Jakarta (voa-islam.com) Nampaknya akan terus terjadi pertarungan sepanjang sejarah antara Ikhwan dengan militer Mesir. Tak pernah putus-putus. Ikhwan yang ingin membebaskan Mesir dari belenggu penjajah Barat, sementara itu militer menjadi garda paling terdepan dalam membela kepentingan dan ideologi Barat. Sekalipun sekarang sudah mulai terjadi perubahan.
Inilah yang menjadi persoalan besar dalam sisi kemanusiaan. Karena akan membawa dampak bagi masa depan bangsa Mesir.
Ikhwan sudah sangat akomodatif dan menyesuaikan diri ldengan kecenderungan global yaitu memanfaatkan demokrasi guna memperbaiki sistem kehidupan bangsa Mesir. Ikhwan sudah bersedia ikut dalam format Barat, yaitu demokrasi, serta pemilihan.
Lagi-lagi partisipasi Ikhwan dalam politik yang sifatnya legal itu, justeru hasilnya ditolak militer. Dengan berbagai rekayasa konstitusi, militer menghalangi Ikhwan, dan berusaha menganulir hasil pemilihan, dan bahkan ingin mengeliminir peran politik Ikhwan.
Dengan kondisi seperti itu, seperti tak pernah berubah pola hubungan antara IKhwan dengan militer, dan akan selalu berhadap-hadapan. Tentu tidak ada yang diuntungkan, dan hanya membawa kehancuran bangsa Mesir.
Militer menolak hasi pemilihan parlemen yang dimenangkan oleh Ikhwan. Militer juga kemungkinan menolak hasil pemilihan presiden yang dimenangkan calon Ikhwan, yaitu Mohammad Mursi. Militer tidak mau mengalihkan kekuasaan sepenuhnya kepada sipil, dan bersikukuh ingin tetap memegang kekuasaan.
Kondisi di Mesir sangat berbahaya. Hanya dengan dalam hitungan hari, kemungkinan akan meledak konflik terbuka antara Ikhwan dengan militer. Meskipun, secara eksplisit Wakil Mursyid 'Aam, Jamaah Ikhwanul Muslimin, Khairat al-Shater, menolak kemungkinan Mesir akan jatuh ke dalam skenario seperti yang terjadi di Aljazair. Al-Shater tetap berkomitmen akan menggunakan cara-cara yang non-kekerasan. Termasuk seperti melakukan pembangkangan sipil dalam menghadapi militer.
Ikhwan dengan dukungan kekuatan perubahan, seperti Salafi, kalangan nasionalis, sosialis, kelompok gerakan pemuda 6 Mei, dan sejumlah elemen gerakan sipil lainnya, yang ingin mengakhiri kekuasaan militer, mereka bersatu, dan bersama-sama menggalang kekuatan, serta mereka melakukan aksi protes di Tahrir Square, yang menolak campur tangan militer.
Militer tetap bersikukuh tidak mau membagi kekuasan dan menyerahkan kekuasaan kepada kalangan sipil, terutama kalangan Islamis, yang secara terbuka memenangkan pemilihan melalui proses demokrasi.
Perjuangan kaum Islamis di Mesir ini, masih sangat panjang, dan belum jelas, bagaimana akhir dari perjuangan mereka dalam menghadapi hegemoni militer. Konflik antara Ikhwan dengan para penguasa dan militer Mesir, sudah berlangsung sejak lahirnya Gerakan Ikhwan, di tahun 1928.
Konflik itu sudah dimulai dari sejak zamannya Raja Farouk, Jenderal Muhammad Najib, Jenderal Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat, sampai Marsekal Hosni Mubarak. Bahkan, yang paling keras konflik antara Ikhwan dengan Jenderal Gamal Abdul Nasser. Meskipun, mulanya Nasser adalah anggota Ikhwan, yang direkrut langsung oleh Hassan al-Banna.
