Suriah di sini merupakan kunci perubahan di Syam seluruhnya; yang mencakup Palestina yang terjajah. Syam di sini merupakan kunci perubahan bagi Dunia Arab dan selanjutnya bagi dunia Islam. Dengan izin Allah Ta’ala. (Abdullah bin Muhammad)
Setelah melewati lebih dari tiga tahun konflik bersenjata, krisis Suriah belum juga menampakkan ke arah kemajuan stabilitas keamanan yang mencolok. Bahkan dilihat dari aspek kemanusiaannya, krisis Suriah dapat dikatakan sebagai krisis terburuk selama beberapa dekade terakhir. Tidak seperti negara-negara Arab yang mengalami gejolak revolusi, Arab Spring di Suriah telah mencatat ‘rekor’ terlama dalam gelombang Revolusi Arab (Arab Spring). Banyak analis yang berusaha menjelaskan mengapa hal ini terjadi.
Dari berbagai analisis tersebut dapat dirangkum suatu benang merah, yaitu karena banyak aktor yang bermain di Suriah, baik aktor negara maupun non-negara. Masing-masing memiliki, merencana-kan, dan mengimplementasikan strategi mereka sendiri. Dari sini, Suriah dapat dapat dikatakan sebagai ‘ajang kompetisi berbagai strategi’.
Tulisan ini berusaha mengkaji strategi Al-Qaidah dan Amerika Serikat (AS) di Suriah. Strategi ini mencakup yang telah, sedang, atau akan diimplementasikan, atau bahkan strategi baru pada tahap sekadar wacana, yangmana penerapannya berada di tangan penentu kebijakan yang akan memutuskan untuk mengindahkan atau mengabaikannya.
Letak Stratejik Suriah bagi Al-Qaidah dan AS
Suriah memiliki posisi yang begitu strategis bagi Al-Qaidah. Posisi stratejik itu bahwa Suriah merupakan gerbang menegakkan kembali khilafah serta untuk membebaskan Palestina dari tangan bangsa Yahudi. Posisi stratejik ini dapat ditangkap dalam salah satu pesan audio Aiman Azh-Zhawahiri. Aiman menegaskan bahwa jika eksprimen jihad Suriah berhasil menuaikan hasil dan berdiri Daulah Islamiyah di sana maka rezim-rezim yang berkuasa di Syam (mencakup Suriah, Yordania, Libanon, Palestina, dan Israel) akan segera tumbang.
Aiman juga yakin bahwa jika Daulah Islamiyah bisa tegak di Syam (Suriah) maka pintu untuk mengembalikan khilafah dan pembebasan Baitul Maqdis (Palestina) akan terbuka lebar. Selain itu Aiman juga menyeru umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk memfokuskan dukungan mereka pada jihad Syam dengan semaksimal mungkin; baik berupa dukungan personil, finansial, ide, serta berbagaiketerampilan dan keahlian yang mereka miliki.
Posisi strategis Suriah ini juga dikuatkan oleh seorang pemikir strategis jihadi yang menggunakan nama pena Abdullah bin Muhammad. Dalam kumpulan catatan strategisnya yang sebenarnya ingin dihadiahkan kepada Usamah bin Laden, Amir Al-Qaidah Pusat, Abdullah bin Muhammad berpendapat bahwa salah satu dari dua negara yang memungkinkan untuk ditegakkannya lagi khilafah adalah Syam (yang mencakup Yordania, Libanon, Palestina, Isreal, dan yang paling penting Suriah dengan Damaskus sebagai ibukotanya yang juga merupakan ibukota Syam pada era kekhalifahan Islam.
Ada lima alasan yang dikemukakan Abdullah bin Muhammad mengenai posisi stratejiknya:
Pertama, Suriah (Syam) tidak berada pada daerah gersang dan tandus serta tidak terletak pada wilayah yang ‘mati’ secara politik, seperti Sudan, Somalia, Mauritania, dan dataran-dataran tinggi di Mesir atau tempat lain yang tidak memiliki faktor-faktor ‘kehormatan’ yang menjadikannya sebagai sentral perhatian untuk proyek-proyek Islam.
Jika dibandingkan dengan perang AS terhadap Afghanistan dan Irak, meski keduanya sama-sama digempur dengan persenjataan dan tingkat serangan yang sama, namun perang Irak mampu menggerakkan dan mendorong proyek-proyek Islam untuk berada di belakang jihadi disebabkan wilayahnya yang ‘hidup’ (subur; tidak kering-kerontang) dan juga lantaran peran besar Irak dalam sejarah Islam. Selain juga dikarenakan kemudahan akses bagi sampainya bantuan personil dan logistik, serta terpenuhinya sarana dan prasarana media untuk mem-backup jalannya peperangan.
Kedua, Suriah termasuk wilayah yang dekat dengan daerah-daerah yang memiliki pengaruh religius, yaitu Arab Saudi (Mekah dan Madinah) dan Palestina (Al-Quds).
Sejarah Islam mencatat bahwa khilafah senantiasa terkait dengan penguasaan terhadap Mekah yang merupakan kiblat umat Islam dan simbol daya magnet wilayah-wilayah di sekitarnya. Untuk itu, para khalifah sepanjang sejarah Islam senantiasa bersikeras agar bisa menyampaikan pidato pada hari perdana kekuasaannya di hadapan umat Islam dari atas mimbar Masjidil Haram.
Demikian halnya dengan dua tempat suci keagamaan lainnya, yaitu Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjidil Aqsha (Al-Quds). Pusat khilafah dimulai dari Madinah, kemudian berpindah ke Mekah pada masa Abdullah bin Az-Zubair, dan Nabi mengabarkan bahwa pusat khilafah akan berpindah ke Baitul Maqdis (Al-Quds).
Ketiga, Suriah memiliki daerah-daerah yang kontur geografinya bisa membantu upaya pertahanan militer yang berfungsi sebagai benteng-benteng alam, seperti: perbukitan dan pegunungan, hutan-hutan, rawa-rawa, semak-semak, dan sebagainya, yang bisa digunakan untuk menghambat pergerakan pasukan-pasukan musuh, atau menonfungsikan beberapa persenjataan canggih seperti pesawat dan tank.
Empat, Suriah memiliki ketahanan pangan yang memadai. Maksudnya, Suriah memiliki wilayah yang cocok untuk pertanian dan memiliki sungai-sungai alami yang bisa dijadikan pasokan yang memadai untuk persediaan air dan pangan. Wilayah-wilayah yang memiliki pasokan air dan pangan yang memadai akan lebih tegar dalam menghadapi boikot atau hukuman ekonomi dalam bentuk apa pun.
Lima, karakteristik penduduknya yang mendukung. Penduduk Syam, dari sisi kereligiusan bisa diterima, memiliki keberanian, sabar dalam menghadapi beban hidup yang berat dan kehidupan yang sempit, berjiwa aktivis, serta bersifat terbuka. Fakta menunjukkan bahwa para jihadi yang ikut terlibat dalam perang Irak melawan AS kebanyakan dari wilayah Syam.
