Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Kalimat “cinta negeri sebagian dari Iman” sering disitir dalam perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI). Tidak ketinggalan di HUT yang ke 75 ini.
Kalimat ini disandarkan kepada Rasullullan dan sering disebut sebagai hadits. Sah disebut hadits apabila dinisbatkan atau disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Karena segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam bentuk ucapan, perbuatan, atau ketetatan (takrir) maka disebut sebagai hadits. Hanya saja, tidak semua yang disebut hadits sah menjadi hadits. Maksudnya sah diimani sebagai sabda Nabi, diamalkan, dan dijadikan dalil.
Syekh Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni al-Jarrahi menyebutkan dalam Kasyful Khufa’ (1102) bahwa:
حب الوطن من الإيمان
“Cinta negeri sebagian dari iman” adalah hadits maudhu’ (hadits palsu). Ini disandarkan kepada penilaian al-Shaghani.
Sebagian ulama menolaknya sebagai hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Maknanya secara umum tidaklah buruk. Bahwa cinta negeri tidak bertentangan dengan iman.
Sebagian ulama memaknai “wathan” di sini adalah surga, tempat tinggal pertama bapak manusia, Adam ‘Alaiihis salam. Ada juga yang memaknainya sebagai makkah, kiblat alam. Jika ini yang dimaksud maka mencintai negeri ini benar-benar bagian dari iman.
Adapun negeri yang sudah familier di telinga kita maka sebab mencintainya karena menyambung silaturahim kepada penduduknya atau berbuat baik kepada penduduknya, menyantuni anak yatimnya, dan membantu orang-orang miskinnya. Mencintai negeri semacam ini bagian dari iman.
Ringkasnya, mencintai negeri seperti mencintai kampung halaman, diri, harta, rumah, dan semisalnya. Semua itu bersifat manusiawi. Muslim dan kafir pastinya punya kecintaan kepadanya. Karenanya ia bukan bagian dari keharusan iman. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]