Tetapi, ketika Nasser berkuasa, bukan hanya meninggalkan Ikhwan, tetapi Nasser membuat makar terhadap Ikhwan, dan membumihanguskan gerakan itu, sampai dalam skala yang sangat luas. Ribuan tokoh dan anggota Ikhwan yang ditangkap dan dipenjara, dihukum mati, dan sebagian diusir dari Mesri.
Sekarang ini, kemungkinan akan berulang lagi, konflik yang paling buruk antara Ikhwan dengan militer. Di mana komisi pemilihan yang menjadi alat militer itu, bisa mengambil keputusan besok atau lusa, mengumumkan hasil pemilihan presiden dengan memberikan kemenangan kepada Marsekal Ahmed Shafiq, yang menjadi representasi dari rezim militer dan mantan Presiden Hosni Mubarak.
Apakah puncak ketegangan antara Ikhwan yang didukung seluruh kekuatan sipil di Mesir dengan militer ini, berakhir dengan konflik terbuka, dan menjadi perang terbuka antara kekuatan sipil melawan militer?
Ini hanya akan dapat dilihat dalam beberapa hari mendatang. Perang terbuka antara sipil dengan militer di Mesir, kemungkinan bisa saja terjadi, akibat puncak kekecewaan rakyat Mesir terhadap militer, yang berkuasa selama puluhan dekade.
Jum'at kemarin, ratusan ribu rakyat Mesir, melakukan unjuk rasa di Tahrir Square, yang menolak campur tangan militer, dan meminta segera militer menyerahkan kekuasaaannya kepada sipil.
Kekuatan sipil di Mesir, yang digalang Ikhwan bertekad terus melakukan protes, dan menentang kekuasaan militer, dan tidak mau memberikan konsesi politik kepada militer. Sehingga, ini menjadi suatu bencana masa depan bagi bangsa Mesir.
Kalau terjadi pemberontakan sipil, yang akan berlangsung sangat keras, maka kemungkinan akan banyak jatuh korban.
Militer sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, dan masuk ke pusat kota Cairo, mengantisipasi aksi yang bakal terjadi bersamaan dengan pengumuman hasil pemilihan presiden yang kemungkinan akan sesuai dengan skanerio militer, yaitu memberikan kemenangan kepada Marsekal Ahmed Shafiq. Sementara itu, Shafiq menjadi simbol militer dan rezim lama, dibawah Hosni Mubarak.
Militer sudah mengeluarkan pernyataan selama empat menit melalui televisi negara dengan nada yang sangat keras, Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) menegaskan tidak akan mengindahkan seruan kelompok-kelompok sipil yang sekarang berkumpul di Tahrir Square, dan menolak mencabut dekrit yang sudah dikeluarkan yang membubarkan parlemen, dan memperluas kekuasaannya.
Ikhwan dengan sangat tegas mengecam tindakan militer sebagai "tidak konstitusional". Kebuntuan antara dua kekuatan terkuat Mesir, tampaknya terus mengeras, dan membuat keraguan yang serius terhadap prospek demokrasi di Mesir.
Mohamed Beltagy, anggota senior Ikhwan, mengatakan Ikhwan akan terus menolak keputusan SCAF, di mana militer membubarkan parlemen baru. "Para pemimpin Ikhwan menyatakan kembali penolakannya terhadap deklarasi konstitusi, yang itu sendiri tidak konstitusional," tambah Beltagy. "Dewan militer tidak memiliki hak hukum mengeluarkan dekrit", tambah Beltaqy.
Pernyataan militer terbaru, menurut Hassan Nafaa, seorang analis politik, dan seorang pengecam Mubarak, mengatakan: "Pernyataan Dewan militer dimaksudkan untuk menakut-nakuti rakyat, dan memadamkan semangat revolusioner bangsa Mesir, melalui nada yang otoriter,di mana pernyataan itu disampaikan", ungkapnya.
"Ini revolusi klasik yang akan dilawan oleh kekuatan para demonstran," kata Safwat Ismail, 43, anggota Ikhwanul Muslimin yang datang dari Delta Nil. "Saya tetap tinggal di Tahrir Square ini sampai militer turun", tambahnya. mi