Shahabat Voa Islam yang dimuliakan Alloh,
Beberapa hari memasuki tahun baru Hijriyah 1436, ada baiknya kita kembali menyegarkan paham dan ideologi kejuangan yang semestinya tetap kita perjuangkan hingga datangnya kematian kelak. Karena perjuangan diatas paham dan ideologi inilah maka kehidupan kita yang singkat diatas dunia fana menjadi bermakna dalam pandangan Alloh Azza wa Jalla, insya Alloh.
Hijrah Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wa sallam bukanlah sekedar peristiwa sejarah, penghindaran dari pengejaran orang-orang mekkah (sebagai rezim yang despotan, tiranik dan otoriter pada waktu itu, pen.) dan dari rencana pembunuhan, suatu kemestian yang tak dikehendaki –pendeknya suatu peluputan– tapi ia adalah akibat logis dari diterimanya keseluruhan wahyu di Makkah, puncak persiapan gerakan dunia Islam.
Sebagai kompleksitas peristiwa, makna dan tujuan, hijrah harus memiliki hakikat yang dapat ditemukan bila kita memandang ke belakang dan menentukan tokok-tolok ukur atau prinsip dasar untuk menyatukan dan menata semua unsur lain menjadi suatu struktur.
Hijrah juga telah melahirkan suatu masyarakat majemuk dengan sistem hukum yang (mampu memayungi, pen.) kemajemukan pula yang memungkinkan setiap penyusun konstitusi untuk menata untuk warganya menurut agama, kebiasaan, dan tingkat kecerdasan masing-masing untuk menjaga dan mengembangkan pranata-pranatanya sendiri. Terlebih, hijrah telah membuat Islam menjadi sebuah kemajuan hukum, sosial, ekonomi dan politik serta militer.
Hijrah membentuk Negara sebagai suatu kekuatan di dunia, suatu Negara dunia yang potensial dan menugaskannya untuk mendirikan suatu tatanan dunia baru (the new world order versi Islam, pen.), mensejahterakan umat manusia, sehingga mereka mantap menerima kebenaran. Akhirnya, hijrah memberi Negara dunia yang baru dengan berpegang teguh apda syari’at, membentuk pranata-pranata sosial yang Islami serta menyampaikan Islam kepada kalangan non Islam.
Kesimpulannya, hijrah adalah suatu kemestian yang tak dapat dilepaskan dari totalitas keIslaman dan keimanan seorang muslim berkaitan dengan implementasi nilai yang dinilainya. Di mana Alloh Subhanahu wa Ta'ala selalu mengkaitkan kata iman dengan kata amal, itulah sebabnya Alloh menekankan rinci tindakan yang diharapkan dari setiap muslim, baik secara perorangan, sosial, politik, ekonomi dan militer.
Ketika orang-orang beriman diperintahkan-Nya memasuki Dinul Islam secara kaaffah, maka ia harus secara bertahap dan menentukan skala prioritas membuat ajaran Islam menjadi sebuah bangunan nilai dan basis sehingga bukan saja umat Islam namun seluruh umat manusia dapat ternaungi oleh kebenaran risalah Islam itu sendiri. Hal itulah yang menyebabkan ketat dan tegasnya hukum Islam sebagai bagian pranata sistem Islam menjamin warga Negara non muslim untuk hidup secara aman dan bebas berkeyakinan dan beribadat menurut kepercayaannya.
Jadi hijrah, menurut makna, hakekat dan tujuannya bukan saja merupakan dinamisasi yang menjamin hidupnya Islam dan kemuliaan ummatnya namun juga menjamin hidup bagi kalangan non muslim dengan seluruh kebutuhannya. Maka ketika ummat terjebak pada formalitas hijrah secara tradisional dan turun temurun dengan hanya membangga-banggakan kebesaran sejarahnya dan hanya memakainya sebagai tonggal awal penanggalan hijriyyah, sebenarnya kita telah menjadikan Islam sebagai agama yang jumud dan beku (stagnan). Hal ini akan menggagalkan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Menegarakan Islam
Islam adalah agama bimbingan, pemerintahan, politik dan hukum, sebab apa yang dibawa Islam atau missi Islam ialah memperbaiki umaty manusia dalam segala aspek kehidupannya (seperti ideology, politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dan militer, pen.) Oleh karena itu sudah barang tentu memerlukan pemerintahan, pegangan, hukum yang adil dan tegaknya kebenaran, juga memerlukan perlengkapan untuk mempertahankan agama dan Negara.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:
“Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqoroh: 151)
Alloh telah memerintahkan agar tindakan hendaklah bersifat sosial. Dia memerintahkan agar orang muslim berbuat kebajikan secara bersama sebagai satu ummat.
Perintahnya:
“Hendaklah ada di antara kamu satu umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan berbuat ma’ruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. 3/ 104).