Selain itu, Syam—termasuk di dalamnya Suriah—merupakan wilayah yang memiliki beberapa keistimewaan sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Hawalah, Nabi bersabda, “Kelak kalian akan menemukan pasukan-pasukan; pasukan di Syam, pasukan di Irak, dan pasukan di Yaman.”
Abdullah bin Hawalah—perawi hadits ini—lalu berdiri dan berkata, “Pilihkanlah (di antara pasukan tersebut) untuk saya, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Hendaknya engkau bergabung dengan (pasukan) Syam, dan barang siapa yang tidak mau maka hendaknya dia bergabung dengan (pasukan) Yaman dan berusaha meminum dari air sungainya. Sungguh Allah telah memberikan jaminan kepadaku mengenai Syam dan penduduknya.”
Sementara bagi Amerika Serikat sendiri, Suriah merupakan ‘ajang’ yang mempertaruhkan kredibilitas mereka di mata dunia internasional, terkhusus menyangkut permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Dalam pidatonya pada akhir Agustus 2013, Presiden AS Barrack Obama menamakan serangan senjata kimia yang dilancarkan oleh rezim Basyar Asad pada Agustus 2013 sebagai “sebuah serangan terhadap martabat umat manusia”. “Secara total, lebih dari 1,000 orang telah dibunuh. Ratusan dari mereka adalah anak-anak. Anak-anak perempuan dan laki-laki yang digas hingga mati oleh pemerintah mereka sendiri,” lanjut Obama.
Selain mengancam kredibilitas AS, krisis Suriah secara tidak langsung akan menjadi ancaman keamanan serius bagi AS di masa mendatang. Ancaman itu akan muncul dari migrasi lebih dari 10.000 pejuang asing yang berasal dari berbagai negara yang berjihad di Suriah. Untuk alasan inilah mengapa tampaknya banyak analis Barat yang meneliti para pejuang asing di setiap negara.
Beberapa analis tersebut yakin bahwa mereka yang berangkat ke Suriah akan lebih radikal dari sisi ideologis dan dari sisi militer akan lebih terlatih, dan pulang ke negara mereka masing-masing dengan sentimen jihadi. Sebagian lagi memprediksikan bahwa pejuang asing tersebut memiliki kemampuan untuk merekrut anggota baru ke dalam gerakan jihad, menggabungkan diri sebagai bagian dari gerakan jihad global untuk menyerang Barat, terkhusus AS.
Dan tampaknya yang terpenting dari semua itu adalah untuk menjamin keamanan bagi kolega penting AS, yaitu bangsa Yahudi. Ini mengingat bahwa Suriah berbatasan langsung dengan Israel dan dapat dipastikan bahwa jika Suriah jatuh ke tangan jihadi maka Israel akan menjadi target utama, seperti yang sering dipropagandakan oleh jihadi di berbagai media.
Plan of Action Al-Qaidah di Suriah
Menurut Abdullah bin Muhammad dan juga banyak pengamat lainnya, konflik Suriah akan berlangsung dalam rentang waktu yang lama dan juga berpengaruh dalam arena yang luas. Tidak hanya berhenti di Suriah yang merupakan jantung Syam, namun juga di Syam secara keseluruhan, bahkan bisa berpengaruh di Hijaz (Arab Saudi) dan Yaman. Konflik Suriah akan berlangsung lama.
Banyak kepentingan yang diharapkan di sana, mulai dari kepentingan nasional sendiri antara rezim dan rakyat; kepentingan sektarian antara Syiah yang didukung penuh oleh Iran dan afiliasi-afiliasinya di Libanon, Irak, Bahrain, Pakistan, Yaman dan negara lainnya di satu pihak dengan Sunni yang didukung oleh Turki, Arab Saudi dan negara-negara Teluk di pihak yang lainnya; kepentingan internasional antara Rusia, Cina, dan Iran dengan AS dan negara-negara Eropa pada umumnya; dan juga kepentingan jihadi yang berhadapan dengan kepentingan bangsa Yahudi.
Masih menurut Abdullah bin Muhammad, Jihad Suriah akan membuahkan hasilnya jika berhasil mengatasi dua hal:
(1) berhasil mengatasi usaha-usaha rezim dalam menjinakkan revolusi atau menghancurkan pilihan-pilihan mereka dan mencukupkan pada berpartisipasi dalam politik sebagai ganti dari menjatuhkan rezim;
(2) selain juga bahwa strategi ini akan berhasil jika mampu mengatasi usaha-usaha kekuatan regional dan internasional untuk menggagalkan pilihan militer sebagai solusi tepat dan terbaik untuk keberhasilan revolusi.
Untuk mencapai kesuksesan dari semua itu maka setiap usaha-usaha harus difokuskan pada tiga pilar utama dalam beratraksi di ‘panggung’ Syam. Ketiga pilar tersebut, yaitu:
(1) strategi bergerak yang fleksibel,
(2) penetapan peran tugas yang tepat, dan
(3) memelihara konflik.
Strategi bergerak yang fleksibel yang selaras dengan aktivitas apapun yang diarahkan untuk menghadapi kondisi apapun yang dikondisikan oleh kekuatan besar akan sangat diperlukan dalam Suriah. Wilayah Syam, khususnya Suriah, berada pada daerah stratejik di mana garis-garis konflik internasional saling berbenturan di sisi Barat dan Timur wilayahnya dengan konflik regional antara Sunni dan Syiah bersamaan dengan konflik setempat antara umat Islam dan Nushairiyah.
Medan pertempuran yang di sana bertemu setiap jenis dan bentuk konflik akan menyebabkan peperangan yang panjang dan pengaruhnya yang luas. Kondisi seperti ini mengharuskan adanya kekuatan yang mampu mandiri dan diuntungkan dengan fleksibilitas dalam memilih pusat tempat berlindung dan dalam pergerakan sehingga ia mampu bertahan dalam kondisi berimbang, dan mampu untuk beroperasi secara aktif sesuai dengan sifat fleksibilitas itu.
Prinsip utama Perang Syam yang akan datang adalah “Bertahan untuk terus melanjutkan perang”, bukan “Bertahan untuk menyelesaikan perang” seperti yang diperkirakan oleh sebagian pengamat. Contoh kesuksesan dalam fleksibilitas ini adalah apa yang telah dilakukan oleh Hizbullah Libanon dalam Perang Libanon. Inilah yang membantunya untuk mampu bertahan dan berkembang hingga berakhir dan setelah perang sampai mampu sampai pada apa yang diraihnya hari ini di Libanon.
Adapun mengenai penetapan peran tugas yang tepat, pada waktu yang akan datang kemungkinan besar jihadi memiliki kesempatan untuk menguasai desa-desa, kota-kota, dan banyak wilayah. Pada kondisi perang revolusi, hal ini merupakan kesempatan untuk latihan untuk menjalankan pemerintahan dan administrasi karena hal ini merupakan tujuan dari revolusi. Namun, dalam kondisi jihadi saat ini, hal itu merupakan motif terpecahnya kemampuan jihadi pada waktu yang masih terlalu awal dan dalam tujuan yang masih memungkinkan untuk memenejnya dengan metode yang tepat sesuai dengan kemampuan jihadi. Latihan menggerakkan masyarakat dan administrasi memang penting selain gerakan militer, namun tabiat perang akan datang dipersiapkan untuk kembalinya jihadi pada ketentuan-ketentuan dasar pemerintahan yang tidak menentu pada waktu sekarang ini.
