Oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Hatede
Bulan Muharram adalah bulan awal tahun dalam penanggalan qamariyah (rembulan). Kumpulan dari 12 bulan qamariyah itu diawali dengan Muharram dan diakhiri dengan Dzuhijjah. Tahunnya disebut tahun Hijriyah. Penamaan tahun Hijriyah itu sejak zaman Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu.
Penanggalan qamariyah (rembulan) ini sangat erat hubungannya dengan ibadah dalam Islam, karena banyak ibadah yang berkaitan dengan tanggal qamariyah ini, seperti puasa selama bulan Ramadhan, Idul fithri pada 1 Syawal, Idul Adha 10 Dzulhijjah, hari tasyriq tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, bulan-bulan Haji (Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah dengan puncaknya hari Arafah 9 Dzulhijjah), bulan-bulan haram (bulan mulia, tidak boleh berperang): Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram.
Semua ibadah yang dicontohkan ini ditentukan dalam Islam berkaitan dengan peredaran rembulan atau disebut syahrul qamariyah (bulan yang perhitungannya pakai rembulan). Adapun shalat lima waktu, maka ditentukan berkaitan dengan fajar, matahari, dan mega.
Perlu diketahui, penanggalan qamariyah itu di zaman jahiliyah pun sudah ada. Bahkan orang jahiliyah juga berhaji di Bulan Dzulhijjah. Hanya saja mereka membuat aturan yang jauh dari ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, hingga sebagian mereka thawafnya mengelilingi Ka’bah dengan telanjang. Sebelum mereka berhaji, mereka beramai-ramai mendatangi lomba syair di pasar yang diadakan khusus menjelang musim haji. Yakni Dzulqa’dah hingga awal Dzulhijjah, setelah itu kemudian mereka ke Ka’bah. Dikenal ada 3 pasar: Ukadz (Okaz), Majinnah, dan Dzul Majaz. Para penyair jahiliyah berlomba syair di pasar itu, dan yang menang maka syairnya ditulis dengan tinta emas, dipasang di Ka’bah disebut al-mu’allaqat, yang digantungkan (di Ka’bah).
Ramainya Ka’bah yang didatangi orang dari mana saja inilah yang menjadikan dengki dan irinya Abrahah di Yaman. Maka dia membangun gedung Quailis untuk menyaingi Ka’bah, agar dihadiri banyak orang dari mana-mana. Namun gedung itu sebelum jadi sudah diberaki orang. Maka marahlah Abrahah, kemudian betandang mau mengamuk dan menghancurkan Ka’bah dengan tentara bergajah. Lalu Allah hancurkanlah Abrahah bersama tentaranya yang bergajah, yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Fiel. Tahun qamariyah saat itu disebut tahun gajah (al-fiel), tahun lahirnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bulan Rabi’ul Awwal tahun Al-Fiel (Gajah) tahun 571 Masehi. Jauh setelah itu, setelah Islam masuk ke Nusantara, lalu Rabi’ul Awwal di Jawa disebut Bulan Maulud (dilahirkan) yakni dilahirkannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi bulan qamariyah itu adanya bukan setelah datangnya Islam, tetapi sudah sejak sebelum Islam. Hingga dalam sejarahnya, kewajiban puasa Ramadhan itu mulai diwajibkan adalah pada tahun kedua Hijriyah. Artinya, sejak sebelumnya, nama bulannya sudah dinamai Ramadhan, baru pada tahun kedua Hijriyah lah mulai diwajibkan puasa Ramadhan. Maka para muballigh kini perlu hati-hati, jangan sampai pidato bahwa Ramadhan artinya membakar, yaitu membakar dosa. Yang sering dipidatokan orang seperti itu sebenarnya hanya otak atik gatuk (mengait-ngaitkan). Karena bulan Ramadhan itu sudah ada sejak zaman Jahiliyah bahkan mungkin sebelumnya. Walaupun artinya membakar, tetapi bukan dalil bahwa Ramadhan itu membakar dosa, karena nama Ramadhan itu sudah ada sebelum datangnya Islam. Kalau mau bicara soal dihapusnya dosa, ya harus merujuk dalil, di antaranya:
“Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala niscaya diampuni baginya dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Al-Bukhari)
Bulan qamariyah itu berbeda dengan bulan Januari sampai Desember yang perhitungannya pakai matahari. Panjang tahunnya, beda 11-an hari antara tahun qamariyah dan tahun syamsiyah (matahari). Karena bulan qamariyah hanya 29 atau 30 hari, sedang bulan syamsiyah 30 atau 31 hari, sedang Februari 28 atau 29 hari. Tahun syamsiyah biasanya disebut tahun Masehi. Di sinilah di antara kasih sayang Allah Ta’ala yang perlu disyukuri. Dengan adanya ibadah dikaitkan dengan bulan qamariyah itu maka ibadah haji yang setiap tahun umat Islam berkumpul di Ka’bah Makkah tidak terpatok hanya satu musim, misalnya selalu musim haji itu pada musim panas. Tidak. Dengan perbedaan setiap tahun 11-an hari antara bulan qamariyah dan syamsiyah itu maka musim panas, dingin dan sebagainya bergeser pula mengikuti bulan syamsiyah, hingga misalnya musim haji tahun ini musim panas, tahun berikutnya akan bergeser, dan selanjutnya.
