Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Seorang wanita yang sudah bersuami tetap terkena perintah silaturahim. Yakni menyambung tali persaudaraan kepada orang-orang yang memiliki hubungan darah atau hubungan nasab dengannya. Manusia yang paling berhak untuk ia sambung hubungan baiknya itu adalah orang tuanya. Terlebih, ada perintah khusus berbuat baik kepada orang tua yang tertuju kepada anak laki-laki atau perempuan; baik ia masih sendiri atau sudah berkeluarga.
Allah Subahanahu wa Ta'ala berfirman,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah selain kepada-Nya dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. ” (QS. Al-Isra’: 23)
واعبدوا الله وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وبالوالدين إِحْسَاناً
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. Al-Nisa’: 36)
Birrul Walidain (berbuat baik kepada orang tua) mencakup semua bentuk kebaikan yang membuat gembira dan bahagia keduanya. Bisa dengan harta, berkata baik, patuh kepada perintahnya yang mubah, dan semisalnya. Termasuk di dalamnya adalah mengunjungi keduanya saat sang anak wanita ini sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari keduanya.
Tidak diragukan lagi, orang tua sangat senang dikunjungi anak-anak yang sudah berpisah rumah dari dirinya. Tidak terkecuali anaknya yang wanita jika sudah bersuami. Bagi seorang suami hendaknya membantu istrinya dalam kebaikan ini. Suami tidak boleh sengaja memutuskan hubungan istrinya dari orang tua dan suadara-saudaranya. Ia tidak boleh melarang sang istri menyambung silaturahim.
Suami juga harus menjaga kemuliaan (nama baik) istrinya di hadapan orang tua nya dan saudara-saudaranya dengan menjaga nama baiknya sebagai anak yang berbakti ke orang tuanya dan tidak melupakan kebaikan keduanya.
Pertanyaannya yang terkadang timbul, berapa kali seorang anak yang sudah berkeluarga mengunjungi orang tuanya?
Syariat tidak menetapkan batasan khusus mengunjungi orang tua. Sepekan sekali, sebulan sekali, tiga bulan sekali, atau lebih dari itu. Anjuran ini kembali kepada situasi dan kondisi sang anak karena kesibukannya dan kesibukan suaminnya, kondisi ekonomi keluarganya, jauh dekatnya jarak, jadwal sekolah anak-naknya, dan kondisi lainnya.
Ada sebagian anak wanita yang tinggal jauh dari rumah orang tuanya; beda kabupaten, propinsi, pulau, bahkan ada yang beda negara. Tentu semua ini berpengaruh pada kunjungan ini.
Syariat tidak membatasi masa untuk berkunjung dan silaturahim. Hukumnya dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan yang berlaku di masyarakat). Jika yang masih satu wilayah, pantesnya satu bulan sekali, misalnya, maka ia mengunjungi ayah ibunya sebulan sekali.
Jika saat lebaran anak mengunjungi orang tuanya, lumrahnya, maka hendaknya anak wanita dan suaminya mengatur jadwal mengunjungi orang tuanya.
Suami istri harus saling memahami kebutuhan ziarah (kunjungan ini) sehingga kewajiban birrul walidain dari masing-masing pasangan tidak mengganggu keharmonisan hubungan mereka.
Intinya, dalam masalah mengunjungi orang tua istri ini, sang suami harus menyadari akan kewajiban istrinya untuk berbakti dan berbuat baik ke orang tuanya. Istrinya punya kewajiban silaturhim kepada keduanya dan saudara-saudaranya. Suami harus membantu istrinya dalam tugas ini. Ia tak boleh sengaja memutuskan hubungan istrinya dari orang tua dan saudara-saudaranya.
Sang istri juga harus memahami kondisi suami dan keuangannya sehingga tak memaksakan keinginan dan kerinduannya untuk mengunjungi orang tuanya. Ia meminta suaminya untuk menghantarkannya ke rumah orang tuanya sesuai kemampuan dan waktu luangnya. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]