Oleh:
KH. Bachtiar Nasir
TIDAK banyak waktu kita dalam keseharian untuk berkumpul dengan orang-orang beriman dan melakukan amal shalih bersama-sama. Apalagi dalam waktu yang khusus dialokasikan untuk saling mengingatkan dalam kebenaran dan mendorong dalam melakukan kebaikan.
Waktu kita sehari-hari tentunya lebih banyak habis dengan berbagai kesibukan yang memakan sebagian besar waktu dan tenaga yang kita miliki. Oleh karena itu, waktu bersama ini sungguh jauh berharga; terutama bila ada satu saja ayat Allah yang terserap dalam jiwa dan menjadi cahaya yang menuntun gerak langkah hidup kita –meski hanya untuk hari ini saja, tentu itu akan lebih baik dari dunia dan seisinya.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Qs. Al-Kahfi ayat 28:
وَاصۡبِرۡ نَـفۡسَكَ مَعَ الَّذِيۡنَ يَدۡعُوۡنَ رَبَّهُمۡ بِالۡغَدٰوةِ وَالۡعَشِىِّ يُرِيۡدُوۡنَ وَجۡهَهٗ وَلَا تَعۡدُ عَيۡنٰكَ عَنۡهُمۡ ۚ تُرِيۡدُ زِيۡنَةَ الۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَا ۚ وَ لَا تُطِعۡ مَنۡ اَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهٗ عَنۡ ذِكۡرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰٮهُ وَكَانَ اَمۡرُهٗ فُرُطًا
"Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas."
Kala itu, ayat ini turun disebabkan kesenangan Rasulullah Muhammad saw bergaul dengan orang-orang beriman yang ketika itu mayoritas berasal dari mereka yang berstatus sosial menengah ke bawah. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang dipandang rendah oleh kaumnya atau budak-budak. Sementara Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri adalah orang dengan kelas sosial yang tinggi karena beliau adalah bangsawan dan keturunan pemuka agama yang mengurus Ka’bah.
Kondisi ini membuat para bangsawan dan pemuka masyarakat Quraisy merasa tidak senang. Bagaimana mungkin Rasulullah Muhammad Saw mengajari mereka, sementara orang-orang “rendah” itu berada di sisi beliau? Bagaimana mungkin, mereka duduk bersama dan selevel dengan orang-orang “rendahan” meski sama-sama mendengarkan ajakan berislam dari Rasulullah Muhammad Saw? Maka, mereka pun membisiki Rasulullah untuk meninggalkan orang-orang yang telah beriman tersebut dan pergi untuk mendakwahi mereka saja.
Rasulullah Muhammad saw hampir saja tergoda dengan ajakan mereka. Namun, di sinilah Allah Ta’ala mengajari Rasulullah Saw untuk bersabar. Perlu diperhatikan bahwa pengertian sabar adalah menahan diri untuk tetap menjalani sesuatu yang tidak disukai. Oleh karena itu, bila bersama dengan apa yang disukai dan memutuskan untuk menetap dengannya, itu bukan termasuk sabar. Apa yang menjadi batas kesabaran seorang mukmin? Yaitu, ketika kedua kaki sudah menjejak di surga. Karena hakikat sabar adalah menahan diri; dan dunia adalah tempat kita menjaga diri dan menahan keinginan. Maka, surga adalah tempat kebebasan, dimana segala sesuatu dibolehkan oleh Allah Arrahiim. Di sanalah batas akhir kesabaran dan kita boleh mengikuti apa yang diinginkan.
Seseorang baru akan mendapatkan hikmah manakala dia sudah mampu bersabar. Sementara, mereka yang berada di level tertinggi kesabaran adalah mereka yang bahkan senantiasa bersyukur dengan apa pun yang terjadi dan karena rasa syukur itulah mereka selalu mampu bersabar. Inilah kesabaran yang terbaik karena rasa syukur itu, juga akan membawa kebaikan yang besar bagi diri kita sendiri. Sebagaimana Allah Asy-Syakur berfirman dalam surat Luqman ayat 12:
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
"Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, ”Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”
Bersabar bersama orang-orang yang beriman, ini juga merupakan adalah prinsip dasar dengan siapa kita harus berteman, harus berkelompok, dan harus berjamaah. Karena, dengan siapa kita berteman di dunia ini, maka dengan mereka kelak kita akan dibangkitkan. Dengan cara apa kita hidup di dunia ini, maka dengan cara itu pula kita mati. Seperti apa cara kita mati, itulah cara kita dibangkitkan di akhirat nanti.
Di hari Kiamat, orang akan dibangkitkan berkelompok-kelompok. Tidak ada yang sendiri. Orang masuk surga juga berkelompok dan yang masuk neraka juga berkelompok. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan betul dengan siapa kita berteman dan berkelompok di dunia saat ini.
Dengan ayat inilah, Allah Ar-Rahman mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan orang-orang yang senantiasa beribadah menyembah Allah Swt saja. Orang yang beribadah siang dan malam hanya karena mengharap ridha Allah semata.
Mengapa waktu siang dan malam ini disebutkan dengan tegas? Karena, inilah waktu yang kritis ibadah bagi orang-orang yang hidup di zaman modern. Siang adalah waktu sibuk bekerja; meeting, menganalisa, menghitung, menghubungi banyak orang, dan sebagainya. Sementara waktu untuk mendirikan shalat dan mengingat adanya Allah, menjadi sangat sedikit.
Sedangkan malam adalah waktunya tidur. Seringkali waktu mengingat Allah adalah waktu sisa di antara mata yang mengantuk dan badan yang lelah. Akan tetapi, ada mereka yang terus khusyuk memanjatkan doa dan menegakkan ibadahnya, meski waktu sempit dan badan tergerus lelah; hanya karena mengharap ridha Allah. Merekalah orang-orang hidup dalam iman dan kelak menjadi teman terbaik menuju surga.
Juga, jangan ikuti mereka yang hatinya sudah dilalaikan oleh hawa nafsu. Sehingga, hidupnya memang lalai. Mereka tak mampu mengingat Allah Ta’ala dan hatinya senantiasa disibukkan oleh kepentingan-kepentingan duniawinya. Orang-orang yang senantiasa mendongak untuk melihat kehidupan dunia yang ada “di atasnya” ini akan lelah hidupnya. Capai mencari-cari uang, tetapi tidak pernah merasa puas. Semaki banyak yang didapatkan, semakin ia merasa harus bisa mendapatkan yang lebih banyak. Semakin banyak, semakin terasa kurang. Bagaikan orang yang meminum air laut.
Demikianlah, semestinya fenomena yang ada di semesta ini adalah hikmah untuk mendekatkan diri kepada Allah Yang Mahatinggi dan kebahagiaan di akhirat kelak. Hanya dengan selalu berjamaah bersama orang-orang mukmin-lah, kita akan senantiasa mengingat prinsip ini dan apa tujuan hidup yang sebenarnya. Hanya bersama mereka, kita akan senantiasa bertenaga dan bersemangat melakukan amal-amal terbaik. Oleh karena itu, berjamaahlah dan jangan tinggalkan orang-orang yang beriman untuk saling mengingatkan dan memenangkan kehidupan di surga kelak. Insyaallah.*