View Full Version
Kamis, 20 Nov 2025

10 Langkah Ayah dalam Menyelamatkan Keluarga dari Neraka

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah ﷺ dan keluarganya.

Tugas seorang ayah dalam rumah tangga tidaklah ringan. Statusnya sebagai pemimpin (Qawwam) dalam rumah tangga, menuntutnya untuk bertanggung jawab terhadap istri, anak dan siapa saja yang ada di bawah atap rumahnya.

Benar, suami atau ayah wajib memenuhi dan mencukupkan nafkah materi anggota keluarga. Juga melindungi mereka dari bahaya dan kerusakan duniawi. Namun lebih dari semua itu, laki-laki yang berstatus suami dan ayah memiliki tugas menyelematkan anggota keluarga dari api neraka. Tentunya, ini setelah ia menyelamatkan dirinya dari adzab dahsyat di akhirat.

[Baca: Ayah: Penyelamat Keluarga dari Api Neraka]

Pertanyaan berikutnya, bagaimana kita –para ayah- menjaga diri, keluarga, dan anak-anak kita dari api neraka?

Dr. Sharif Fawzi Sultan menulis dalam makalahnya yang berbahasa Arab “قوا أنفسكم وأهليكم نارا”, dipublish di situs Islam Way, menyebutkan ada 10 langkah nyata yang harus dikerjakan seorang ayag untuk tujuan di atas:  

Pertama, Menjadi teladan: Jadilah sosok yang tidak dilihat keluargamu darimu kecuali kebaikan, yang tidak mereka dengar darimu kecuali ucapan baik, dan yang tidak mereka dapati darimu kecuali perilaku baik.

Jadilah bagian dari Ahlul Qur’an, orang yang menjaga shalat, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, serta memuliakan tamu.

Perilaku yang demikian adalah dakwah tersendiri menuju Allah, merupakan amar makruf dan nahi mungkar. Sehingga, ketika engkau memerintahkan sesuatu, mereka menuruti dan ketika engkau melarang sesuatu, mereka menjauhi.

Dengan itu engkau menjadi ayah yang saleh, yang diharapkan membawa kebaikan bagi keluarga dan anak-anakmu.

Kedua, mengajarkan mereka tauhid: Yaitu hak Allah atas hamba-hamba-Nya:

Gantungkan hati mereka hanya kepada Allah. Ajarkan mereka mencintai Allah, merasa selalu diawasi oleh-Nya, dan takut kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman, mengisahkan tentang Nabi Ya‘qub `alaihis salam ketika ajal mendekatinya. Saat itu, beliau menasihati anak-anaknya tentang tauhid, memastikan akidah dan keimanan mereka tetap lurus:

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

"Adakah kalian hadir ketika kematian mendatangi Ya‘qub? Ketika ia berkata kepada anak-anaknya:'Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?' Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu— Ibrahim, Ismail, dan Ishaq— yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kami berserah diri kepada-Nya.'" (QS. Al-Baqarah: 133)

Ketiga, memerintahkan mereka untuk berpegang teguh pada sunnah Nabi dan meneladaninya:

Tanamkan dalam jiwa mereka bahwa mencintai Nabi ﷺ harus lebih besar daripada mencintai diri sendiri, keluarga, harta, dan seluruh manusia; karena Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّىٰ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (Muttafaqun ‘alaih)

Keempat, membiasakan mereka untuk shalat, mendidik mereka agar senang melaksanakannya, dan membuat mereka mencintainya:

Perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkannya) ketika berusia sepuluh tahun, sebagai bentuk pelaksanaan perintah Nabi ﷺ.

Sesungguhnya banyak orang tua — kita berlindung kepada Allah — yang meremehkan perkara memerintahkan anak-anak mereka untuk shalat dan memukul mereka (jika meninggalkannya). Inilah sebab banyak dari mereka yang kemudian meninggalkan shalat ketika dewasa.

Shalat adalah amalan terpenting setelah dua kalimat syahadat. Kita harus menjadikannya pusat perhatian kita; karena ia adalah tiang agama. Siapa yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya; dan siapa yang menelantarkannya, berarti ia telah menelantarkan agamanya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu; dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ṭāhā: 132)

Allah juga berfirman tentang Ismail عليه السلام:

وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا

“Dan ia selalu menyuruh keluarganya mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (QS. Maryam: 55)

Rasulullah ﷺ bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkannya) ketika berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Shahih Sunan Abi Dawud)

Kelima, mendidik mereka dengan akhlak mulia, perbuatan baik, dan adab yang terpuji: Seperti berbuat baik kepada kedua rang tua (birrul walidain) , menjaga hubungan kekerabatan (silaturahim), dan berbuat baik kepada tetangga. Dan melarang mereka dari kebalikannya, yaitu durhaka kepada orang tua, memutus silaturahim, berbuat buruk kepada tetangga, serta menyakiti manusia.

Keenam, memilihkan bagi mereka teman pergaulan yang baik, menjelaskan pentingnya hal itu, dan memperingatkan mereka dari teman yang buruk serta menjelaskan bahayanya.

Karena sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

الرَّجُلُ عَلَىٰ دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ

Seseorang itu berada di atas agama (kebiasaan) temannya. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia berteman.” (Shahih Sunan Abi Dawud)

Ketujuh: Mendidik anak-anak perempuanmu agar taat kepada Allah.

Menjaga shalat pada waktunya, menjaga hijab, bersikap sopan dan menjaga kehormatan, serta tetap berada di rumah (kecuali ada keperluan yang benar), dan tidak berbaur dengan laki-laki yang bukan mahram, meskipun mereka adalah kerabat, terutama di zaman sekarang yang penuh dengan fitnah.

Maka wajib bagi kepala keluarga untuk tidak meremehkan hal-hal tersebut. Ia juga harus sering duduk bersama istri dan anak-anaknya, karena kehadirannya dapat mencegah banyak keburukan dan menghilangkan jarak emosional antara dirinya dan keluarga.

Kedelapan, mensterilkan rumahmu dari segala sarana yang merusak: Seperti lagu-lagu (yang melalaikan atau haram), gambar-gambar yang terlarang, dan internet yang terbuka sepanjang malam dan siang, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Kesembilan, membawa keluargamu dan anak-anakmu ke majelis ilmu: Karena majelis-majelis tersebut adalah majelis yang agung; mengenalkan manusia kepada Allah, menghubungkan hamba dengan Rabb-nya, dan mampu mengubah banyak hal. Cukuplah bagimu bahwa majelis-majelis itu adalah majelis kebaikan dan keberkahan, di mana para malaikat mengelilingi kita, rahmat Allah menaungi kita, ketenangan diturunkan kepada kita, dan Allah menyebut kita di hadapan makhluk-Nya yang berada di sisi-Nya.

Kesepuluh, terakhir, Rasulullah bersabda:

عَلِّقُوا السَّوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ الْبَيْتِ، فَإِنَّهُ أَدَبٌ لَهُمْ

“Gantungkanlah cambuk di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan bentuk pendidikan bagi mereka.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani; al-Haitsami menilai sanadnya hasan dalam Majma‘ az-Zawā’id; dan Al-Albani menilainya hasan dalam Shahih al-Jāmi‘)

Artinya, mendidik anak itu berada di antara metode targhīb (dorongan dan motivasi) dan tarhīb (peringatan dan ancaman), antara pemberian hadiah dan hukuman; dan semuanya termasuk bentuk kasih sayang.Wallahu a’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version