View Full Version
Selasa, 02 Sep 2014

Pengungkungan Militansi Ummat Islam antara Sejarah Nabi SAW dan Tantangan Kedepan

Shahabat Voa Islam yang dimuliakan Alloh Jalla wa ‘Alaa,

Prof. Dr. Husin Mu’nis menyatakan perlunya reformulasi sejarah perjuangan Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam yakni upaya merumuskan kesuluruhan kegiatan dan dan kebijakan Rasululloh ‘alaihis sholatu was salam dalam satu rangkaian garis pertalian antara satu kegiatan/kebijakan dengan kegiatan/kebijakan lainnya. (Mu’nis, 1988)

Pendekatan kajian sirah Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang, menurut Sejarawan asal Mesir ini terjebak pada polarisasi 2 (dua) kutub, yakni studi historis yang hanya terbatas pada koreksi nama, tanggal peristiwa, penambahan paragraph berdasarkan hadits-hadits Nabi dan penjelasan kosa kata. Sementara disisi lain, ada pendekatan kajian sejarah Nabi yang bukan penelitian sejarah, namun melainkan sekedar lintasan pemikiran, refleksi ataupun ekspresi perasaan yang ditulis dalam gaya sastra.

Sehingga pengkajian sejarah Nabi , menurutnya, mengalami stagnasi dan Sirah Nabi tidak lagi merupakan salah satu sarana (pokok) untuk mengenal dan memahami Diinul Islam. Tetapi lebih sesuai sebagai bahan ceramah dan pidato semata. Padahal mencatat peristiwa-peristiwa dalam sejarah Nabi dengan tepat dan teliti adalah langkah awal dan mendasar untuk mempelajari sejarah Islam secara obyektif, demikian jelasnya.

Malah, menurut hemat kami, di Indonesia yang amat kental tradisi Maulid Nabi pun telah mengkristalkan suatu penyederhanaan Sirah Nabi hanya sebagai bacaan ritual dalam perayaan yang tidak ada dasar syar’inya itu. Hampir tanpa kajian dan pendekatan ilmiah sedikitpun. Hal ini mengakibatkan gagalnya ummat Islam dalam memahami Diinul Islam secara utuh dan menyeluruh.

Misalnya saja, dalam acara Maulid Nabi sering dipampangkan ayat Al Qur-anul Kariim soal keteladanan Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam , surat Al Ahzaab: 21. Para asatidzah yang menjadi rujukan dan berceramah dalam perayaan itu justru kebanyakan dari mereka kehilangan konteks sejarah (asbabun nuzul) dari ayat tersebut.

Mereka lupa (pura-pura lupa) bahwa ayat tersebut diturunkan pada saat terjadinya pengepungan pasukan Koalisi kuffar dari kalangan paganis (penyembah materi) dan munafiqqin serta pengkhianatan Yahudi. Artinya keteladanan yang mesti diajarkan kepada kaum muslimin mestinya harus menukik pada konteks peperangan Nabinya dan tidak dilarikan kesana-kemari sehingga justru mengkaburkan pemahaman Islam yang sebenarnya.

Terbukti, gerakan deradikalisasi dari intitusi dan aparat Negara berhasil mengkerdilkan makna Islam sebagai (agama) rahmatan lil ‘alamiin. Diinul Islam versi deradikalisasi ini menciutkan Diinul Islam hanya sebagai agama ritual dan etika sopan-santun semata. Mereka berhasil menyesatkan ummat bahwa ketinggian akhlaq kaum muslimin bisa sekedar dicapai dengan bertoleransi tanpa batas, menihilkan aqidah dan membonsai syariah.

Kewajiban berperang untuk memuliakan agama justru kemudian dikotakkan dalam bingkai kebangsaan yang jelas keliru baik dari segi historis maupun esensi nilai Islam itu sendiri. Belum lagi apa yang disebut sebagai kebijakan lokal seringkali dipaksakan mendominasi praktek bermasyarakat ketimbang ajaran Islam itu sendiri. Adat-istiadat dan nilai-nilai kesukuan seringkali dimenangkan dengan mengorbankan ajaran dan nilai kebenaran baku dalam tuntunan aqidah dan syariah Islam.

Pemerintah dibantu para pakar dan tokoh serta sebagian ulama kaum muslimin seakan hendak menghapus fakta sejarah Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam, bahwa dalam rangka menegakkan fungsi Islam untuk menebar rahmat (kasih sayang) ke seluruh penjuru alam dan segala lapisan manusia (QS. Saba: 28), Nabi yang amat kita cintai itu telah melaksanakan kewajiban syariah yakni berperang sebanyak tidak kurang dari 70 (tujuh puluh) kali, baik berupa ekspedisi militer umum (ghazwah) maupun ekspedisi militer kecil dan terbatas (sariyah).