Wacana pemerintahan pada era dewasa ini telah berubah signifikan dibanding pada masa dahulu. Dengan dimasukkannya kekuatan ‘masyarakat sipil’ pada garis pemerintahan negara kontemporer menjadikan kekuatan kekuatan militer lebih rendah dibandingkan dengan kekuatan masyarakat sipil, bahkan diposisikan sebagai pelengkap kekuatan masyarakat sipil.
Dengan adanya perang dengan sifat yang lebih spesifik ini akan kembali menempatkan kekuatan militer pada posisinya semula sebagai kekuatan yang memerintah hanya dengan keberadaan dan kontrolnya atas suatu wilayah tanpa ada satu pun dari aliran politik, atau partai, atau lainnya yang menyangkalnya. Kekuatan jihadi harus diposisikan untuk membangun kekuatan yang mampu melindungi Ahlus Sunnah di Syam.
Dan terakhir, pilar ketiga, yaitu terus memelihara konflik. Kekuatan politik-militer manapun yang bertujuan untuk sampai pada tampuk kekuasaan penuh pada sebuah negara dengan prinsip-prinsip, sistem-sistem, dan pandangan yang berbeda dengan prinsip-prinsip, sistem, dan pandangan mayoritas penduduk negara sebelumnya maka harus siap untuk terjun dalam kancah konflik dan perang yang berkesinambungan sehingga proses pengondisian penduduk terhadap proyek baru mereka sukses dijalankan.
Sebaliknya, jika proses ini terhenti sebelum pengondisian penduduk sukses dijalankan maka hal itu akan berujung pada kegagalan, sementara kekuatan-kekuatan rival baik dari dalam maupun luar yang senantiasa berdenyut masih menunggu momentum yang tepat. Terhentinya proses tersebut bisa berupa kesepakatan-kesepakatan yang diprakarsai dunia internasional yang biasanya merupakan pintu bagi Barat untuk menjalankan hegemoni mereka berupa demokrasi, partai-partai dan parlemen. Untuk itu, terus memelihara konflik hingga pengondisian masyarakat membuahkan hasilnya merupakan strategi umum yang tidak kalah pentingnya.
Detail Strategi Al-Qaidah
Secara lebih detail mengenai strategi Al-Qaidah adalah sebagai berikut:
a. Berikan penyadaran dan kondisikan masyarakat untuk hanya tunduk pada syariat Islam dan menolak prinsip, ideologi, dan undang-undang apa pun selain Islam. Prinsip, ideologi, dan undang-undang tersebut mencakup: demokrasi yang menjadikan suara mayoritas sebagai kedaulatan tertinggi; dan tatanan dan sistem internasional dalam menyelesaikan konflik suatu negara yang sedang bergejolak baik gejolak internal negara tersebut maupun dengan negara lainnya. Dengan pengondisian ini diharapkan secara otomatis akan menutup pintu rapat-rapat bagi Barat untuk menemukan celah guna menjalankan sistem mereka dan menggagalkan sistem dan proyek Daulah Islam dan selanjutnya Khilafah Islamiyah. Kondisi seperti inilah yang dikhawatirkan oleh Barat, hingga salah seorang di antara mereka mengatakan bahwa “keberadaan organisasi Al-Qaidah bukan suatu yang ditakutkan, namun yang ditakutkan adalah tersebarnya pemikiran Al-Qaidah.”
b. Satukan seluruh faksi perlawanan di atas kalimat tauhid. Dengan ini, diharapkan loyalitas seluruh faksi perlawanan hanya kepada Islam, bukan lagi kelompok, suku, atau kepentingan sesaat. Dalam waktu yang bersamaan hal ini akan mengantisipasi jual-beli loyalitas yang biasa dilakukan Barat untuk memecah belah dan mengadu domba mujahidin.
c. Fokuskan serangan pada rezim dengan menghindari sebisa mungkin konflik dengan agama lain atau kelompok-kelompok sesat selama mereka tidak ikut terlibat memerangi mujahidin, dan jika mereka ikut terlibat maka cukup dilawan dengan seperlunya saja. Perlawanan tersebut disertai dengan memberikan penjelasan bahwa hal itu hanya bentuk pembelaan diri. Sibuk mengatasi konflik dengan kelompok sesat dan agama lain akan menguras tenaga dan memecah fokus kekuatan mujahidin yang memang terbatas.
d. Bentuk mahkamah syariat independen dengan para qadhi (hakim) yang disetujui oleh semua faksi, sehingga keputusan yang berasal darinya bersifat mengikat (ilzam) bagi seluruh faksi. Fungsi utama mahkamah ini adalah untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan di antara faksi, sekaligus sebagai rujukan dalam permasalahan-permasalahan syariat, seperti hukuman terhadap para tawanan, hukuman bagi pencuri dan pembegal dalam suasana perang, cara pembagian ghanimah, dan semisalnya.
Posisi strategis mahkamah syariat terletak pada posisinya yang menjalankan peran pemerintahan dalam tatanan sebuah negara yang memiliki legalitas lantaran disetujui oleh semua faksi. Selain juga ke depan, jika kemenangan di Suriah berhasil dipetik maka mahkamah syariat inilah yang bertindak sebagai ahlul halli wal ‘aqdi yang akan memilih pemimpin (amir) untuk semuanya. Ini sekaligus mengantisipasi campur tangan Barat dalam politik internal Suriah, terkhusus dalam implementasi nilai dan sistem mereka, yaitu demokrasi.
Strategi dan Rekomendasi Barat terhadap Kebijakan Luar Negeri AS
Sejak awal meletusnya krisis di Suriah yang dimulai dengan aksi protes besar-besaran dan dilanjutkan dengan perang sipil, pemerintah AS belum tampak mengambil tindakan yang berarti. Selama tiga tahun, AS hanya mengusahakan upaya diplomasi dan kemanusiaan untuk menyelesaikan krisis Suriah. Memang pada pidato yang disampaikannya pada akhir Agustus, Obama sempat memberikan sinyal bahwa AS akan mengambil tindakan militer terhadap rezim Asad yang dia anggap sebagai seorang penguasa diktator dan meminta kongres melakukan voting mengenai usulan tersebut. Namun, pada awal September Obama meminta kepada para pimpinan Kongres untuk menunda pemungutan suara yang akan memberikan wewenang penggunaan kekuatan senjata atas Suriah dan memilih untuk terus menempuh jalur diplomatik.
Pada pidatonya saat itu, Obama menjelaskan bahwa selama beberapa hari terakhir, terlihat adanya tanda-tanda kemajuan. Sebagian karena ancaman aksi militer AS sekaligus karena adanya perbincangan antara dia dan Presiden Putin di mana Pemerintah Rusia menunjukkan kesediaannya untuk bergabung dengan komunitas internasional dalam menekan Asad untuk menyerahkan senjata kimianya. Selain juga rezim Asad telah mengakui bahwa mereka memiliki senjata yang dimaksud dan bahkan menyatakan akan patuh terhadap Konvensi Senjata Kimia yang mengatur pelarangan penggunaannya.