Dengan masuknya Islam di Nusantara, kemudian penanggalan Qamariyah yang tahunnya disebut Hijriyah itu masuk pula ke Jawa. Sedang bulan Syamsiyah (Januari sampai Desember) tidak masuk ke penanggalan Jawa. Sehingga perhitungan tahun Jawa dihitung dengan penanggalan bulan qamariyah/ Arab Islam.
Yang jelas, penamaan bulannya mengikuti bulan qamariyah, hanya saja kadang berubah ucapannya (sesuai logat Jawa) dan kadang dikaitkan dengan apa yang dianggap sebagai peristiwa pada bulan itu.
Nama-nama Bulan Qamariyah ketika dijawakan jadi begini:
Sebenarnya berkaitan dengan nama-nama bulan itu tidak ada ibadah/ritual apa-apa kecuali bila ada perintah dari Allah Ta’ala lewat rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pergantian bulan juga tidak ada ibadah khusus, kecuali bila ada dalil dari Qur’an dan sunnah. Sehingga, pergantian tahun pun tidak ada ibadah tertentu, dan ternyata memang tidak ada perintah dalam Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu, bila ada yang merayakan tahun baru qamariyah yakni Tahun Hijriyah, maka perlu ditanyakan, siapa yang menyuruhnya?
Yang berhak menyuruh hanyalah Allah Ta’ala. Dan kalau Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam menyuruh, berarti mendapat perintah dari Allah Ta’ala.
.
Kreasi berkaitan dengan hari, tanggal, bulan, dan tahun ada juga di Jawa.
Setiap 8 tahun ada sebutan sendiri, namanya sewindu. Nama-nama tahun Jawa yakni: Alif, Ehe, Jim awal, Je, Dal, Be, Wawu, Jim Akhir. Dari tahun Alif sampai Jim Akhir itu 8 tahun, disebut sewindu.
Sedang untuk nama hari, sepekan hanya 5 hari disebut hari pasaran: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Dari nama hari itu ada sindiran yang unik: Pahing kepesing, Pon ora kambon. Artinya: Pada Hari Pahing (mendapat rejeki atau keuntungan atau panenan yang banyak hingga) kepesing (terberak-berak), namun besuk harinya, Pon, sudah ora kambon, baunya pun sudah tidak mendapatkannya, sudah habis sama sekali. Itu sindiran untuk orang yang sangat boros.
Dengan adanya nama hari pasaran (sepekan lima hari) itu tadi, maka ada yang disebut selapan, 35 hari. Yaitu bertemunya lagi hari mingguan (Senin-Ahad) dengan hari pasaran (Pahing-Legi). Misalnya anak lahir Hari Kamis Kliwon, maka Kamis Kliwon berikutnya itu disebut selapan, 35 hari. Itu sangat mudah bagi dukun bayi, sang ibu bayi dan bapak bayi untuk mengingatnya. Kenapa, karena pada hari ke-35 (yang sudah diingat bahwa itu hari Kamis Kliwon) itu lalu dukun bayi memijat ibu bayi dengan pijatan khusus agar segera bergairah dalam melayani suami. Sang isteri pun sudah siap-siap, sedang suami pun demikian. Bahkan dukun bayi yang lihai, menawarkan apakah sang ibu bayi ingin dipijat khusus yang namanya walik (dibalik). Konon pijatan itu untuk membalik wadah bayi (rahim) agar dalam jangka sekian baru bisa hamil lagi. (Wah, jadi ngelantur, dan entah benar entah tidak, itu hanya pernah dengar promosi dari dukun bayi lho… maaf).