Tak pelak lagi, bahwa ketentuan Islam mesti dilaksanakan oleh kaum muslimin secara bersama sebagai satu ummat. Quran berbicara tentang kaum muslimin hampir senantiasa berbentuk jamak. Maka jelaslah bahwa Islam memerlukan Negara dan tak dapat berbuat tanpa itu.
Seperti dikatakan oleh Muhammad Iqbal, Negara merupakan pernyataan spiritualitas Islam, perwujudan spiritualitas itu dalam ruang dan waktu. Segi terpenting hijrah ialah terciptanya Negara Islam. Negara adalah tujuan hijrah, dan hijrah merupakan puncak persiapan dan pengisalaman laki-laki dan perempuan serta perjanjian Aqobah.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah rohimahullah berkata: “Bahwa sesungguhnya tugas dan kewajiban yang paling utama bagi agama adalah mengatur masyarakat, akan tetapi missi ini tidak akan tegak tanpa adanya Negara. Oleh sebab itu, Alloh memerintahkan amar makruf nahi mungkar, mengajak kepada kebajikan dan melarang segala bentuk kemungkaran, menolong orang-orang yang tertindas dan teraniaya, termasuk juga kewajiban yang tak kalah pentingnya adalah menjunjung tinggi kebenaran dan menegakkan keadilan dengan memberikan sangsi-sangsi hukum terhadap pelaku tindak pidana dan kriminalitas. Semuanya itu tak mungkin terlaksana dengan baik dan terarah tanpa adanya kekuasaan yang diatur dalam bentuk pemerintahan.”
Dengan demikian mendirikan Negara Islam merupakan perkara penting demi tegaknya hukum-hukum (syari’at) Islam di bumi ini.
Kejahatan Kaum Sekular terhadap Islam dan kaum Muslimin
Imperialisme barat yang telah menguasai masyarakat muslim mampu menanamkan satu pemikiran aneh dan menjijikkan di dalam akal dan jiwa mereka, yaitu bahwa Islam adalah agama dan bukan daulah/ Negara.
Contoh praktis dari hal ini adalah daulah ilmaniyah (Negara sekuler) yang didirikan Mustapha Kamal terkutuk di Turki (selepas dihancurkannya khilafah utsmaniyyah tahun 1924, pen.) yang dipaksakan dengan tangan besi, api dan darah terhadap semua rakyat turki yang beragama Islam, setelah membungkam khilafah utsmaniyah, yang notabenenya adalah benteng politik terakhir bagi dunia Islam setelah sekian lama bergelut melawan salibisme dan zionisme internasional.
Kemudian pemerintahan lain di dunia Islam meniru Turki yang baru dengan kadar yang berbeda-beda, sehingga Islam disingkirkan dari hukum dan perundang-undangan mengenai masalah tindak pidana, perdata dan lain-lainnya. Islam dibatasi pada kondisi individual. Islam tidak boleh ikut campur dan memperngaruhi dunia pengajaran dan pendidikan, serta masalah-masalah sosial kecuali masalah-masalah yang remeh.
Sebaliknya, untuk tuntunan dari dunia barat dibukakan pintu selebar-lebarnya. Bahkan Pakistan yang didirikan oleh Muhammad Ali Jinah, para pemimpinnya -walaupun sering kali meneriakkan Negara Islam- tetapi karena pendidikan dan jiwa mereka telah berkarat dengan pengaruh kebudayaan barat, maka gambaran yang tertanam dalam benak mereka tentang Negara hanyalah Negara yang bertumpu atas dasar kebangsaan saja (nasionalistik) Artinya, bahwa pengaruh barat dalam paradigma kenegaraan terhadap kaum muslimin sudah sedemikian kuatnya.
Kita tahu, Pakistan atau India adalah sama-sama bekas tanah jajahan Inggris. Konon sampai hari ini loyalitas Negara-negara mantan jajahan Inggris terhadap Britania Raya (The Great Britain) terus dilestarikan dalam wadah Commonwealth (Persemakmuran).
Di Indonesia, pertarungan Islam dengan nasionalisme sudah dimulai sejak era pergerakan. Serikat Islam (yang lahir tahun 1905 dengan nama Serikat Dagang Islam) dan menjadi partai syarikat Islam Indonesia adalah gerakan ummat Islam pertama yang menghasung ideology Islam (atau Pan Islamiet sebagaimana yang disebut oleh HOS Tjokroaminoto, pen.).
Di kalangan nasionalis lahirlah PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan terlebih dahulu lahir kelompok-kelompok kesukuan/ etnik sentrik seperti Jong Java, Jong Celebes, dan lain-lainnya. Serta tak kalah pentingnya peran Budi Utomo (lahir 1908), yang mewariskan ajaran kejawen. Pertarungan ideologis ini semakin mengental pada masa-masa menjelang kemerdekaan.