Jalur diplomatik yang dimaksud Obama adalah Perjanjian Jenewa II yang dilangsungkan awal 2014 yang tujuan utamanya untuk mencari solusi politik bersama untuk krisis Suriah, selain juga mengenai solusi kemanusiaan tentunya. Sayangnya, pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan, jika tidak dianggap sebagai sebuah kegagalan, kecuali kesepakatan untuk memerangi Al-Qaidah di Suriah.
Lantaran sikap politik Obama yang masih ragu-ragu untuk melakukan intervensi militer secara langsung inilah lantas kemudian dia disebut oleh Dennis Ross sebagai seorang pragmatis. Kesimpulan tersebut muncul setelah Ross membandingkan antara sikap yang diambil Obama terhadap krisis Libia, Mesir dan krisis Suriah. Ross mengatakan bahwa saat Obama menyeru kepada presiden Mesir, Husni Mubarak, untuk mengundurkan diri karena dalam pandangannya bahwa Mubarak telah berada pada pihak yang salah, saat itu dia adalah seorang idealis. Demikian juga dengan keputusannya untuk mengambil tindakan intervensi militer terhadap Libia yang didorong oleh naluri kemanusiaan.
Pada pidato kenegaraannya pada Maret 2011, Obama mengatakan:
“Selama lebih dari empat dekade, rakyat Libia telah dipimpin oleh seorang tiran, Muammar Qadzafi. Dia telah merampas kebebasan rakyatnya, mengeksploitasi kekayaan mereka, membunuh orang-orang yang menentangnya baik di dalam maupun di luar Libia, dan meneror orang-orang yang tidak bersalah di seluruh dunia – termasuk warga-warga Amerika yang telah dibunuh oleh agen-agen Libia ... cengkeraman rasa takut yang dimiliki Qadzafi atas rakyatnya mulai memudar seiring munculnya harapan kebebasan. Di kota-kota besar dan kecil di seluruh Libia, rakyat turun ke jalan untuk menuntut hak-hak asasi manusia yang mendasar. Dengan satu suara para warga Libia menyatakan, ‘Untuk pertama kalinya kita memiliki harapan bahwa mimpi buruk selama 40 tahun yang kita alami sebentar lagi akan berakhir’.”
“Qadzafi telah menyatakan bahwa ‘ia tidak akan menunjukkan belas kasihan’ kepada rakyatnya sendiri. Ia menyamakan mereka dengan tikus-tikus, dan mengancam akan datang dari pintu ke pintu untuk menghukum mereka. Di masa lalu kita semua telah menyaksikan bagaimana ia menggantung warga-warga sipil di jalanan, dan membunuh lebih dari seribu orang dalam jangka waktu satu hari saja. Sekarang kita melihat bahwa kekuatan-kekuatan rezimnya telah tiba di perbatasan kota. Kami sadar jika kami menunggu satu hari saja lebih lama maka Benghazi—kota yang ukurannya hampir sama dengan kota Charlotte di AS— bisa dihabisi dalam sebuah pembantaian yang bisa mengguncang seluruh kawasan tersebut serta menodai hati nurani dunia,” lanjut Obama.
Lalu Obama menjelaskan sikapnya terhadap Libia:
“Membiarkan hal itu terjadi tidaklah sesuai dengan kepentingan nasional kita. Saya menolak untuk membiarkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya sembilan hari yang lalu, setelah berkonsultasi dengan pimpinan kedua partai di Kongres, saya mengotorisasikan sebuah aksi militer untuk menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi dan untuk mengimplementasikan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973.
Kami menyerang pasukan-pasukan Rezim yang bergerak mendekati Benghazi untuk melindungi kota tersebut dan menyelamatkan penduduknya. Kami menyerang pasukan Qadzafi di kota Ajdabiya yang bertetangga, sehingga kekuatan oposisi dapat memukul mundur pasukan tersebut. Kami juga menyerang alat-alat pertahanan udara miliknya demi membuka jalan untuk ditegakannya Zona Larangan Terbang. Sasaran kami adalah tank-tank dan aset-aset militer yang telah mengepung dan mencekik kehidupan di berbagai kota. Dan malam ini, saya bisa laporkan bahwa kami telah berhasil menghentikan gerakan maut dari kekuatan Qadzafi.”
Dan dalam menjelaskan alasan moral mengapa AS melakukan intervensi terbatas pada Libia, Obama menjelaskan, “Mengabaikan tanggung jawab Amerika sebagai pemimpin dan–lebih dalam lagi–tanggung jawab kita terhadap sesama manusia dalam situasi ini merupakan suatu pengkhianatan terhadap jati diri kita. Sebagian negara mungkin bisa saja tutup mata terhadap kekacauan yang terjadi di negara lain. Namun, Amerika Serikat itu berbeda. Sebagai Presiden, saya menolak untuk menunggu hingga adegan-adegan pembantaian dan kuburan massal terjadi sebelum mengambil tindakan.”
Sementara mengenai krisis Suriah yang telah menyebabkan 100.000 lebih korban jiwa dan jutaan pengungsi serta penggunaan senjata kimia oleh rezim untuk menyerang kota-kota yang diduduki pihak oposisi, Obama belum juga menggelar aksi militer meski hanya terbatas untuk melindungi rakyat sipil. Obama beralasan bahwa “kita tidak bisa menyelesaikan perang saudara orang lain dengan kekuatan [militer].” Sementara mengenai penggunan senjata kimia di Suriah seolah-olah Obama memakluminya dan menyatakan hal itu bukanlah suatu yang baru dalam sejarah dunia, terkhusus pada Perang Dunia I dan II, meski Obama sendiri menyebut tindakan itu sebagai ‘pembantaian yang sangat mengenaskan’.
Pertanyaannya adalah di mana pernyataan “Sebagian negara mungkin bisa saja tutup mata terhadap kekacauan yang terjadi di negara lain. Namun, Amerika Serikat itu berbeda. Sebagai Presiden, saya menolak untuk menunggu hingga adegan-adegan pembantaian dan kuburan massal terjadi sebelum mengambil tindakan”?. Krisis Suriah bukan sekedar ‘adegan-adegan pembantaian dan kuburan massal’ yang ‘akan terjadi’ namun ‘sudah terjadi’ dengan menelan korban lebih dari 100.000 jiwa.
AS tidak hanya “menunggu satu hari saja lebih lama”, namun menunggu selama lebih dari tiga tahun. Bahkan lebih dari itu, AS ‘menolak’ untuk menggelar aksi militer meski hanya terbatas demi menyelamatkan ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Suriah. Dengan membandingkan antara Libia dan Suriah dan sikap Obama terhadap keduanya maka pernyataan bahwa Obama adalah seorang pragmatis sebagaimana yang disebutkan Ross memiliki argumentasi yang kuat.
Namun, akhir-akhir ini pemerintah Obama mulai mengubah kebijakan politik luar negerinya. Terkhusus dalam aspek militer secara aktif, banyak politikus dan peneliti AS yang mengusulkan agar AS menggelar aksi militernya -meski hanya terbatas- di Suriah, dengan tetap menjalankan aspek diplomasi politik dan kemanusiaan. Tidak ketinggalan bahwa penyelesaian konflik Suriah diselaraskan dengan program besar Perang Melawan Terorisme AS mengingat bahwa kelompok yang beraliansi kepada Al-Qaidah cukup berperan dalam pihak oposisi dan rakyat Suriah.
