Karena, kalau toh jadi orang terkemuka, tidak berhadapan langsung dengan dedengkot kampung yang takut tersaingi.
Nah, betapa mengenaskannya. Berdakwah itu merupakan tugas yang terpuji sebagaimana dalam ayat tersebut di atas, namun ketika da’inya sudah kena goda setan, justru dakwah itu bisa-bisa dibalut dengan sarana santet. Yang dalam Islam santet itu merupakan jenis kekufuran, termasuk dosa terbesar. Kekufuran santet itu terdapat dalam Al-Qur’an QS 2: 102.
وَٱتَّبَعُواْ مَا تَتۡلُواْ ٱلشَّيَٰطِينُ عَلَىٰ مُلۡكِ سُلَيۡمَٰنَۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيۡمَٰنُ وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ وَمَآ أُنزِلَ عَلَى ٱلۡمَلَكَيۡنِ بِبَابِلَ هَٰرُوتَ وَمَٰرُوتَۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٞ فَلَا تَكۡفُرۡۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِۦۚ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِۦ مِنۡ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡۚ وَلَقَدۡ عَلِمُواْ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖۚ وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡاْ بِهِۦٓ أَنفُسَهُمۡۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ١٠٢ [سورة البقرة,١٠٢]
102. Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. [Al Baqarah102]. Bersambung...