Pada tanggal 9 April 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan (BPUUPK) atau Dokuitsu Zyunbi Tyoosakai dibentuk, untuk kemudian dilantik oleh pemerintahan militer pendudukan Jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Hal ini adalah tindak lanjut dari janji Perdana Mentri Jepang, Koiso, yang disampaikan dalam sebuah pidatonya pada bulan September 1944 di Jepang. Janjinya adalah akan memerdekakan Indonesia di kemudian hari.
Ketua BPUUPK adalah Dr. Rajiman Widyaningrat, seorang tokoh penganut kejawen. Anggota-anggota BPUUPK semula 60 orang, kemudian menjadi 68 orang, dilihat dari sudut perimbangan ideology politik, menurut pengamatan Prawoto Mangkusasmito, hanya sekitar 20% saja dari jumlah tersebut yang benar-benar mewakili aspirasi politik kelompok Islam. Sedangkan 80% mewakili aspirasi nasionalisme yang dalam hal ini adalah kelompok yang tidak mau membawa ideologi Islam dalam urusan kenegaraan.
Sedangkan yang dimaksud dengan aspirasi politik kelompok Islam adalah diusulkannya Islam sebagai dasar filsofis Negara yang hendak didirikan. Bagi mereka Islam itu serba lengkap, meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 juni 1945 suatu sintesis dan kompromi politik berhasil diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda itu. Sintesis ini yang kemudian dikenal dengan nama piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar Negara dengan perubahan letak. Sila ketuhanan disamping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama) juga diberi anak kalimat pengiring: “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. “kompromi politik ini hanya mampu bertahan selama 57 hari, karena demi ‘persatuan bangsa’ anak kalimat itu dicoret pada tanggal 18 agustus 1945.
Inilah pengkhianatan pertama kaum nasionalis terhadap ummat Islam di Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan upaya-upaya marginalisasi, intimidasi, dan tak jarang dilakukan genocide setiap potensi-potensi Islam.
Mulai dari pemadaman gerakan DI/ TII–NII di Jawa barat, Jawa tengah, Aceh, Kalimantan selatan dan Sulawesi selatan serta penangkapan dan pembrangusan pemimpin-pemimpin partai Masyumi oleh rezim Sukarno. Kasus Tanjung Priok, Talangsari-Lampung, Haur Koneng, Sampang dan banyak kasus penculikan dan pembunuhan para ustadz di Banyuwangi, penangkapan aktivis Usroh, kasus Imron, operasi khusus Ali Murtopo bagi mantan tokoh-tokoh DI, penerapan daerah operasi militer di Aceh serta banyak lagi lainnya yang terjadi selama rezim ‘kejawen’ Suharto.
Pemerintahan nasionalis selanjutnya (rezim Habibie dan Abdurrahman Wahid) atas nama demokrasi pun tidak mampu melindungi darah dan jiwa umat Islam di Aceh, Kupang, Timor-Timur, Ambon, Tual, Halmahera, Sambas, Poso, Sampit kemudian Kapuas.
Di masa reformasi palsu hingga sekarang, mantan Presiden SBY-pun setali tiga uang, karena nyata-nyata dia amat garang kalau ada ancaman terhadap demokrasi atau pluralisme bahkan jika kaum tirani minoritas Salibis dan aliran-aliran sempalan seolah-olah tertindas namun jika duka nestapa melanda kaum muslimin maka dia diam seribu bahasa dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
Air mata kaum muslimin belum mengering, masa sekarangpun kita dihadapkan pada pola penindakan operasi ‘Anti Teroris’ yang melampui kewenangan hukum (extra judicial killing) yang mereka buat-buat sendiri. Sebagaimana yang sering menimpa dan terjadi terhadap beberapa aktivis muslim yang dituduh sebagai terduga teroris. Aparat keamanan dengan Densus 88 beserta pejabat berwenang seringkali menerapkan political decompotion berupa stigmatisasi buruk dan devilisasi (setanisasi) para aktivis Islam.
Mulai menggeliat kondisi di era Jokowi sekarang, kepolisian amat refresif terhadap seorang tukang 'tusuk' sate yang dituduh membully Jokowi via sosial media. Namun disisi lain, secara bersamaan mereka mendiamkan tokoh Syiah yang membully para Istri dan Shahabat Rasululloh sholallohu 'alaihi wa sallam atas nama keyakinan dan kebebasan berpendapat di negri mayoritas Sunni ini.
Jelaslah, kaum muslimin tidak akan dapat hidup tentram selama pemerintahan Islam belum tegak. Selain muslim tidak ada yang dapat dipercaya untuk memelihara kebebasan aqidah, keadilan, hak dan kemaslahatan. Karena itu, keIslaman seorang muslim selalu terus menerus terancam bahaya bila berada di bawah pemerintahan kafir. Dan hidupnya terpaksa harus taat kepada pemerintahan kafir tersebut sampai pada masalah kemaksiatan sekalipun.(Abu Fatih/Voa Islam.com)