View Full Version
Kamis, 15 Nov 2018

Hukum Hadiah ke Guru dari Wali Murid

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Lumrah, saat pengambilan raport, wali murid memberi hadiah ke guru. Baik ia guru kelas (wali kelas) atau guru yang disuka wali murid. Sebagian pihak menilai, hadiah itu tidak boleh diterima oleh guru. Ini bentuk ‘sogok’ yang bisa mempengaruhi sikap guru kepada anak pemberi hadiah.

Sebagian melarang guru menerima hadiah dengan alasan guru itu sebagai pekerja sekolah yang sudah digaji atas pekerjaannya. Ia diberi hadiah karena pekerjaan itu. Hadiah yang ia ambil dan miliki dari pekerjaannya itu termasuk bentuk ghulul (curang/nilep) yang dilarang.

Disebutkan dalam Hadits Ibnu al-Lutbiyyah, dari Abu Sa’id Humaid al-Saa’idi Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azad yang bernama Abu al-Lutbiyyah untuk menarik zakat. Saat ia tiba, ia berkata: Ini untuk kalian dan ini hadiah untukku.

Mendengar hal itu, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

فهلا جلس في بيت أبيه أو بيت أمه فينظر يهدى له أم لا ؟ والذي نفسي بيده لا يأخذ أحد منه شيئا إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو شاه يتعر

“Apakah jika ia duduk di rumah bapaknya atau di rumah ibunya lalu ia diberi hadiah? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang mengambil hadiah semacam ini kecuali ia akan datang di hari kiamat dengan memikulnya di atas pundaknya; boleh jadi hadiah yang dipikul itu berupa onta yang bersuara sebagaimana suara onta, sapi atau pun kambing yang bersuara dengan suara khasnya masing masing.”

Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga kami melihat putihnya ketiak beliau. Lantas berkata sebanyak tiga kali,

اللهم هل بلغت اللهم هل بلغت

“Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan. Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan”. Beliau ulangi sampai tiga kali.”

Disebutkan dalam hadits Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, Radhiyallahu 'Anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

من استعملناه على عمل فرزقناه رزقاً فما أخذ بعد ذلك فهو غلول

“Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan lalu kami beri gaji, maka apa yang ia ambil setelah itu termasuk ghulul (nilep).” (HR. Abu Dawud)

Bagi guru yang menerima hadiah tersebut karena pekerjaannya sebagai pengajar, maka ia tidak boleh diambil sendiri oleh dirinya. Ia harus serahkan kepada sekolah, karena guru sudah digaji pihak sekolah. Jika sekolah memberikan bonus dengan hadiah itu, maka guru boleh mengambilnya.

Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah pernah menjawab kasus serupa. Jika hadiah itu untuk kemaslahatan madrasah maka tidak apa-apa. Namun jika untuk kemaslahatan (kepentingan) anaknya agar diperlakukan istimewa dan tidak dibebani dengan ujian maka tidak boleh. (Fatawa Nuur ‘Ala Darb; Durus Syarh Bulugh Al-Maram, Kitab al-Buyu’)

إن كان لمصلحة المدرسة فلا بأس، وإن كان لمصلحة ولده لأجل أن يتسامحوا معه ولا يكلفوه بالاختبار فلا يجوز

Pada dasarnya, memberi hadiah itu baik dan dianjurkan. Demikian menerima hadiah. Dengan sebab ini akan terjalin hubungan lebih baik dan saling menyayangi.

تهادوا تحابوا

“Salinglah kalian memberi hadiah maka kalian akan saling menyayangi.” (Al-Hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'Anha)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga berulang kali menerima hadiah. Disebutkan dalam Shahihain, dari hadits Anas bin Malik, “Seorang wanita Yahudi memberikan hadiah daging kambing beracun kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.”

Di Shahih al-Bukhari juga disebutkan riwayat bahwa Raja Ailah (Palestina) memberi hadiah kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berupa keledai baghlah (anak dari perkawinan kuda dan keledai) berwarna putih dan memberinya kain burdah." Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version