AFGHANISTAN (voa-islam.com) - Tewasnya lima tentara AS di Provinsi Zabul Afghanistan karena dibombardir jet pasukan koalisi NATO, Senin (9/6) lalu, ketika berusaha membersihkan wilayah itu dari Taliban menjelang pilpres putaran kedua Sabtu (21/6) ini, semakin menambah daftar pasukan AS yang tewas menjadi hampir 3.000 tentara sejak invasi militer tahun 2001 lalu untuk menghancurkan pemerintahan Taliban di Afghanistan.
Hal ini semakin memperkuat tekad Presiden Obama untuk segera keluar dari neraka Afghanistan akhir Desember tahun ini setelah gagal mencapai perjanjian dengan Presiden Hamid Karzai agar mensisakan 10.000 pasukan AS untuk melatih Afghanistan National Army (ANA) yang saat ini berjumlah 134.000 pasukan, namun mereka akan tetap bertahan hingga 2016 nanti. Pada masa puncak perang Afghanistan 2009-2010, AS pernah menempatkan 130.000 pasukan, sementara negara NATO menyumbang 30.000 pasukan, sehingga 160.000 pasukan gabungan NATO ini berusaha melibas Taliban namun terbukti gagal.
Sementara itu pilpres putaran kedua akan digelar pada Sabtu (21/6) ini setelah pada putaran pertama 5 April lalu tidak ada capres yang mendapatkan suara 50 persen plus 1 untuk menggantikan Presiden Hamid Karzai yang telah memegang dua kali masa jabatan, dimana mantan Menlu Dr Abdullah Abdullah mendapatkan 41,9 persen suara dan Ashraf Ghani 37,6 persen suara. Pada pilpres putaran pertama. Pilpres kali ini diikuti 7 juta rakyat di 34 Provinsi Afghanistan. Diperkirakan Abdullah Abdullah yang didukung negara Barat akan menang sekaligus berhak menggantikan Presiden Hamid Kharzai untuk memimpin negara yang terus bergolak selama puluhan tahun tersebut.
Invasi Uni Soviet
Ketika menginvasi Afghanistan (1979), Uni Soviet tidak hanya kalah secara memalukan melawan gerilyawan Mujahiddin, tetapi juga mengalami kehancuran negaranya. Ini diakui oleh mantan bakal calon Presiden AS, intelektual sekaligus kolumnis terkemuka, Patrick J Buchanan. Menurutnya, banyak negara besar ambruk dimulai dari kekalahan perang, seperti Kesultanan Ottoman di Turki (1924) setelah kalah dalam PD I, Nazi Jerman dalam PD II (1945) dan Uni Soviet dalam Perang Afghanistan (1990), (Partick J Buchanan, dalam Day of Reckoning, Thomas Dunne Books, 2008).
Setelah perang mematikan selama 13 tahun, ternyata pasukan AS yang didukung NATO tidak mampu mengalahkan para pejuang Taliban meski dengan persenjatan sederhana. Apakah AS akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dengan kalah secara memalukan di Afghanistan sebagaimana di Vietnam (1974). Tetapi yang jelas, kalau Uni Soviet hancur secara politik dan ekonomi dengan terpecah menjadi 17 negara, AS telah mengalami kehancuran secara ekonomi dengan munculnya krisis keuangan global (2008) yang berdampak di seluruh dunia. Biaya perang di Irak dan Afghanistan yang dikeluarkan pemerintahan mantan Presiden Bush totalnya mencapai 900 miliar dollar, turut mendorong terjadinya krisis keuangan global dengan kehancuran ekonomi AS bahkan dunia tahun 2008 lalu. Sedangkan biaya perang Afghanistan yang dikeluarkan Presiden Obama dalam 5 tahun ini diperkirakan melebihi 1 triliun dollar.
Maka tidaklah mengherankan jika pemimpin tertinggi Taliban, Mullah Mohammad Omar melalui media online al-Somad(25/11/2009), berani memastikan AS dan NATO akan kalah dalam perang di Afghanistan, meski mengirim lebih banyak pasukan. “Kamu dan sekutu kamu pasti akan kalah dan tidak akan ada perubahan jika kamu mengirim banyak tentara, kami akan terus berjuang. Sebuah tirani akan ditolak oleh siapapun di muka bumi ini”.Pernyataan Mullah Mohammad Omar 4 tahun lalu itu sekarang telah terbukti dengan akan hengkangnya pasukan AS dari Afghanistan akhir tahun ini sebagaimana tentara Uni Soviet dulu.
