Jakarta (voa-islam.com) Abu Mush'ab As-Suri, menceritakan, saya ingat seorang tokoh Jihad Arab di Afghanistan, mengatakan, bahwa kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya.
Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan “rahmat” kepada kita –demikian kosa kata yan biasa mereka gunakan – untuk menjinakkan kita.
Kita dihadapkan pada masa depan yang harus kita rancang dengan sebaik mungkin, dan kita raih dengan sempurna. Masa depan yang tidak semata tentang cita-cita untuk mati syahid dan sukses melewati ujian dunia. Tetapi, masa depan yang akan diwariskan generasi pasca kita. Tetapi, masa depan yang akan diwariskan generasi penerus kita.
Oleh karena itu, kita wajib mengorbankan segenap jiwa dan raga kita untuk memastikan kelak generasi kia menikmati kekuasaan al-Qur’an, bukan kekuasaan konstitusi manusia.
Kehidupan ini memiliki dua sisi, yaitu pengelolaan secara internal (politik) dan pemeliharaan dari gangguan eksternal (militer). Kemenangan hanya lahir bila kita menggunakan kedua sisi itu sekaligus.
Rasanya sudah cukup eksperimen yang dilakukan para pendahulu. Kita hanya perlu melihat hasil eksperimen mereka, bukan membua eksperimen baru. Oleh karena itu, kita tak sepatutnya menapaki kesalahan atau jatuh kepada perangkap yang sama. Kita hanya mampu berharap, semoga Allah memudahkan jalan kita, dan mengampuni kesalahan kita, serta mempertemukan kita dengan para pendahulu dalam naungan rahmat-Nya.
Tatkala sayap siyasi (politik), bukan maknanya politik kotor yang dipamerkan para penyembah dunia dengan cara mengaduk al-haq dengan al-bathil, menyamarkan kebenaran atau mengurangi harga kebenaran.
Tapi, yang dimaksud, politik yang kita baca dari cara Nabi Shallahu alaihi wassalam, mengelola urusan umat, baik dalam masalah sosial, dakwah, maupun jihad di medan tempur. Politik bermakna menakisme dalam menegakkan peradaban manusia. Jika melalaikannya mekanisme baku ini, kita hanya akan berputar tanpa ujung, disebabkan tak dicontohkan oleh Nabi Shallahu alaihi wassalam.
Kita pasti mampu melakukan perubahan dan itu sebuah kemestian. Kita punya modal manhaj (methode) dan obsesi. Kita perlu peka terhadap politik, tajam melihat masa depan, qiyadah (kepemimpinan) yang solid, dan memadai, memahami rambu-rambu pertarungan dalam menghadapi berbagai ujian dan memiliki kesabaran yang luar biasa.
Pertarungan ini ibarat perjalanan panjang lintas generasi, bukan pertarurangan satu generasi atau satu hari saja. Qiyadah perlu memiliki kemampuan merancang berbagai sarana demi tercapainya visi sesuai dengan tahap-tahap yang berakhir dengan tegaknya Daulah Islam.
Qiyadah yang mengerti bahwa pekerjaannya ini boleh jadi akan menghabiskan umurnya, dan hasilnya bisa jadi bau bisa dinikmati oleh generasi penerusnya. Oleh karena itu, ia tak boleh terburu-buru memetik buah kemenangan, karena akibatnya bisa fatal, “Ia tak berhasil memetiknya, dan hasil kerjanya juga tak bisa diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Pertarungan politis mutlak membutuhkan kekuatan militer, karena dalam keyakinan kita, tak ada bahan baku yang cocok untuk membangun kejayaan umat Islam, kecuali dengan darah. Tak bisa diganti dengan yang lain.
Mercusuar politik di Gedung Parlemen, ibaratnya seperti “narkoba sosial” yang dengannya umat Islam mabuk, sama sekali ini bukan jalan kami.Perubahan sama sekali bukan berhubungan dengan Gedung Parlemen.
Inti dari politik ala parlemen adalah sikap larut, terwarnai, dan perdamaian dengan kebathilan. Rabb kita tidak merestui jalan seperti ini. Tidak pula sebagai amal shalih, dan mengiringinya. Tapi, Rabb kita akan membiarkan, hingga selangkah demi selangkah para pelakunya masuk dalam lembah kebingungan dan kesesatan, bahkan mungkin tak akan pernah bisa keluar dari situasi itu.
Dunia internasional memandang bahwa perubahan (kekuasaan) hanya terkait dengan kekuatan (kemenangan). Keberhasilan hanya diukur dengan kekuatan dan kemenangan. Oleh sebab itu, umat Islam terkadang merapatg ke Timur (Komunis) atau ke Barat (Kapitalis) mengikuti siapa yang kuat dan menang. Tatkala itu, sudah tercipta ketergantugan umat dalam perangkap salah satu blok. Sampai kita semua hancur karena terpecah dan terkotak-kotak dalam blok musuh-musuh Allah. *mashadi.