Kalau begitu, mari kita cari contoh yang lain saja. Dengan adanya apa yang disebut selapan (35 hari) itu, pembagian jadwal pengajian, khutbah dan sebagainya, pakai cara periode selapan itu cukup mudah. Misalnya Pak Modin khutbahnya di Masjid Kampung A tiap Jum’at Legi, maka khatib dan jamaah mudah hafal bahwa dia khutbahnya di sini tiap Jum’at Legi. Baru-baru ini saya diundang untuk menjelaskan tentang sesatnya Syiah di suatu daerah di Jawa. Pemimpinnya mengatakan, ini pengajian untuk para pimpinan Muhammadiyah setempat (sekecamatan) dalam bentuk pengajian lapanan (tiap 35 hari) yaitu tiap Jum’at Wage.
Ini artinya, nama hari Jum’at pakai Wage itu bukan milik Kejawen, tapi umum. Jadi ketika Muhammadiyah atau lembaga-lembaga Islam memakai hari pasaran Pahing Pon dsb itu, bukan berarti mereka itu mengikuti Kejawen. Demikian pula pasar-pasar di Jawa yang ramainya hari-hari tertentu, misalnya pasar A tiap Pahing ramai, Pasar B, hanya tiap Legi dan sebagainya, itu bukan karena mengikuti kejawen, tapi hari pasaran itu milik umum.
Celakanya, ketika hari-hari itu kemudian dikaitkan dengan perdukunan dan keyakinan-keyakinan batil, maka di situlah celakanya, karena kesesatannya lebih mengakar dan sulit diubah. Misalnya setiap Jum’at Kliwon, kuburan Anu di Surabaya didatangi berbondong-bondong orang dari mana-mana. Tahu-tahu ada da’i yang jauh-jauh dari Timur Tengah mau berdakwah di Masjid al-Akbar Surabaya beberapa tahun yang lalu, jamaahnya tidak banyak. Ketika ditanya-tanyakan kenapa bisa begitu? Ternyata jawab orang, karena sekarang Jum’at Kliwon. Apa hubungannya dengan Jum’at Kliwon? Karena orang-orang banyak yang sedang ke kuburan Anu… jadi banyak juga orang yang biasanya Jum’atan di sini, mereka ikut pula ke sana…
Demikianlah. Hari, tanggal, bulan, dan tahun ketika dipercayai dengan kepercayaan batil, maka kebatilan itu melekatnya lebih erat. Padahal, sebenarnya Islam ini sudah sempurna ajarannya, termasuk menyangkut hari, tanggal, dan bulan; seperti yang sudah dijelaskan tersebut di atas contoh-contohnya. Namun ketika manusia ini membuat-buat keyakinan sendiri tanpa merujuk dalil yang shahih, maka hari yang biasa-biasa saja pun dijadikan luar biasa, dengan aneka kaitannya. Bahkan sebagian desa ada yang punya pantangan, tiap hari tertentu misalnya Sabtu Legi tidak boleh ini dan itu. Bila berani melanggarnya, maka mereka mempercayai, akan kena bala’. Astaghfirullahal ‘adhiem, mereka membuat-buat kesialan sendiri tanpa dasar dalil yang jelas.
Demikian pula, hanya ada pergantian tahun saja lalu diadakan aneka macam ritual yang mengandung keyakinan yang bahkan mungkin berbahaya bagi keimanan. Inilah di antara contohnya.
Malam 1 Muharram atau 1 Suro
Tahun Baru Hijriyah, awal bulan Muharram. Bulan Muharram disebut bulan Suro dalam istilah Jawa. Kemungkinan istilah Suro diambil dari ‘Asyura (hari ke sepuluh). Di dalam ajaran Islam, memang disyariatkan menjalankan puasa ‘Asyura di bulan Muharram yaitu tanggal 10 Muharram, dan lebih baiknya dengan tanggal 9, agar menyelisihi Yahudi yang memperingati tanggal 10 Muharram itu karena mereka selamat dari Fir’aun. Di dalam Islam, tidak ada perayaan yang aneh-aneh, apalagi bermuatan syirik kepada Alah, bermuatan kemunkaran dan sebagainya.
Oleh sebagian orang, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro diisi dengan berbagai kegiatan yang tidak dituntunkan oleh Islam, bahkan kemungkinan bisa menghancurkan keimanan. Misalnya, masyarakat Kaliurang Jogjakarta mengisi malam 1 Suro dengan menggelar kirab Topo Bisu, yaitu mengelilingi seluruh kawasan wisata di Kaliurang, tanpa bicara sedikit pun seraya mengucapkan doa (permohonan) di dalam hati. Peserta kirab, yang jumlahnya ratusan itu, berbusana Jawa lengkap dengan pernak-pernik khas Jawa.