Langkah-Langkah Stratejik AS untuk Suriah
a. Bebaskan Suriah dari penggunaan senjata kimia dan laksanakan Komunike Jenewa 2012
Menurut Andrew Tabler, salah seorang peneliti senior Washington Institute, rasa keprihatinan akan tumbuh dalam pemerintah AS bahwa upaya untuk menghancurkan pemegang saham senjata kimia Suriah "telah serius mogok dan terhenti," bukan hanya karena Suriah diduga berada di belakang layar, tetapi juga karena Damaskus kini menuntut situs senjata kimianya berstatus "tidak aktif" bukan "fisik hancur" seperti yang tertera dalam Konvensi Pelarangan Senjata Kimia.
Perkembangan ini, terutama setelah konsolidasi kontrol rezim di bagian barat Suriah, menunjukkan bahwa rezim Asad menyeret kakinya pada pemenuhan kewajiban negara dalam rangka mencapai konsesi dari Amerika Serikat dan London serta 11 negara lain mengenai pembentukan badan transisi di Suriah. Dalam rangka untuk melawan tekanan seperti itu, Barat harus membalikkan keadaan pada langkah pertama Asad dan menggunakan kepatuhan Suriah terhadap Konvensi Senjata Kimia sebagai pengaruh untuk mendapatkan kepatuhan Asad terhadap transisi di Suriah seperti yang tertera dalam Komunike Jenewa 2012.
Untungnya, bagi Amerika Serikat dan Kanada, baik kepatuhan Suriah dengan aturan yang ditetapkan oleh Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) dan Komunike Jenewa sudah diabadikan dalam satu resolusi Dewan Keamanan PBB (2118) yang tercantum pada Bab VII, langkah-langkah tersebut sebagai sanksi dan penggunaan kekuatan setelah berlalunya resolusi Bab VII berikutnya. Dalam hal kemungkinan veto oleh Rusia atau Cina, ancaman kredibel sanksi tambahan dan penggunaan kekuatan harus digunakan untuk memastikan Asad mengikutinya melalui kewajibannya untuk menyerahkan gudang senjata kimia Suriah.
b. Dorong akses dan evakuasi kemanusiaan
Situasi kemanusiaan di Suriah memburuk dengan cepat, dan rezim Asad terus menggunakan kampanye ‘melaparkan’ yang melanggar tidak hanya Konvensi Jenewa tetapi juga hukum humaniter internasional. Oleh karena itu, dukungan terhadap resolusi Dewan Keamanan saat ini yang mengusulkan mengenai akses kemanusiaan di Suriah (yang juga menekankan pelaksanaan Komunike Jenewa) harus terus dilakukan.
c. Perangi terorisme
Memerangi terorisme harus terjadi pada beberapa tingkat, termasuk rencana dalam hubungannya dengan sekutu regional untuk mendukung unsur-unsur oposisi moderat dengan mengorbankan ekstremis. Tetapi, itu saja tidak akan cukup.
Rencana juga harus dikembangkan menggunakan aset offset (misalnya, rudal) dan drone untuk memukul semua faksi yang ditunjuk sebagai kelompok teroris yang beroperasi di Suriah, tanpa memedulikan tujuan mereka berjuang, baik yang menargetkan Kanada dan AS, atau target internasional lainnya.
Pendekatan seperti itu akan menahan dan menghambat Asad untuk menggunakan senjata kimia, kemungkinan beralihnya senjata kimia tersebut pada aktor-aktor non-negara dan kelompok-kelompok teroris, dan penggunaan kelaparan dan pengepungan oleh sebagai bentuk peperangan. Hal ini juga akan memuat, mengasingkan, dan membantu menghilangkan kelompok teroris yang beroperasi di Suriah antara kedua oposisi dan konstelasi kekuatan membantu untuk menopang Asad.
Secara lebih detail, Clint Watts telah menjelaskan bagaimana perang terhadap terorisme ini dijalankan. Berikut saran-saran dan rekomendasi dari Watts :
(i) Kontraterorisme Umum yang dimaksud adalah:
Dalam militer, tujuan operasi menyediakan sense (kepekaan) keseluruhan arah bagi unit-unit untuk mengejar target negara yang diinginkan. Tujuan operasi dapat menggambarkan program aksi, keterbatasan metode, dan tugas utama untuk mencapai misi. Ia juga bisa bertindak sebagai pedoman bagi instansi bawahan dan praktisi untuk mengembangkan operasi mereka sendiri tanpa menghambat tindakan mereka; terutama ketika situasi musuh sangat dinamis seperti lanskap terorisme Barat yang ditemui hari ini.
Kemudian Watts mengajukan empat rekomendasi untuk apa yang mungkin dimasukkan AS dan Barat ke dalam tujuan kontraterorisme:
(1) Biarkan kelompok jihad saling berkompetisi. Jika Al-Qaidah dan afiliasinya atau mantan yang ingin bersaing dan saling membunuh, Barat tidak boleh menghalangi mereka.
Jika ada tindakan yang dapat diambil untuk mendorong persaingan kelompok teroris, dengan segala cara kita harus menempuh cara itu. Namun, maksud umum ini hanya bekerja dalam jangka panjang jika Barat dan khususnya AS mempertahankan kemampuan intelijen yang cukup untuk benar-benar memahami bagaimana kelompok-kelompok tersebut saling bersaing dan kapan kelompok-kelompok ini satu sama lain mungkin melakukan serangan terhadap Barat.
Selain itu, AS tidak boleh menipu diri sendiri dengan percaya bahwa tidak akan ada gunanya bagi tindakan kontraterorisme. Untuk masa mendatang, Barat harus mengganggu kelompok-kelompok teror yang akan terus merencanakan serangan; yaitu cabang-cabang operasi eksternal "Garda Tua” Al-Qaidah.
(2) Siapkan untuk skenario terburuk. AS dan Barat harus mempersiapkan diri sekarang untuk menghadapi dua skenario "paling berbahaya" yang mungkin timbul.
Pertama, apa yang akan AS dan mitra-mitranya lakukan jika dua sumber utama jihad, "Garda Tua" Al-Qaidah dan tim ISIS, bersaing sedemikian rupa sehingga mereka saling mengejar secara paralel, meningkatkan serangan-serangan terhadap sasaran-sasaran Barat?
Kedua, apa yang akan AS dan mitra-mitranya lakukan jika proksi "Garda Tua" Al-Qaidah di Suriah bertemu untuk memfokuskan energi mereka untuk menyerang Israel?. Barat seharusnya tidak duduk kembali dan berharap bahwa skenario paling berbahaya ini tidak muncul. Daripada terjebak dalam situasi tersebut, AS sekarang harus membuat rencana untuk bagaimana kita akan melakukan intervensi untuk menggagalkan skenario yang paling berbahaya ini.
(3) Hindari intervensi asing dan pembangunan bangsa.