Masa Depan Afghanistan
Selama perang 13 tahun sejak invasi pasukan AS ke Afghanistan, tercatat dari 3.000 pasukan AS dan NATO terbunuh di Afghanistan. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana masa depan Afghanistan pasca penarikan total pasukanAS dan NATO akhir tahun ini.
Pertama, Afghanistan akan semakin bergolak dan menjurus menjadi negara gagal. Pasalnya, 134.000 pasukan ANA tak akan mampu menghadapi gerilyawan Taliban, apalagi tahun lalu tercatat 9 persen pasukan ANA telah disersi dan menyeberang ke Taliban. Sebanyak 160.000 pasukan AS dan NATO saja tak mampu menghadapi Taliban, apalagi hanya 134.000 pasukan ANA, meski mereka masih dibantu 10.000 pasukan AS sebagai penasehat militer hingga tahun 2016. Mereka akan digilas oleh kekuatan Taliban yang sudah berpengalaman perang selama 18 tahun sejak pertama kali berhasil menguasai Kabul dan mendirikan pemerintahan Islam tahun 1996 lalu sebelum diusir pasukan AS yang menginvasi Afghanistan (2001) dengan dalih memburu Osama bin Laden.
Kedua, Taliban yang masih dibawah kendali pemimpin tertinggi Mullah Mohammad Omar akan semakin kuat apalagi sekarang mendapat bantuan dari mantan panglima perang Mujahiddin di masa invasi Uni Soviet, Gulbuddin Hekmatiyar dan Jalaluddin Haqqani serta putranya Sirajuddin Haqqani.
Ketiga, sebagai wartawan Voa-Islam.Com yang sering menulis dan mengkaji masalah internasional khususnya Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Selatan, saya berani memprediksi setahun setelah pasukan AS keluar dari Afghanistan (2015), Taliban akan kembali menguasai Kabul. Kalau dulu Mujahiddin Afghanistan berhasil menumbangkan pemerintahan boneka Najibullah setelah tiga tahun pasukan Komunis Uni Soviet keluar dari Afghanistan (1992), kali ini cukup dibutuhkan waktu setahun bagi Taliban kembali menguasai Kabul dan menumbangkan pemerintahan pro Barat Presiden Abdullah Abdullah yang diprediksi akan menggantikan Presiden Hamid Karzai yang telah berkuasa selama dua periode di Afghanistan. Kemenangan Mujahiddin Sunni Iraq Suriah Islamic State (ISIS) baru-baru ini yang terus bergerak maju menuju Ibukota Iraq, Baghdad, tentu memberi semangat Taliban yang sama–sama Sunni untuk menguasai Kabul. Kalau Hamid Karzai dan Abdullah Abdullah tidak segera kabur dari Kabul, maka nasibnya akan persis sama dengan Najibullah yang digantung di alun-alun kota Kabul.
Keempat, karena Taliban tidak hanya ada di Afghanistan tetapi juga di Pakistan, maka kedua kelompok gerilyawan terlatih itu akan bekerjasama untuk merebut kekuasaan di Pakistan minimal di provinsi Miransyah yang berbatasan dengan Afghanistan. Sekarang saja kedua Taliban itu sudah menjalin kerjasama militer apalagi setelah nanti Kabul jatuh ke tangan Taliban. Militer AS dan Pakistan sudah berusaha menghancurkan Taliban Pakistan dengan pesawat Drone dan operasi militer gabungan, tetap selalu gagal.
Kelima, jika Kabul benat-benar jatuh ke Taliban, maka akan memaksa AS bekerjasama dengan Iran yang Syiah untuk menghadapi Taliban yang Sunni. Apalagi Iran memiliki perbatasan yang panjang dengan Afghanistan. Sekarang saja diduga AS sudah menjalin kerjasama dengan Iran untuk menghadapi Mujahiddin Sunni ISIS yang hampir menguasai Baghdad untuk menumbangkan pemerintahan pro Syiah PM Nouri Al Maliki. Dengan demikian masa depan dan rakyat Afghanistan akan semakin suram serta menderita dan akan terus mendapat predikat sebagai negara gagal (failure state). Afghanistan akan tetap menjadi negara pusaran konflik dan perebutan pengaruh geo politik, ekonomi dan militer bagi negara-negara tetangga serta AS dan sekutunya. (*)
Penulis:
Abdul Halim
(Wartawan Voa-Islam.Com dan Pemerhati Masalah Internasional)