Di Keraton Kasunanan Surakarta, pada malam 1 Suro tahun lalu, dirayakan dengan menggelar kirab pusaka dengan mengarak Kebo Kyiai Slamet. Kala itu, Keraton Surakarta hanya mengarak empat ekor kebo bule Kyai Selamet, sebab sebagian kebo ngambek dan lainnya mengamuk. Akibat, kejadian ini, warga Solo menyimpulkan ngambeknya kebo tersebut pertanda akan terjadi sesuatu di tanah Jawa. (Ini kepercayaan tathayyur, menganggap suatu kejadian diyakini sebagai perlambang akan datangnya sial. Itu dilarang dalam Islam).
Masyarakat Jogjakarta, mengisi malam 1 Suro dengan melakukan tirakat Mubeng Beteng (memutari benteng) Keraton Yogyakarta sebanyak tujuh kali tanpa bicara. Itu merupakan salah satu tirakat, salah satu laku (amalan) yang dipercaya dapat menyingkirkan marabahaya yang akan menimpa Jogjakarta.
Bagi masyarakat Jogja yang memiliki benda pusaka (seperti keris, tombak, wesi aji, dan sejenisnya), pada saat itu mengkhususkan diri memandikan atau mencuci (njamasi) benda-benda pusaka tadi dengan air kembang setaman. Karena, mereka percaya benda-benda pusaka tadi memiliki kekuatan supranatural.
Di kawasan Parangtritis, Kabupaten Bantul, setiap malam satu Suro, sejumlah masyarakat memadati kawasan itu, khususnya di sekitar Puri Parangkusumo untuk memanjatkan doa (permohonan), entah kepada siapa. Puri Parangkusumo dipercaya sebagai tempat pertemuan asmara antara Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam) dan Nyi Roro Kidul. Di tempat ini digelar ritual khusus bagi mereka yang percaya tentang masalah kejawen (ilmu kebatinan).
Malam 1 Suro bagi masyarakat Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, diisi dengan melakukan ritual sedekah di Gunung Merapi (Sedekah Merapi), berupa mempersembahkan kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi kepada leluhur Kyai/Nyai Singomerjoyo, Kyai/Nyai Simbarjaya, Nyai Gadung Melati (penunggu kawasan Pasar Bubrah) dan Kyai Petruk (penguasa seluruh Merapi).Tujuannya, agar Gunung Merapi tidak marah lagi dengan letusannya. Ritual ini dilengkapi pula dengan melantunkan shalawat dan memanjatkan doa berbahasa Arab (secara Islam?). Bersamaan dengan itu, kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi sebagai materi sedekah pun dibawa ke kawah Merapi dan dilabuh di sana. Meski ada lantunan shalawat dan doa berbahasa Arab, namun demikian tradisi ini tidak lepas dari dosa berbuat syirik (dosa paling besar) kepada Allah dan dosa berupa perbuatan tabzir.
Berebut Air Jamasan
Setiap malam 1 Suro di Pendopo Pura Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Tengah, dilakukan ritual memandikan (mencuci) pusaka milik Pura Mangkunegaran. Pusaka itu berwujud Tombak dan Joli (sebuah rumah-rumahan kecil berisi pakaian milik Mangkunagoro I atau Raden Mas Said), yang dipanggul empat orang prajurit Mangkunegaran.
Pusaka tersebut dibawa dengan cara dikirabkan (semacam pawai) mengelilingi Pura Mangkunegaran dengan ikuti para kerabat Mangkunegaran, abdi dalem dan masyarakat lainnya, sambil menerapkan “laku bisu” (sama sekali tidak bicara), sebagai wujud keprihatinan terhadap kondisi negara saat ini. Tujuannya, untuk mendapatkan keselamatan sekaligus dalam rangka tolak bala’.
Bersamaan dengan itu, sejumlah abdi dalem menyebarkan bungkusan nasi kepada ribuan orang yang mengikuti ritual tersebut. Mereka saling berebutan, karena diyakini siapa saja yang mendapatkan bungkusan nasi tersebut akan mendapatkan banyak berkah dan diberi kemurahan rezeki.