Barat telah menyadari pada dekade terakhir, bahwa intervensi asing skala besar yang diikuti oleh pembangunan bangsa umumnya telah gagal untuk membasmi teroris. Intervensi asing menegaskan pembenaran ideologis jihad untuk melawan Barat, hal itu sangat mahal dan akhirnya menghasilkan pengelola negara yang lemah sehingga menciptakan tempat operasional yang aman bagi teroris.
Watts yakin bahwa Barat telah belajar dari pelajaran ini. Pendekatan kontraterorisme yang lebih baik atas cakrawala saat ini sedang berlangsung di Tanduk Afrika, di mana dukungan militer dan intelijen terbatas diberikan kepada pasukan kontraterorisme yang mengejar tujuan-tujuan yang terbatas.
(4) Mempertahankan kemampuan intelijen di semua bidang.
Mempertahankan kemampuan intelijen AS untuk memahami kebanyakan ancaman teroris yang AS hadapi tidak pernah lebih penting. Namun, pemerintah AS telah berusaha keras untuk memegang kemampuan ini karena pembelotan Edward Snowden. Pemerintah AS harus terus berjuang untuk kemampuan ini, dan publik Amerika harus memahami bahwa cara terbaik untuk melindungi orang Amerika di era digital adalah untuk memanfaatkan keunggulan kita dalam pengawasan teknis. Amerika, untuk membuat Anda aman, pemerintah AS mungkin berakhir belajar sedikit tentang kehidupan elektronik Anda. Keamanan adalah suatu yang saling tarik-menarik, maka berhadapanlah dengan hal itu.
(ii) Kontraterorisme yang spesifik adalah:
Sebuah keseimbangan halus antara tindakan kontraterorisme harus diusahakan bergerak maju dari tahun 2014.
Beberapa orang yang telah lelah dari Perang Global Melawan Teror selama beberapa tahun mungkin percaya kita harus melakukan sedikit dari pada tidak melakukan apa-apa pun di bidang kontraterorisme. Ini akan tampak bodoh karena ancaman terorisme belum menguap, tapi agak berubah.
Beda lagi dengan yang berpendapat sebaliknya, bahwa Al-Qaidah (apa pun bentuknya) lebih kuat dari sebelumnya dan memerlukan tindakan militer yang lebih cepat untuk menghentikan mereka. Ini akan sama-sama bodohnya dengan pandangan bahwa Jihadis (yang ditulis dengan huruf besar) tidak akan pernah merusak diri sendiri seperti itu. Secara agresif memajukan arah kontraterorisme militer kemungkinan akan menggembleng faksi jihad yang berbeda secara bersama-sama daripada menjaga mereka untuk saling bersaing.
Untuk secara efektif keseimbangan antara dua kutub ini, Watts menyarankan hanya melakukan beberapa tindakan kontraterorisme. Banyak tindakan pemerintah AS ini yang sudah cukup baik, (di antaranya); perbaikan besar-besaran atas bagaimana kontraterorisme dilakukan satu dekade yang lalu dan pemberian penghargaan pada mereka yang gesit mengejar Al-Qaidah hari ini.
Tidak ada tindakan yang mungkin lebih penting saat ini daripada mendapatkan kontrol dari uang dan sumber daya yang mengalir ke Suriah dan tempat berlindung yang aman bagi teroris lainnya. Meski jihadi bertengkar satu sama lain, namun asalkan sumber daya tetap konstan, kelompok-kelompok ini (yaitu "Garda Tua" Al-Qaidah, Tim ISIS, dan pemain baru lainnya di daerah lain) pada akhirnya akan membangun kapasitas yang cukup untuk melakukan serangan terhadap Barat.
Ideologi ekstrem yang kekurangan sumber daya akan menjadi lebih kecil dari sebuah sekte dari waktu ke waktu. Namun, Al-Qaidah dan varian jihad saat ini bertahan karena mereka mempertahankan pasokan sumber daya dari Timur Tengah.
Hari ini, siapa saja bisa mendapatkan pada media sosial orang yang tersedia secara terbuka dan menyumbangkan uang ke jihadi di Suriah atau menonton donor uang besar di Arab Saudi, Kuwait, dan arak-arakan dukungan Qatar untuk faksi jihad favorit mereka. Pemerintah AS telah berusaha mengupayakan untuk mengganggu aliran ini dan Arab Saudi tampaknya sadar akan bahaya pukulan balik dukungan keuangan dan materiil warga mereka untuk jihad Suriah.
Salah satu alternatif yang tampaknya bisa diupayakan adalah dengan memanfaatkan uang mengalir untuk memilih kelompok-kelompok Islam untuk melawan kelompok jihadi. Apapun yang akan menjadi akhir tindakan spesifik itu, Watts berpendapat bahwa melawan pembiayaan teror belum pernah menjadi elemen penting dari strategi kontraterorisme AS.
Watts percaya bahwa strategi kontraterorisme AS harus fokus pada "Garda Tua" al-Qaeda yang elemen operasi eksternalnya masih tetap berkomitmen untuk menyerang AS dan Barat. Unsur-unsur kinetik kontraterorisme, operasi militer yang didukung oleh intelijen yang kuat dan bila mungkin penegakan hukum, harus terus dijalankan karena mereka dalam beberapa tahun terakhir, gesit menargetkan elemen yang paling berbahaya Al-Qaidah di manapun mereka berada.
Jika memungkinkan, Barat harus menangkap dan mencoba menyeret operator Al-Qaidah ini ke meja pengadilan. Ketika ancaman bagi Barat sudah dekat dan upaya penangkapan tidak memungkinkan, operasi militer harus dijalankan. AS telah meningkatkan proses triase kontraterorisme ini secara dramatis dalam dekade terakhir dan hal itu perlu untuk dipertahankan pada tingkat intensitasnya saat ini di masa mendatang.
Ke depan, kampanye informasi AS dalam kontra-terorisme harus mempertimbangkan untuk mengarahkan kembali narasi Al-Qaidah dari 'musuh jauh'. Hari ini, musuh-musuh jauh nyata jihadi di Suriah adalah Rusia dan Iran. Rusia telah memprakarsai kembali cara dan tindakan kekaisaran sebagai penyangga intervensi Barat di Suriah. Iran menyediakan sumber daya, pasukan, dan kemampuan teknologi untuk rezim Suriah.
Untuk sikap sektarian ISIS, Iran adalah musuh alami jauh. Untuk "Garda Tua" Al-Qaidah, Rusia adalah musuh jauh pertama mereka di Afghanistan; mari kita dorong mereka untuk kembali menggemakan kampanye tersebut. Apakah AS suka atau tidak, Rusia dan Iran terus menargetkan AS dalam kampanye informasi yang disengaja. Mengapa tidak seharusnya AS mengarahkan beberapa kebencian jihad kepada orang-orang yang bertangan kotor (tangannya berlumuran darah) dalam konflik Suriah, yaitu: Rusia dan Iran?
