Oleh Edy Mulyadi*
Kalau ada yang bilang Sofyan Djalil orang baik, tentu saya setuju. Penilaian ini bukan karena saya merasa kenal lumayan dekat dengannya. Tapi, memang dia orang yang baik. Paling tidak, selama bergaul pada periode awal 1990an dan dua kali menjadi menteri, saya tidak melihat dan mendengar dia neko-neko.
Makanya, ketika terbetik kabar lelaki kelahiran Aceh, 23 September 1953 silam itu bakal didapuk jadi Menko Perekonomian, saya kok jadi merasa gimanaaa, gitu. Mau dibilang gembira, ya tidak salah juga. Tapi, di sisi lain, ada perasaan yang sangat sulit dijelaskan. Gimanaaa, gitu!
Pasalnya, untuk duduk di kabinet Jokowi-JK, menjadi orang baik saja tidak cukup. Persoalan yang dihadapi negeri ini teramat kompleks. Sedikitnya ada tiga hal besar persoalan yang menghadang pemerintah saat ini. Pertama, dari sisi politik, bisa dipastikan pemerintah tidak bisa melenggang mulus dalam menjalankan berbagai program dan kebijakan. Sandungan dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang menguasai parlemen akan selalu ada.
Kedua, perekonomian global masih dijerat kelesuan. Negara-negara maju yang selama ini menjadi pasar utama produk Indonesia masih berjuang keluar dari krisis. Hal itu ditambah dengan harga komoditas pertanian dan pertambangan dalam tiga tahun terakhir terus terjun. Padahal, dari dua komoditas inilah perekonomian Indonesia sempat terbang dalam rentang waktu hampir 10 tahun belakangan ini.
Problem besar ketiga, Indonesia terjerat pada quarto deficit; empat defisit sekaligus. Yaitu, defisit neraca perdagangan, defisit neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan, dan defiit anggaran.
Gawatnya perekonomian itu masih ditambah dengan superbengkaknya utang luar negeri. Menurut Bank Indonesia (BI) sampai Juni 2014 saja, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tercatat US$284,9 miliar. Dengan kurs tengah BI Jumat (24/10) yang Rp12.065, maka jumlah utang itu setara dengan Rp3.437 triliun lebih. Jelas bukan angka yang bisa dianggap enteng, kalau tidak mau disebut supergawat.
Perlu orang yang luar biasa
Inilah ‘bom waktu’ warisan presiden SBY yang bisa meledak kapan saja. Dengan kondisi segawat itu, terlalu gegabah memasang ‘orang biasa-biasa saja’ sebagai komandan Tim Ekonomi Indonesia. Tidak bisa tidak, Jokowi dan 240 juta lebih rakyat Indonesia membutuhkan seorang Menko Perekonomian yang kelasnya jauh di atas ‘biasa-biasa’ saja. Indonesia membutuhkan Menko Perekonomian yang luar biasa!
Dengan segala hormat dan mohon maaf, rasanya Sofyan Djalil belum sampai di titik itu. Kinerjanya sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) masuk kategori biasa-biasa saja. Baru saat menjadi Menteri BUMN, Sofyan ‘sedikit’ memiliki nilai tambah. Dia mampu membuat sejumlah BUMN jadi lebih bersinar. Laba yang berhasil ditangguk terus menggembung.
Salah satu rahasia suksesnya dalam memoles BUMN adalah, karena dia menerapkan apa yang disebutnya sebagai creating value BUMN. Kunci utama sukses itu antara lain terletak pada keberaniannya menempatkan para profesional di jajaran direksi.
Dalam buku Transformasi BUMN Menuju Pentas Global, Sofyan menulis, salah satu kunci sukses BUMN adalah dalam proses perekrutan direksi. Rekrutmen harus menghindari intervensi politik, sehingga para direksi akan fokus untuk bekerja ketimbang bermain politik.
Namun gagasan cemerlang tadi, seperti diakuinya, bukan asli miliknya. Paling tidak, itulah pengakuan yang disampaikannya kepada saya ketika mengobrol santai di kantornya, saat masih menjadi Deputi Menteri BUMN, Tanri Abeng. Waktu itu dia mengakui, bahwa konsep itu sebenarnya datang dari sang bos.
Biasa saja dengan sejumlah catatan
Pencalonan Sofyan sebagai calon Menko Perekonomian berasal dari JK. Ini tidak aneh. Dia orang dekat JK. Sofyan diketahui sudah membantu JK ketika bertarung di konvensi Capres Partai Golkar dan terlibat dalam Tim Lembang 9.
