View Full Version
Sabtu, 20 Sep 2014

Menghadang Perubahan dengan Kegamangan Prinsip

Kaum Muslimin yang dirahmati Alloh,

Salah satu kendala terbesar dari upaya perubahan adalah terbudayakannya sikap inkonsistensi (ghairu istiqomah) dalam masyarakat. Sikap inkonsistensi ini dalam bahasa keseharian diistilahkan dengan “nanggung” atau “setengah matang”. Yaitu sikap yang pada awalnya tumbuh kesadaran akan penting dan perlunya perubahan akan tetapi minus keberanian menanggung prosesnya.

Sehingga muncul sikap tergesa-gesa menyimpulkan setiap dinamika proses sebagai akibat final dan pada akhirnya mencari pembenaran dari kekhawatiran atau ketakutan yang menguasai dirinya.

Pada era tahun 1915-an, saat awal mulai terjadinya penetrasi paham sosialisme dalam pergerakan Islam di Nusantara, muncul fenomena H. Misbach. Ia adalah orang yang melakukan sinkritisme antara Islam dengan Sosialisme, buatnya bukanlah seorang muslim yang baik jika membenci sosialis komunisme dan juga bukan seorang sosialis sejati jika tidak menyukai Islam.

Paham sosialisme ini dikembangkan melalui organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) yang didirikan Sneevliet pada tahun 1914. Paham yang diimpor dari Nederland ini tidak dapat berkembang kecuali setelah dilakukan upaya infiltrasi kedalam tubuh pergerakan Sarekat Islam. Bahasa pembelaan terhadap rakyat kecil (pribumi) dan menentang imperialis kapitalisme menjadikan paham ini mampu diterima kalangan muslimin yang menjadi pengurus dan anggota SI.

Dengan usaha dan kerja kerasnya, mereka berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme. Semaoen juga memimpin ISDV (embrio Partai Komunis) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.

Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antara lain:

1. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri.

2. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan anggota atau pengurusnya berorganisasi ganda.

3. Akibat ekonomi yang memburuk pasca Perang Dunia I, mengakibatkan dengan mudahnya rakyat mendukung perkumpulan apapun yang menyerukan keberpihakan terhadap penderitaan rakyat begitu pulalah yang dilakukan ISDV.

SI Putih dibawah kepengurusan H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah dipimpin oleh Semaoen, Alimin dan Darsono yang semakin jelas berhaluan sosialis komunisme berpusat di kota Semarang.

Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah (kalau sekarang mungkin bisa diekelompokkan menjadi kubu Tawaqquf, istilahnya) di antara kedua kubu tersebut. Beliau sendiri pernah menulis buku yang berjuduh Sosialisme Islam, nampaknya beliau ingin mengambil kekuatan dua ideology agar persatuan SI menjadi tetap kuat karena melihat kenyataan adanya dua kekuatan tersebut dalam tubuh SI.

Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Saat kongres SI pada Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang amat bertentangan.

Di samping itu, H. Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).

Pada era kiwari, bukan tidak mungkin perpecahan yang dialami kelompok-kelompok Islam juga diakibatkan adanya unsur yang membawa paham bathil kedalam kelompoknya. Dan momen perpecahannya semakin nyata sebagaimana yang terjadi pada SI, yaitu  saat pimpinan kelompoknya menetapkan sikap yang jelas dan para infiltran sudah merasa matang posisi dan pengaruhnya. Akibatnya perpecahan terjadi dan bukan hanya pada level organisasi namun juga masuk pada basis ideology dan cara yang ditempuhnya.

Dalam teologi Ahlus Sunnah, dikenal bid’ah-bid’ah besar yang menghasung paham bathil, yakni Khawarij, Syi’ah, qodariyah dan Murji’ah. Maka jika ada gerakan Sunni yang menggelisahkan penjaga status quo, tidak heran penetrasi dan infiltrasi peham-paham bathil tersebut dilakukan kedalam gerakan itu.