Kebangkitan cepat jaringan pejuang asing ke Suriah sebagian besar datang dari migrasi pejuang asing besar kedua ke Irak sekitar tahun 2004-2010. Mereka yang selamat dari medan perang Irak saat ini membantu memfasilitasi anggota baru ke Suriah dan telah menyediakan bahan bakar untuk ISIS yang merupakan pecahan dari inti Al-Qaeda. Perkiraan umum dari jumlah keseluruhan dari pejuang asing di Suriah yang digembar-gemborkan di media adalah 10.000.
Thomas Hegghammer memperkirakan bahwa 1% sampai 10% dari pejuang asing kembali ke rumah untuk melakukan kekerasan. Sulit untuk mengetahui berapa banyak dari 10.000 pejuang asing hari ini akan bertahan dan kembali ke rumah, tapi Watts harapkan di suatu tempat antara 750-1000 anggota pasukan tempur asing hari ini akan berkomitmen untuk melakukan kekerasan terhadap Barat pasca-Suriah. Selama jihad Afghanistan, sedikit tidak ditemukan cara untuk melacak di mana akan datangnya sumber pejuang asing di masa depan.
Enam tahun yang lalu, AS bisa melihat di mana suplai pejuang asing hari ini akan terjadi berdasarkan data Al Qaidah dalam database sumber daya manusia Irak yang berhasil ditemukan oleh Pasukan AS di Sinjar, Irak. Hari ini, bagaimanapun, merupakan bagian penting dari seorang pejuang asing Suriah adalah menjaga halaman Facebook dan akun Twitter.
Jika negara-negara Barat tidak menggunakan informasi yang tersedia secara terbuka ini untuk melacak dan memperkirakan risiko kekerasan sekembalinya jihadi, mereka adalah bodoh. Hari ini media sosial telah membantu memberdayakan rekrutmen pejuang asing untuk berperang di Suriah, mengapa AS tidak menggunakan informasi yang sama untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi banjir pejuang asing ketiga pasca Suriah?
Salah satu dilema yang lebih membingungkan pada periode pascahegemoni Al-Qaidah adalah untuk memfokuskan upaya untuk mengeliminasi pemimpin kunci Al-Qaidah. Orang akan berharap Aiman Azh-Zhawahiri menjadi target paling penting bagi upaya kontraterorisme Barat, tetapi ISIS menolak Azh-Zhawahiri dan rekam jejaknya sejak kematian Bin Laden. Ini menunjukkan bahwa kematian Azh-Zhawahiri atau penangkapannya mungkin benar-benar membantu dan lebih menyakiti kesatuan jihad global.
Pernyataan Azh-Zhawahiri beberapa pekan terakhir ini menggambarkan betapa terbatasnya kekuasaannya adalah faksi yang bersaing jihad itu. Sementara itu, Watts yakin Barat dan mitranya di Pakistan akan menangkap atau mengeliminasi Azh-Zawahiri pada setiap titik yang memungkinkan, karena dia pasti sudah mempersiapkan plot serangan terhadap Barat atau Israel, pemimpin yang paling penting bagi "Garda Tua" Al-Qaidah dan jihad secara keseluruhan.
Selanjutnya adalah Nasir Wuhayshi, pemimpin AQAP di Yaman dan Wakil Komandan Umum Al-Qaidah. Wuhayshi tetap berkomitmen untuk menyerang AS, dia akan lebih efektif sebagai pemimpin Al-Qaidah global dan sangat dihormati oleh semua pangkat dan elemen jihadi sejak dari Sahil (Afrika) hingga ke Asia Selatan. Jika seseorang memiliki kemampuan untuk menyatukan semua jihadis, ISIS dan faksi independen lainnya, maka orang itu adalah Wuhayshi.
Jadi, Watts merekomendasikan untuk memfokuskan upaya ‘pemenggalan kepala’ kepemimpinan pada Wuhayshi dahulu demi mencegah munculnya potensi Al-Qaidah yang lebih kuat di masa depan. Menghilangkan Wuhayshi kemungkinan akan lebih melepaskan gerakan jihad yang sudah merambah dalam berbagai arah.
Jabhah Nushrah dan jaringan "Garda Tua" yang merupakan penghubung antara Al-Qaidah antara Jabhah Islamiyah harus menjadi fokus kontraterorisme di Suriah. Jabhah Nushrah di masa depan akan menjadi kendaraan untuk melakukan serangan terhadap Barat dan Israel setelah konflik Suriah. Dengan langsung menyasar Jabhah Nushrah pertama kali, AS akan menegaskan bahwa dukungan untuk doktrin Al-Qaidah yang menargetkan AS sebagai musuh jauh akan menghasilkan tindakan kontraterorisme langsung.
Secara keseluruhan, dalam hal afiliasi Al-Qaidah, Watts menyarankan prioritas usaha kontraterorisme, yaitu: (1) AQAP di Yaman, (2) Jabhah Nushrah di Suriah, dan (3) Al-Qaidah di Pakistan Tengah. Karena sejumlah alasan, Watts mungkin berpikir mengabaikan ancaman kemunculan ISIS.
Jika Barat cukup beruntung untuk melihat secara lengkap runtuhnya "Garda Tua" Al-Qaidah, ISIS kemungkinan besar masih merupakan ancaman terhadap Barat dari waktu ke waktu jika diizinkan untuk membuat tempat berlindung yang aman dan berkelanjutan di Irak Barat. Namun, Watts percaya ISIS mungkin menyadari bahwa selama ini mereka menghindar untuk masuk dan berhadapan langsung dengan AS dalam waktu dekat, mereka dapat menghindari menerima seteguk rudal yang mungkin menyalip ambisi mereka mendirikan sebuah Negara Islam. Selain itu, penargetan ISIS jelas lebih sektarian,
Jadi, mengapa tidak membiarkan penduduk lokal, mitra, atau bahkan musuh seperti Iran berurusan dengan kelompok naik ini? Munculnya ISIS harus terus dipantau dan jika mereka bergeser target mereka terhadap Barat maka Barat harus bergerak untuk mencegah mereka. Untuk sementara ini, fokus memukul keras Jabhah Nushrah afiliasi yang berkomitmen untuk mewujudkan tujuan "Garda Tua" Al Qaeda.
Tindakan Kontraterorisme Barat yang Bisa Direduksi
Ke depan, menurut Watts, ada dua wilayah di mana AS bisa mengurangi upaya kontraterorismenya.
Ideologi jihad, seperti komunisme selama tahun 1980, sekarang ini telah mengalami kegagalan karena kelemahan dan kekurangan ideologi itu sendiri. Pemerintah AS harus terus menyangkal informasi Al-Qaidah yang salah tentang Amerika Serikat dan menyebarkan contoh kemunafikan Al-Qaidah dan pertikaian dalam jajarannya, tapi menghindari upaya untuk menantang ideologi Al-Qaidah atas dasar agama.
Upaya pengembangan ini sangat mahal dan—sepengetahuan Watts—tidak menunjukkan efek yang bisa diukur dalam merusak Al-Qaidah dan kelompok-kelompok jihad lainnya. Sebaiknya mencurahkan sumberdaya pembangunan yang terbatas di lokasi yang pada akhirnya dapat berbagi nilai-nilai Barat dan tuan rumah dasar-dasar ekonomi yang diperlukan dan komponen masyarakat sipil yang demokrasi bisa berkembang; tidak pada tempat berlindung yang aman bagi teroris yang merasa aneh dengan prinsip-prinsip demokrasi, tidak berlanjutannya pertumbuhan dan nilai di masa depan dan berkiblat ke Barat hanya melalui lensa kontraterorisme.