“Pak JK minta saya menjadi manajer kampanye saat Konvensi Capres Partai Golkar. Awalnya saya memang direkrut sebagai profesional. Namun seiring waktu, ternyata beliau merasa cocok dengan saya. Itulah sebabnya saya kemudian bergabung sebagai relawan saat pak JK menjadi Cawapres SBY,” ujar Sorfyan kepada saya suatu ketika.
Kedekatan mantan Menteri BUMN itu juga tergambar ketika JK mengajaknya menjadi salah satu anggota tim penyelesaian konflik Aceh pada perundingan di Helsinki. Singkat kata, tidak keliru jika dikatakan Sofyan adalah orangnya JK.
Latar belakang akademik Sofyan adalah pasar modal. Dia adalah pemegang gelar Master of Arts in Law and Diplomacy (MALD) dari The Fletcher School of Law and Diplomacy, Tufts University, Medford, Massachusetts, AS, dengan bidang studi International Economic Relation. Kemudian, dia juga menyabet gelar Doctor of Philosophy (Ph.D), dari kampus yang sama dengan bidang studi International Financial and Capital Market Law and Policy.
Jadi, dengan semua latar belakang dan fakta seperti itu, bagaimana mungkin JK memaksakan Sofyan untuk posisi Menko Perekonomian? Pak JK, sekali lagi saya ingin mengingatkan Anda, bahwa menjadi orang baik saja tidak cukup untuk membenahi gawatnya persoalan ekonomi negeri ini. Ada persyaratan lain yang harus dipenuhi.
Mengutip ekonom senior, untuk menjadi pejabat publik ada tiga hal yang dibutuhkan. Pertama, harus punya pemahaman dan kemampuan memecahkan masalah. Kedua, harus berani mengambil tindakan terobosan yang memang dibutuhkan. Ketiga, ini sangat penting, harus tidak punya konflik kepentingan.
Dari tiga kriteria tersebut, sekali lagi dengan segala hormat dan mohon maaf, Sofyan
belum mengantongi barang sebiji pun. Keilmuannya ‘masih terbatas’ pada bidang pasar modal. Padahal, persoalan ekonomi Indonesia hari ini dan ke depan jauh lebih besar dan lebih kompleks.
Lalu, dari sisi berani mengambil tindakan terobosan yang diperlukan, juga belum teruji benar. Kinerjanya yang lumayan cemerlang ketika menjadi BUMN, ternyata, seperti diakuinya, adalah penerapan gagasan creating value Tanri Abeng. Tentu saja, dalam praktiknya, Sofyan sudah melakukan perbaikan di sana-sini sesuai dengan keadaan yang ada.
Tapi, ada sedikit catatan buat Sofyan saat jadi pengendali perusahaan pelat merah. Antara lain, dia tidak mampu menahan laju tender offer yang dilakukan Ooredoo (dulu Qatar Telecom) di Indosat. akibatnya investor asing itu menguasai 65% saham Indosat.
Selain itu, keputusan Sofyan yang menempatkan Sarwoto Atmosutarno sebagai Dirut Telkomsel juga layak disoal. Pasalnya, sesaat duduk sebagai Dirut, Sarwoto membeli perangkat dari Israel.
Begitu juga dengan penujukan Rinaldi Firmansyah sebagai Dirut Telkom. Kinerja operator pelat merah tadi juga tidak terlalu memuaskan. Bahkan keputusan Rinaldi memilih mitra peluncuran satelit dari Rusia, membuat Telkom gagal meluncurkan satelit Telkom III.
Bagaimana dengan tidak punya konflik kepentingan? Sepertinya pada sisi ini dia punya nilai plus. Paling tidak, seperti saya sampaikan di awal tulisan ini, Sofyan adalah orang baik. Sepanjang menjadi birokrat saya belum mendengar dia bertindak yang ‘aneh-aneh’. Saya memilih ber-husnudzhon alias berprasangka baik kepadanya dalam soal-soal seperti ini.
Who is the real president?
Sekarang kita kembali ke soal usulan JK ke Jokowi agar menunjuk suami Ratna Megawangi sebagai Menko Perekonomian. Jokowi harus berani menepis desakan JK itu. Jokowi tidak boleh berjudi dengan nasib lebih dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia hanya dengan maksud menyenangkan JK yang jadi Wapresnya.
Jokowi juga harus ingat betul, bahwa sesuai konstitusi, pemegang hak prerogatif adalah Presiden. Bukan Wapres! Jokowi harus menggunakan hak itu sebaik-baiknya. Jokowi harus mengoptimalkan semua sumber daya yang ada bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Jokowi harus membuktikan, bahwa dialah Presiden Republik Indonesia yang sebenarnya. Dengan begitu, publik bisa menepis anggapan dan mitos, bahwa JK is The Real President! (*)
Jakarta, 26 Oktober 2014
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)