Peperangan beruntun tersebut diselenggarakan dalam tempo 7-8 tahun setelah hijrah kubro hingga wafatnya beliau ‘alaihis sholatu was salam. Artinya dalam tempo setiap 1,5 bulan setelah terbentuknya Negara Madinah pada tahun kedua Hijrah hingga sempurnanya Risalah Islam (hajji wada’), beliau ‘alaihis sholatu was salam menggelar perang. Dimana Risalah Islam sejak diutusnya para Nabi dan Rasul 'alaihimus salam, yang begitu tinggi nilai substansial dan peradabannya menjadi paripurna di masa kenabian beliau hanya dalam waktu 23 tahun saja.

Kewajiban syariah (berperang) ini juga melingkupi tindakan hukuman berat kepada para pengkhianat perjanjian dan penista agama, juga korespondensi antar negara yang dilanjutkan tindakan militeristik kepada para penguasa Negara-negara asing untuk mengakui keabsahan eksistensi Negara Madinah yang dibangun atas dasar amanah Risalah Ilahiyah.

Catatan-catatan sejarah peperangan Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam juga menunjukan ketegasan sikap dan lurusnya kebijakan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam terhadap musuh-musuh Islam. Kerasnya sikap Nabi Muhammad ‘alaihis sholatu was salam terhadap Musailamah Al Kadzab dengan memerangi secara umum baik sang pemimpin dan pengikutnya yang telah murtad tanpa pandang bulu. Begitu juga hukuman kepada Yahudi yang menghina muslimah dan membunuh seorang pemuda muslim, pembenaran Rasul ‘alaihis sholatu was salam terhadap pembunuhan seorang perempuan yang selalu mencela dan merendahkan Islam oleh Umeir ibn Uday ibn Khirsyah ibn Zaid. (lihat Mu’nis, Adigna MU/1999, hal. 140)

Akhirnya, dari secuil realitas dan kajian tentang Sirah Nabawiyah ini, kita sadar bahwa pemerintahan dan masyarakat sekuler yang hanya menjadikan agama (baca: Islam) sebagai suplemen kehidupan dan menentang jika Islam dijadikan Minhaajul Hayah (the way of life) adalah juga didukung oleh ‘kebodohan’ ummat dan ‘kepengecutan’ ulamanya. Penyakit al Wahn (hubbud dunia wa karohiyatul qital) inilah yang mengakibatkan meluasnya paham-paham sesat dan kokohnya ideology-ideologi bathil di negri yang dahulunya diperjuangkan kaum muslimin ini.

Para pekerja dakwah Islamiyah, baik itu du’at, jurnalis, kiyai dan sebagainya, mestinya menyadari bahwa tindakan rendah dalam mencari sesuap nasi dan sekepal lauk serta fasilitas duniawi lainnya dengan ‘memperdagangkan’ risalah Islamiyyah dan mengikuti irama gendang sang penguasa serta keinginan kolektif bangsa yang dikuasai kejahilan terhadap agama, kelak semua itu akan berakibat buruk dan fatal bagi kelangsungan hidup ummat Islam dan nasibnya di Yaumil Qiyyamah kelak.

Berbagai lakon kekejaman rezim sekuler-nasionalis yang didukung kuatnya sistem politik yang bathil, barisan militer dan pola birokrasi sipilnya telah banyak dipertontonkan di banyak Negara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia, Mesir, Aljazair, Tunisia, Libia, Suriah, bahkan Arab Saudi dan lain sebagainya.

Kini Indonesia kembali muram dengan kemungkinan kuat akan bangkitnya kembali reziim Intelejen dan ideology serta kekuatan merah yang pernah mengharu-biru kaum muslimin di negri ini. Dimana atas nama Nasakom ( sinkritisme Nasionalis, Agamis dan Komunis) zaman Orde Lama dan trilogy Pembangunan ala Orde Baru (stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan kerukunan beragama) semua rekayasa sosial-ekonomi-politik Ummat Islam dilakukan.

Bahkan dalam Orde Reformasi yang telah juga banyak menelan korban ummat Islam dan menista para pejuang Islam atas nama Perang terhadap Terorisme ini, ternyata masih dirasa kurang cukup oleh sebahagian tokoh militer dan intelejen yang nampaknya akan melenggang ke tangga kekuasaan di negri ini. Wallohul Musta’an. (Abu Fatih/Voa Islam.com)


latestnews

View Full Version