Kadang-kadang, mungkin ada alasan yang baik untuk mengejar proyek-proyek pembangunan yang terbatas dalam mendukung tujuan kontraterorisme di lingkungan lokal yang merupakan titik panas untuk perekrutan teroris. Tapi, skalanya harus kecil dan ruang lingkup terfokus. Misalnya, proyek pembangunan di Nairobi, Kenya untuk menggagalkan perekrutan Asy-Syabab (Somalia) yang mungkin masuk akal jika diintegrasikan dengan upaya pemerintahan yang demokratis dan mitra pendukung nilai-nilai demokrasi AS. Namun, berusaha untuk mereformasi sistem peradilan negara-negara Afrika Utara untuk melemahkan simpati Al-Qaidah, sebuah ide yang pernah saya dengar dalam konteks kontraterorisme, hal itu tidak bisa diterima.
4. Pil pahit ketika saudara memerangi 'saudara'nya
Perselisihan dan pertikaian antara sesama faksi jihad, terkhusus antara Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) dan Jabhah Nushrah (JN) serta faksi jihad lainnya dianggap sebagai permasalahan internal utama mujahidin Suriah. Beberapa pengamat beranggapan bahwa kunci untuk menyelesaikan perselisihan tersebut berada di tangan Aiman Azh-Zhawahiri, karena muara itu semua berawal dari perselisihan antara ISIS dan JN.
Anggapan mereka salah. Setelah Azh-Zhawahiri menjelaskan hal itu semua pada audio wawancara eksklusif pada April yang diduga sempat bocor sebelum resmi dirilis oleh As-Sahab Media, dan juga pesan audionya dalam menanggapi permintaan klarifikasi Dr. Hani As-Siba’i mengenai fakta seputar perselisihan antara ISIS dan JN.
Pada audio wawancara tersebut, Azh-Zhawahiri menjelaskan dua alasan mengapa Al-Qaidah mengeluarkan ISIS dari afiliasi resminya. Dua alasan pokok tersebut yaitu: (1) perbedaan manhaj (pendekatan) antara Al-Qaidah dan ISIS, dan (2) ISIS tidak iltizam (konsisten) terhadap dasar-dasar amal jama’i.
Dalam penjelasannya, Azh-Zhawahiri menyebutkan bahwa manhaj Al-Qaidah dalam menuju tujuannya di antaranya adalah: memfokuskan perlawanan terhadap AS, Yahudi, dan Zionis serta mengajak umat Islam untuk berjihad melawan mereka: sebisa mungkin menjauhi pertumpahan darah dengan umat Islam; berusaha menyatukan umat di bawah kalimat tauhid; dan bekerja mengembalikan khilafah islamiyah ke pangkuan umat dengan khalifah yang mereka ridhai.
Sementara tidak komitmennya ISIS yang dimaksud adalah seperti: mendirikan Daulah Islam Irak dan Syam tanpa izin dari qiyadah; masih melanjutkan proyek tersebut meski telah diminta untuk menundanya; dan tidak patuh pada qiyadah atas keputusan-keputusan yang telah ditetapkannya seperti keputusan perintah untuk menghentikan perang fitnah antara internal jihadi. Adapun dalam klarifikasi permintaan Dr. Hani As-Siba’i, Azh-Zhawahiri lebih menonjolkan bukti-bukti bahwa ISIS memang bagian dari afiliasi resmi Al-Qaidah.
Dengan adanya dua pernyataan Azh-Zhawahiri tersebut, pihak ISIS juga turut menanggapi. Pada pernyataan resmi melalui juru bicaranya, Abu Muhammad Al-Adnani, sehari sebelum wawancara dengan Azh-Zhawahiri dipublikasikan, dengan tidak melalui media resminya, ISIS menegaskan bahwa ketidakpatuhannya kepada Al-Qaidah Pusat disebabkan manhaj pemimpinnya sekarang (Azh-Zhawahiri) yang berbeda dengan pemimpin sebelumnya (Usamah bin Ladin).
Dari sini, harapan agar kedua faksi ini untuk berdamai belum dapat terwujud hingga hari ini. Bahkan pada wilayah di mana kedua faksi jihadi ini memiliki kekuatan seimbang, bentrok senjata antara kedua faksi tak terelakkan.
Epilog
Pada awal Mei 2013, Aiman Azh-Zhawahiri dalam sebuah pesan audio yang berjudul Syahaadatu li-Haqni Dimaa`i l-Mujaahidiina bi sy-Syaam (Kesaksian Demi Meredam Tumpahnya Darah Mujahidin Syam) menasehati dan meminta agar Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) untuk memfokuskan diri di Irak untuk melawan musuh Islam dan Ahlus Sunnah (rezim Irak) di sana.
Seruan dan harapan Azh-Zhawahiri kepada ISIS tersebut barangkali masih banyak dipahami dalam konteks perselisihan antara Al-Qaidah Pusat dan ISIS. Sebenarnya, Azh-Zhawahiri telah menawarkan suatu strategi brilian untuk mempermalukan AS di Irak dan menarik mereka kembali ke pusaran perang berkepanjangan. Bagaimana tidak? AS keluar dari Irak dengan mengklaim sebagai pemenang perang dengan rivalnya, Al-Qaidah.
Namun, tidak lama setelah penarikan mundur pasukan AS, musuh yang dulu mereka klaim berhasil dikalahkan telah berhasil merangsek masuk ke Fallujah, dan kini telah menguasai Mosul yang jarak hanya tinggal beberapa kilometer lagi dari Baghdad, ibu kota Irak. Kota-kota yang sekitar tujuh tahun mereka pertahankan ternyata sedemikian mudah direbut oleh afiliasi Al-Qaidah. Warga AS yang keluarganya menjadi korban di Irak merasa terpukul, sementara para veterannya histeris agar pengorbanan mereka tidak dibiarkan sia-sia dan meminta kota-kota tersebut direbut kembali. Inilah riil perang yang dikehendaki Al-Qaidah.
Al-Qaidah beranggapan bahwa perang sejati mereka adalah ketika mereka berhadapan dengan AS, sementara selainnya merupakan batu loncatan mereka untuk menarik AS terjun ke dalam pusaran perang. Untuk itu, selama AS masih mampu untuk mengirimkan pasukannya, Al-Qaidah tidak mau latah mengontrol penuh suatu wilayah atau negara yang menguras potensi dan finansial mereka, dengan tetap menyosialisasikan ide-ide perlawanan mereka kepada umat Islam.
Sepertinya Al-Qaidah cukup sadar—sebagaimana yang disebutkan Abdullah bin Muhammad—bahwa perang sekarang ini bukan sekedar memperebutkan suatu wilayah dan mendeklarasikan bahwa perang telah usai. Namun, titik tekannya lebih pada kemampuan untuk survive (bertahan) agar mampu melanjutkan perang hingga musuh utama mampu dilumpuhkan.
Wallahu a’lam.
[Ali Sadikin/Syamina.org]