Para musuh Islam tahu, jika dihidupkan bid’ah maka hancurlah sunnah, kesulitan pihak Sunni adalah melakukan deteksi awal dan pemblokiran dini terhadap infiltran paham sesat itu karena sikap husnu zhon yang seringkali salah penempatan. Penghukuman sesuatu lahiriah semata semestinya tidak melupakan kerja-kerja kontra intelejen.

Kelas Menengah Ngehe’ (baca: hancur lebur)

Seperti juga terjadi pada kaum Islamis, perpecahan sebenarnya juga terjadi dalam tubuh mereka yang mengklaim diri sebagai kaum modernis. Banyak dari mereka juga sebenarnya takut akan dampak negatif dari proses perubahan walaupun pada saat yang bersamaan mereka muak dengan status quo termasuk apa yang mereka tidak sukai dari kalangan Islamis.

Dalam potongan “L’Envers et l’endroit” yang diterjemahkan dengan baik oleh Muhammad al-Fayyadl, dinyatakan oleh Camus: ‘Aku berdiri setengah berjarak dengan kemelaratan dan matahari. Kemelaratan mencegahku untuk percaya bahwa semuanya baik di bawah matahari dan di dalam sejarah; matahari mengajariku bahwa sejarah bukan segalanya.’

Judul L’Envers et l’endroit kerap diterjemahkan sebagai Betwixt and Between yang menggambarkan kondisi seseorang yang berada di tengah-tengah, tidak ini ataupun itu, tidak panas dan tidak dingin. Mereka tergambar sebagai sosok yang ‘setengah berjarak’ dari segala sesuatu

Sosok dan kelompok 'sok pertengahan/moderat' adalah kaum medioker yang menjustifikasi dirinya dan mengemas kegamangannya lewat label ‘otentik’. Yaitu kelompok yang mengklaim diri sebagai bagian asli dari kebenaran dan selalu menuduh pihak penggerak perubahan sebagai ekstrim serta menyalahkan semua dampak perubahan kepada para penggerak lapangan yang memang bisa jadi terjebak kesalahan sikap dan amal.

Dalam dinamika kultural Indonesia saat ini, kelompok seperti ini terpotret dengan baik dalam posisi yang disebut kaum sosialis hari ini sebagai ‘kelas menengah ngehe’ yakni mereka yang menginginkan perubahan sosial tetapi sinis bila ada pergolakan massa, mengangankan keadilan tapi emoh pada Syari’at, mendambakan kemerdekaan tetapi lupa pada syarat adanya proses pengambilan posisi merdeka, yakni perjuangan yang terkadang mengambil opsi tunggal: perlawanan bersenjata yang sarat kekerasan fisik dan kedahsyatan efek penghancuran.

Orang-orang semacam ini bisa jadi punya niat yang baik tetapi mereka menipu diri dengan motto bahwa kelemah-lembutan adalah segala-galanya. Inilah cikal bakal pengkhianatan sebenar-benarnya. Dorongan keinginan terus hidup dan angan-angan dapat menikmati segala fasilitas duniawi ditambah sikap ‘flamboyan centris’ tadi itulah yang menambah panjang barisan pengkhianat dalam perjuangan.

Jadi sikap setengah-setengah dalam dinamika perubahan memang hanya akan melahirkan lapisan Ngehe’ yang nantinya akan memecah belah barisan perlawanan. Inilah mungkin yang disinyalir Alloh Azza wa Jalla dalam firmanNya:

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al Hajj: 11)

Melalui tulisan sederhana ini, penulis yang juga pecinta perubahan Islamis berpesan, jika kita ingin menjadi orang yang istiqomah dalam meniti ridho Alloh Subhanahu wa Ta’ala maka jauhilah kelompok Ngehe’ dari pergaulan antum, Wallohu a’lam! (Abu Fatih/dbs/Voa Islam.com)


latestnews

View Full Version