Benda pusaka tadi dicuci atau dimandikan atau dijamas dengan air bercampur bunga. Air sisa mencuci benda pusaka tadi, atau biasa disebut air jamasan, diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat yang percaya bahwa air dan bunga sisa jamasan tadi dapat membawa berkah.
Ritual tersebut berlangsung pada 28 Desember 2008 (malam 1 Suro), sekitar pukul 19:00 waktu setempat.
Rebutan air jamasan juga terjadi di Jogjakarta. Menurut pemberitaan detknews edisi Jumat, 02/01/2009 13:27 WIB, ratusan warga berebutan air sisa jamasan (pencucian) kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Berbeda dengan di Solo yang ritual mencuci benda pusakanya berlangsung pada malam 1 Suro, di Jogja ritual mencuci benda pusaka berlangsung pada hari Jumat tanggal 2 Januari 2009, bertepatan dengan tanggal 5 Suro (hari pasaran Jumat Kliwon) tahun 1942 berdasarkan penanggalan Jawa.
Benda pusaka (kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat) yang dijamas adalah keretautama yang diberi nama Kanjeng Nyai Jimat, dan satu buah kereta pengiringnya. Pada masanya, kereta utama buatan Belanda pada pertengahan abad 18 tersebut, boleh jadi merupakan barang mewah. Kalau dikiaskan dengan masa sekarang, barangkali setara dengan mobil mewah Jaguar, Mercedes Benz atau Volvo. Barang mewah itu merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jacob Mossel) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Maksudnya, untuk dijadikan kendaraan utama para sultan tersebut.
Kalau saja saat itu sudah ada KPK, mungkin Sri Sultan sudah diseret KPK karena menerima hadiah barang mewah, dari penjajah pula. Hadiah yang diberikan penjajah tentu bukan tanpa maksud. Pasti ada tujuan-tujuan berupa mengekalkan kolonialisme di Nusantara. Siapapun yang menerima hadiah dari penjajah untuk mengekalkan kolonialisasi di daerah jajahannya, layak disebut sebagai pengkhianat.
Seandainya Jacob Mossel masih hidup dan melihat barang mewah yang dihadiahkannya kepada Sultan masih terawat, mungkin ia akan merasa senang. Tetapi, ketika ia melihat benda itu diperlakukan sebagai benda bertuah, bahkan air cuciannya diperebutkan banyak orang, mungkin ia akan tertawa terkekeh-kekeh melihat betapa bodohnya bangsa koeli van Jogja ini.
Boleh jadi Jacob Mossel juga akan terheran-heran dan bertanya-tanya, apakah tidak ada orang berpendidikan di nusantara ini, sehingga perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa terus berlangsung tanpa ada yang memberi pencerahan sama sekali?
Kenyataannya, perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa, bahkan menghancurkan keimanan itu justru diagung-agungkan sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang luhur dan harus dilestarikan. Padahal, bangsa lain sudah mampu menciptakan pesawat terbang, berbagai jenis mobil, dan mampu membangun budaya disiplin yang tinggi, eh…, bangsa kita boro-boro bikin mobil, disuruh sabar mengantre saja tidak bisa, disuruh tertib berkendaraan saja tidak bisa, bahkan air jamasan (bekas cucian) kereta kuda saja diperebutkan, dan dijadikan objek wisata, dibiayai pula oleh pemerintah.
Ramai-ramai mengusung kemusyrikan
Kalau sudah seperti itu maka berbagai elemen, dari penguasa, seniman, budayawan, pelaku adat, dan pengelola media massa secara beramai-ramai mengusung kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang merusak iman, atas nama adat, tradisi, dan budaya. Pada dasarnya mereka kalau mengaku beragama Islam (dan itu memang mayoritas, karena penduduk Indonesia ini mayoritas Muslim, termasuk pejabatnya pula) maka mereka jelas-jelas mlenteti (tidak mentaati sambil masih pula bernada meremehkan) Allah Ta’ala, yang telah memberikan segalanya: hingga mereka bisa hidup, bahkan punya jabatan, berpangkat, bisa jalan-jalan ke sana sini, tertawa-tawa dan sebagainya; namun Allah Ta’ala yang Maha Pemurah itu bukan dibalas dengan rasa syukur, justru diplenteti.
Mana buktinya?
Buktinya, mereka telah melanggar aturan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyuruh manusia ini untuk bertolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Sebaliknya, melarang bertolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maaidah: 2).
Di kala manusia tolong menolong dalam keburukan, maka telah dikecam oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[berlaku kikir]. mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah/ 9: 67).