Jakarta (voa-islam.com) Selalu Indonesia memposisikan dirinya dihadapan AS sebagai : "abdi". Tidak berani memposisikan dirinya "equal" sejajar dengan AS. Karena itu, Indonesia selalu posisinya dibawah bayang-bayang AS. Apalagi, di era pemerintahan Presiden SBY, posisi Indonesia semakin "depend on" bergantung dengan AS. Mestinya, saat sekarang ini, Indonesia melakukan langkah ke arah yang lebih independen (bebas), sebagai negara yang berdaulat.
Era "Perang Dingin" sudah berakhir. Seluruh struktur global telah berubah. Sekarang muncul regionalisme baru. Di sini Indonesia harus mengubah seluruh kebijakan politik luar negeri, yang lebih "equality" (setara) dengan negara manapun, termasuk terhadap AS, dan tidak menjadi "abdi", negara-negara yang secara tradisional, disebut sebagai "Super power".
Indonesia dengan posisinya secara geopolitik yang sangat strategis, dan memiliki sumber daya alam (SDA), yang sangat besar, bisa menjadi nilai laverage (nilai tawar), dalam percaturan politik secara global. Indonesia seharusnya tidak lagi menjadi sapi perahan, dan mampu mengelola SDA, dan asset yang sangat besar itu, dan harus menjadikan nilai tawar menghadap kekuatan manapun di dunia.
Tetapi, pemerintah Indonesia yang berdaulat itu, tak mampu memposisikan dirinya secara pantas, dalam percaturan politik secara global, dan terus menerus menjadi sapi perahan, dan hanya mengekor terhadap negara-negara yang disebut "Super power". Indonesia kehilangan inisiatif dalam menghadapi perubahan-perubahan dunia, dan hanya mampu menjalankan skenario negara-negara besar.
Indonesia selama era "Perang Dingin" ikut menjalankan politik "contaiment" (pembendungan) terhadap komunisme. Indonesia menganeksasi Timor Timur, sesudah kunjungan Presiden AS Gerald Ford, yang menggantikan Nixon, di tahun 1977, dan Indonesia berhasil membasmi komunisme, tanpa adanya dukungan militer AS secara langsung.
Dibandingkan dengan invasi militer AS ke Indo China, yang bertujuan melakukan pembendungan komunisme, Indonesia tidak membutuhkan dukungan invasi militer langsung menghadapi komunisme. Tetapi, komunisme di Indonesia yang merupakan kekuatan ketiga, hanya dalam waktu yang sangat singkat dapat dihancurkan.
Sekarang AS memindahkan kekuatan militernya ke Asia Pasific, dan menjadikan Australia menjadi pusat kekuatan pangkalan militernya yang baru sesudah Filipina dipandang sudah tidak efektif lagi. Masa depan Asia Pasific diprediksikan akan menjadi ajang perebutan pengaruh dan militer antara AS, Cina, India, serta munculnya regionalisme baru. Karena itu, AS memperkokoh kekuatannya di Asia Pasific.
Sekarang kunjungan Menlu AS Hallary Clinton, membawa pesan yang sangat jelas, tentang kemungkinan Indonesia menjadi mitra baru AS, menghadapi gelombang perubahan di Asia Pasific, dan menguatnya dominasi Cina, di kawasan Asia Pasific, dan AS membangun mitra baru dengan negara-negara Asia dalam menghadapi persaingan dengan Cina.
Tetapi, yang paling pokok kunjungan Hallary Clinton, pasti akan semakin menjerumuskan Indonesia ke dalam aliansi baru, yang akan sangat merugikan masa depan Indonesia.
AS pasti akan berusaha mengubah dan mereduksi kekuatan Islam, sebagaimana kebijakan yang sudah dilakukannnya di seluruh dunia Islam. AS terus mendorong Indonesia melakukan perang "kotor" melawan terorisme, dan kekuatan militan yang dipandang mengancam kepentingan nasional AS.
AS hanya ingin bermitra dengan negara Islam, di mana pemerintahannya yang sudah menjadi bagian dari kepentingan AS. Termasuk pemerintahan yang dianggap moderat, dan tidak lagi memusuhi kepentingan AS, serta menjaga nilai-nilai sekuler, demokrasi, liberalisme.
Ini semuanya akan menjadi tujuan utama dari pemerintah AS. Sembari terus mengeksploitasi SDA, yang dimiliki oleh Indonesia. AS ingin mendapatkan legitimasi dari Indonesia yang merupakan negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Watak menjajah sebagai negara kapitalis dan imperialis, tak akan pernah hilang. Kendati sekarang AS sudah bangkrut, dan bukan lagi sebagai "Super power". Seharusnya pemerintah Indonesia berani mereposisi dan mengambil sikap terhadap hegemoni AS. Bukan terus menjadikan AS sebagai sesembahannya. af.