Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Ratna Sarumpaet (RS) mengaku telah melakukan kebohongan saol penganiayaan dirinya. Muncul pro kontra terhadap sikap gentle nenek berusia sekira 70 tahun ini.
Muncul persepsi beragam terhadap pengakuan (RS). Ada yang percaya dengan pengakuannya yang telah berbohong. Ada pula yang menilai, dia terpaksa memberikan pengakuan ‘bohong’ karena adanya ancaman. Adapula berspekulasi bahwa ini bagian rekayasa dirinya untuk menghancurkan nama baik Capres Cawapres nomor urut 2.
[Baca: Ngibul Rusak Keberkahan Rizki]
Terlepas dari situ, ada satu pelajaran yang perlu kita aktualkan. Yaitu jangan mencela dan menghina saudara seiman karena satu dosa yang diperbuatnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam salah satu ceramahnya berkata, “Kemudian ketahuilah, jika seseorang mencela saudaranya karena dosa yang diperbuatnya, maka seringnya, dia akan diuji dengan dosa itu.”
Syaikh yang telah wafat tahun 11 Januari 2001 lalu mendasarkan penjelasannya kepada hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
من عير أخاه بذنب لم يمت حتى يعمله
“Barang siapa yang menghina saudaranya karena sebuah dosa yang diperbuatnya, dia tidak akan mati sehingga melakukan perbuatan dosa itu.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Tbabrani, dan Ibu Abi al-Dunya dari hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'Anhu)
Dalam riwayat lain,
لا تُظهر الشماتة لأخيك؛ فيرحمه الله ويبتليك
“Janganlah kamu mencela saudaramu (atas kesalahannya) boleh jadi Allah merahmatinya dan Allah menguji kamu (melakukan kesalahan yang sama).” (HR. Al-Tirmidzi; beliau berkata: ini hadits hasan gharib)
Menurut Syaikh al-Mubarakfuri, pengarang Tuhfah al-Ahwadzi, larangan mencela di sini atas dosa yang ia telah bertaubat darinya. Beliau mendasarkan kepada riwayat dalam Musnad Ahmad.
Seseorang yang mencela tadi akan dihukum dengan melakukan dosa serupa sebelum meninggalnya apabila dibarengi dengan perasaan bangga diri dan merasa suci dari dosa tersebut.
Adapun Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan larangan di sini, karena bisa jadi dosa mencela seorang muslim yang melakukan maksiat itu lebih besar daripada dosa yang diperbuatnya. Dan kadar maksiat mencela muslim yang berbuat dosa tadi lebih berat daripada maksiat yang telah diperbuatnya.
Boleh jadi orang yang mencela tadi lupa akan nikmat Allah berupa taufik atas ketaatan sehingga ia hanya membanggakan keshalihan dirinya. Ditambah lagi ia merasa suci dari dosa.
Adapun orang yang berdosa tadi telah mengakui dosanya dan kesalahannya. Ia merasa hina dan rendah di hadapan Allah. Kemudian ia menyesal, bertaubat, dan meminta ampunan kepada Allah atas dosa-dosa tersebut. Sehingga ia jauh dari sifat ujub dan sombong. Karenanya, ia pantas dirahmati. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]