Oleh:
KH Bachtiar Nasir
KEHIDUPAN manusia tidak akan lepas dari cobaan dan ujian yang mengguncang kenyamanan, serta memaksa kita bergerak mencari penyelesaian. Akan tetapi, sebenarnya bagaimana menyikapi ujian tersebut dan menjalaninya sebagai jembatan ketaatan adalah sesuatu yang lebih penting. Karena sejatinya, solusi adalah milik Allah SWT yang akan diberikan sesuai keridaan-Nya.
Oleh karena itu, dalam surat Al-Baqarah ayat 155-157, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ ١٥٥
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦
أُو۟لَـٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَٰتٌۭ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۭ ۖ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ ١٥٧
"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."
Bahwa sebenarnya dalam kehidupan, setiap manusia akan menemui waktu dimana ia akan diuji dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, atau kesenangan. Satu saja di antara kenikmatan tersebut dicabut, pasti akan mengguncang jiwa dan menimbulkan keresahan. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang mampu bersabar, yang akan tetap optimis di tengah kesulitan atau ujian yang tengah melanda. Merekalah yang saat itu mengatakan, “Innalillaahi wa innailaihi raaji’uun (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami kembali).”
Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan ketenangan dalam menjalani ujian dan mereka pula orang yang akan mendapatkan kemenangan dengan ujian yang diberikan. Sabar sendiri merupakan hal sederhana, tetapi yang paling sulit dilakukan manakala mendapatkan ujian dan musibah.
Jika pengertian sabar adalah menahan diri terhadap apa yang tidak disukai. Maka, seseorang dapat dikatakan sebagai orang bersabar manakala ia mampu bersikap seperti ini, tepat di saat ujian itu menghantam. Bukan ketika ujian sudah berjalan atau telah telah berlalu. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Dari Anas bin Malik, beliau berkata:
مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »
”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berkata,”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari, no. 1283).
Sabar dengan mengucapkan kalimat “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun” adalah sabar pada tingkatan pertama. Dimana seseorang menyadari bahwa ia adalah milik Allah Ta’ala dan akan kembali pada Allah Ta’ala. Di sini ia menyadari bahwa tidak ada yang dapat dilakukannya saat ujian datang menghantam kecuali menerima; karena ia adalah mahluk Allah SWT. Milik Allah yang harus menuruti apa pun kehendak pemilik-Nya.
Meskipun demikian, mau dan mampu menerima ujian ini saja sudah sangat menolong seseorang manakala menghadapi ujian. Jiwa dan raga seseorang yang menerima ujian sebagai bentuk ketaatannya kepada kehendak Allah Al-A’la akan mendatangkan ketenangan. Ketenangan ini sendiri merupakan kunci untuk mampu melihat masalah lebih jernih, berprasangka baik pada takdir Allah, sehingga mendorong seseorang untuk lebih dekat dengan solusi.
Namun, ada lagi kesabaran lebih dalam dan lebih tinggi nilainya di sisi Allah Ar-Rahiim, yaitu ash-shabrun jamil. Kesabaran yang dikenal sebagai kesabaran yang indah ini adalah kesabaran seseorang manakala mendapat musibah, akan tetapi hatinya tetap bersyukur kepada Allah Ar-Rahiim. Seburuk apa pun kondisi yang dihadapi ketika itu, ia tetap meyakini bahwa semuanya adalah bentuk kasih sayang Allah kepada-Nya dan pastilah ada hal terbaik yang ingin Allah sampaikan dengan ujian tersebut. Karena itu, lisan orang yang bersabar dengan ash-shabrun jamil ini biasanya tetap mengatakan Innalillahi, tetapi batinnya berdzikir Hamdallah; memuji dan bersyukur pada ketetapan Allah SWT. Di saat ini pula jiwanya kembali kepada Allah Swt dan hanya memohon bimbingan-Nya untuk bisa menemukan solusi; berpijak pada ridha-Nya.
Kesabaran ini pula yang terukir dalam jiwa para Rasul dan Nabi-Nya, juga para ulama dan mujahid. Seburuk apa pun kondisi yang dihadapi dan seberat apa pun ujian itu di dalam jiwa, mereka tetap bangkit dan berdiri tegak menyampaikan ayat-ayat Allah Swt. Seburuk apa pun perlakuan kaum mereka atau orang-orang kafir yang mereka dakwahi, energi memaafkan dan tetap memberi nasihat tak pernah berkurang.
Mereka tidak pernah menyalahkan orang lain ketika berhadapan dengan masalah. Mereka juga tidak kemudian mencari kambing hitam manakala ada hal yang terjadi di luar rencana. Yang mereka lakukan pertama kali, justru memohon ampun kepada Allah Ta'ala. Beristighfar.
Istighfar sendiri berasal dari kata ghafara yang artinya bertobat. Memohon ampun dan berhenti melakukan berbagai penyakit keduniaan yang menyebabkan ketaatan kepada Allah berkurang dan lebih cenderung pada hawa nafsu diri sendiri.
Karena ini, kunci manakala kita menghadapi ujian atau musibah di dunia ini, sejatinya adalah kembali kepada Allah Al-Ghaffar yang Maha Mengampuni. Bersyukur dengan apa pun yang terjadi, sehingga shabrun jamil akan berbuah hikmah dan pertolongan. Bertawakal kepada Allah, meyakini bahwa Allah sedang mengajari untuk menjadikan kita lebih baik, dan menjaga munajat kepada-Nya tetap rapat. Karena, Allah-lah tempat segala sesuatu akan kembali, termasuk diri dan yang kita upayakan selama ini.*